Thursday, February 23, 2012

Rakor Penyelesaian Sengketa Lerelerekang Digelar

23/02/2012
LAPORAN: SUDIRMAN SAMUAL MAMUJU — Sengketa kepemilikan Pulau Lerelerekang antara Provinsi Sulbar dan Provinsi Kalsel masih terus bergulir. Dua provinsi masih bertahan atas klaim terhadap pulau yang memiliki potensi gas bumi itu. Untuk menghadapi sengketa itu, Gubernur Sulbar Anwar Adnan Saleh menggelar rapat koordinasi (rakor) yang dihadiri Ketua DPRD Sulbar Hamzah Hapati Hasan, Wakil Gubernur Sulbar Aladin S Mengga, Bupati Mamuju Suhardi Duka, Wakil Bupati Majene Fahmi Massiara dan sejumlah pejabat dan tokoh masyarakat. Dalam pertemuan ini, juga hadir Kapolda Kalsel Jenderal Syafruddin Kambol yang merupakan putra daerah Sulbar. Pertemuan ini membahas aspek kesejarahan dan sosial dari kepemilikan pulau yang disengketakan ini. “Kita ingin mencari solusi untuk menghadapi proses hukum karena Pemprov Kalsel telah mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung. Tapi kita juga akan bicarakan, mungkin ada jalan lain di luar proses hukum. Kita sebelumnya hanya melakukan pertemuan informal dan baru sekarang diformalkan,” sebut Anwar memulai rapat yang digelar di Kantor Gubernur Sulbar, Kamis 23 Februari. (*) http://www.radar-sulbar.com/politik/rakor-penyelesaian-sengketa-lerelerekang-digelar/

Lerelerekang atau Larilariang?

Dua pekan terakhir hangat pemberitaan di harian Radar Sulbar tentang sengketa Pulau Lerelerekang (atau P. Larilariang) antara Sulawesi Barat dengan Kalimantan Selatan. Bila di Sulawesi Barat hangat saja, di Kalimantan Selatan, panas bukan main! Ada demo segala. Pemberitaan dimulai Februari, April hingga Oktober – November ini. Berikut judul-judul beritanya: DPRD Kalsel Siap Berjuang Untuk Pulau Lari-Larian; Kalsel Pertahankan Pulau Lari-larian; Memanas, Kalsel dan Sulbar Rebutan Pulau Lari-larian; Pemprov Disarankan Bentuk Tim Pulau Lari-Larian; Mendagri Siap Digugat, Tetapkan Pulau Lerelerekang Milik Majene; Kotabaru Merasa Dizalimi; Kotabaru Ajukan Judicial Review ke MA; Warga Kotabaru Akan Demo; Gubernur: Jangan Saling Menyalahkan Soal Lari-Larian; Denny dan Hatta Siap Gugat Mendagri; Sengketa Pulau Lari-Larian, Bupati Kotabaru Siap Lawan Mendagri; Pemkab Kotabaru dan Pemprov Kalsel Galang Kekuatan; Bupati: Telah Terjadi Kebohongan Publik; Irhami: Kemendagri Lakukan Pembohongan Publik. Seakan-akan Kalimantan Selatan sebuah negara yang bersengketa dengan negara lain. Padahal masih saudara (se-negera), belum lagi bila melihat komposisi penduduk Kalimantan Selatan, banyak yang berasal dari Sulawesi Barat (Mandar). Kalimantan Selatan ‘marah’ sebab dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 43 Tahun 2011, Pulau Larilariang sah sebagai milik Provinsi Sulawesi Barat. Putusan tersebut final adanya dan telah masuk ke dalam lembaran negara tahun 2011. Perjuangan berbulan-bulan Kalimantan Selatan berbuah hasil: P. Lerelerekang bukan milik mereka, tapi masuk wilayah Sulawesi Barat. Menurut Kepala Pusat PeneranganKemendagri, Reydonnyzar Moenek, “Kebijakan tersebut telah melalui pertimbangan matang dengan mempersandingkan data dan fakta antara dua daerah yang sebelumnya bersengketa, yakni Provinsi Sulbar dan Provinsi Kalimantan Selatan. Jika Kalimantan Selatan keberatan, Kemendagri membuka kesempatan lebar-lebar kepada pihak-pihak yang ingin mengajukan gugatan. Pengalaman sudah empat kali kita di-yudisil review, kita menang, diperkuat oleh peradilan.” Sengketa atas P. Larilariang berawal pada pertemuan tim Pembinaan dan pembakuan Nama-nama Pulau di Kalsel pada 9 – 11 Juli 2008 di Banjarmasin. Tim dari Pemprov Kalsel bersama Pemkab Kotabaru menyampaikan, bahwa Pulau Lari-Larian masuk dalam daftar 134 pulau yang ada di Kalsel. Namun kenyataannya, karena titik koordinatnya sama dengan nama salah satu pulau di Sulawesi Barat, yakni Pulau Lerelerekang, maka tim dari Kemendagri meminta masalah pulau tersebut ditunda. Setelah rapat beberapa kali di Jakarta yang melibatkan pihak Kalimantan Selatan dan Sulawesi Barat serta Kementerian Dalam Negeri, maka keluarlah putusan Menteri Dalam Negeri sebagaimana yang disebutkan di atas. Namun hal itu tak diterima oleh Kalimantan Selatan. P. Lerelerekang = P. Larilariang Bila media di Kalimantan Selatan menggunakan nama “Larilariang”, maka di Sulawesi Barat nama pulau yang dimaksud adalah “Lerelerekang”. Dalam tulisan ini saya juga menggunakan “Lerelerekang” sebab oleh nelayan Mandar, khususnya di Majene, lebih jamak menggunakan nama itu dibanding Larilariang. Media di Kalimantan Selatan memuat pendapat Bupati Kotabaru, H. Irhami Ridjani, “Pulau ini disebut Larilarian yang berarti tempat pelarian masyarakat Kotabaru karena takut dikejar-kejar gerombolan.” Pertanyaannya, “gerombolan” apa yang dimaksud? Apakah di Kalimantan Selatan ada juga pengikut Kahar Mudzakkar yang memaksakan ideologinya ke penduduk dan merampas harta milik penduduk? Apakah penduduk Kalimantan Selatan juga bermigrasi ke tempat lain karena ketakutan? Sebagaimana yang dialami penduduk Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat di waktu lampau? Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, khususnya di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, ada masa yang mendorong ribuan penduduknya melakukan migrasi besar-besaran. Itu terjadi di masa pemberontakan DI/TII (tahun 1951 – 1965). Oleh penduduk setempat, para pengacau diistilahkan “gerombolan”. Itulah sebab, ada banyak orang Bugis, Makassar dan Mandar yang bermukim di ratusan pulau-pulau kecil di Selat Makassar, termasuk Pulau Laut dan pesisir Kalimantan Selatan. Hal tersebut adalah fakta bahwa ada gelombang migrasi dari timur (pesisir barat Pulau Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat) ke barat (pulau-pulau kecil, pesisir timur Pulau Kalimantan). Bukan sebaliknya! Jadi agak aneh bila ada pendapat yang mengatakan bahwa penduduk Kalimantan Selatan juga mengungsi, berlawanan arah dengan pengungsi dari Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Apalagi Pulau Lerelerekang itu hanya pulau kecil, tidak layak untuk dimukimi. Jadi untuk bermukim di sana amat sulit. Untuk singgah berlabuh saja tidak apa-apa. Tapi untuk menjadi tujuan mengungsi, bukan hal ideal. Jika pun Kalimantan Selatan mengklaim bahwa kepemilikan Pulau Lerelerekang di masa “lari dari gerombolan” (itu pun kalau memang betul ada juga gerombolan di Kalimantan Selatan), itu masih sangat muda, 50 tahun lalu. Sedangkan bagi orang Mandar di Sulawesi Barat, mereka sudah melakukan aktivitas penangkapan ikan di sekitar P. Lerelerekang setidaknya abad ke-18. Bersambung

Hak Ulayat Laut

Saya belum pernah membaca lontar (atau terjemahannya) yang mengatakan bahwa kawasan Mandar juga mencakup P. Lerelerekang. Sebagaimana istilah “Dari Binanga Karaeng di selatan hingga Lalombi di utara; dari Paku hingga Suremana”. Kata lain, dulunya P. Lerelerekang tidaklah menjadi wilayah kekuasaan dari tujuh kerajaan di pantai “Pitu Ba’bana Binanga”. Yang ada kemungkinan untuk memilikinya ialah Kerajaan Balanipa, Kerajaan Banggae, dan Kerajaan Sendana. Tapi saya pikir bangsawan-bangsawan dari kerajaan tersebut tidak pernah mengklaim bahwa P. Larilariang adalah politiknya. Namun, sekelompok orang dari wilayah tersebut (Balanipa, Banggae, dan Sendana) telah memanfaatkan P. Larilariang dan perairan disekitarnya. Mereka adalah para nelayan “pallarung”! Nelayan Mandar secara tidak sadar telah “memasang patok” di tempat tersebut bahwa P. Lerelerekang adalah bagian dari Mandar. Simbol pemasangan patok bukan dalam arti betul-betul memasang tanda atau prasasti atau batas wilayah tersebut melainkan aktivitas mereka yang melakukan eksploitasi atau pengelolaan sumberdaya di wilayah tersebut. Lalu mungkin muncul pertanyaan, “Apakah orang asli Kalimantan tidak memanfaatkan P. Lerelerekang”? Sepertinya tidak pernah, sebab penduduk asli Kalimantan adalah suku, Banjar dan Dayak, yang berorientasi daratan (hutan). Jadi untuk menjadi penjelajah lautan amat kecil. Hal inilah yang harus diketahui pihak Kalimantan Selatan, bahwa tidak ada bukti ilmiah nenek moyang mereka (yang bukan orang Bugis, Makassar, Mandar, dan Bajau) pernah memanfaatkan P. Lerelerekang. Kalau nenek orang Majene hingga anak cucunya sekarang ini masih melakukan aktivitas menangkap ikan di sekitar P. Lerelerekang. Tidak usah jauh-jauh hingga P. Lerelerekang, pulau-pulau terdekat saja, di bagian timur dan selatan P. Laut (pulau terbesar di timur Kalimantan Selatan). Siapa saja yang tinggal di situ. Siapa yang mengelolanya dari dulu. Jawabnya orang-orang dari Sulawesi Selatan. Kalau bukan Mandar pasti Bugis atau Makassar. Hak Ulayat laut Walau tak ada catatan tertulis, misalnya di dalam lontar, yang mengatakan P. Lerelerekang adalah wilayah salah satu kerajaan di Mandar, wilayah perairan di sekitar pulau tersebut mungkin bisa dikategorikan sebagai salah satu bentuk hak ulayat di laut. Alasannya, sebab nelayan Mandar telah lama menjadikan wilayah tersebut sebagai daerah penangkapan ikan. Hanya saja nelayan Mandar (dan juga nelayan Bugis, Makassar dan Bajau) memandang laut sebagai milik umum “common property”, jadi tak bisa diklaim sebagai milik. Kecuali ada alat tangkapnya terpasang di situ, semisal rumpon (roppong). Hak penggunaan wilayah pada perikanan (territorial use rights in fisheries) telah ada sejak berabad-abad. Hak-hak ini sudah ada untuk sumberdaya yang menetap. Di samping itu, hak-hak ini telah ada pada sejumlah usaha perikanan laut dalam masyarakat tradisional dan juga sedang diperjuangkan melalui ketentuan hukum. Sebab dianggap sebagai hukum adat. Hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan-peraturan legislatif (unstitutory law), yang meliputi peraturan-peraturan yang hidup meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib, tetap ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum. Hak ulayat merupakan bagian dari konsepsi hukum adat tentang hak-hak atas tanah dan air. Hukum adat dirumuskan sebagai konsepsi yang “komunalistik religius”, yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur kebersamaan. Meskipun hanya tanah yang disebut secara eksplisit, tetapi hal itu tidak berarti perairan bukan bagian dari konsepsi hukum adat sebab pada kenyataannya di berbagai masyarakat hukum adat, perairan juga merupakan bagian dari sistem hak ulayat. Hak ulayat laut merupakan terjemahan dari kata dalam bahasa Inggris, “sea tenure”, Sudo (1983) mengatakan bahwa istilah “sea tenure” mengacu kepada seperangkat hak dan kewajiban timbal balik yang muncul dalam hubungannya dengan kepemilikan wilayah laut. Akamichi (1991) mengatakan bahwa hak-hak kepemilikan (property rights) mempunyai konotasi sebagai memiliki (to own), memasuki (to access), dan memanfaatkan (to use). Baik konotasi memiliki, memasuki maupun memanfaatkan tidak hanya mengacu pada wilayah penangkapan (fishing ground), tetapi juga berdasar pada teknik-teknik penangkapan, peralatan yang digunakan (teknologi) atau bahkan sumberdaya yang ditangkap dan dikumpulkan. Jadi yang dimaksud dengan hak ulayat laut adalah seperangkat aturan atau praktik pengelolaan atau manajemen wilayah laut dan sumberdaya yang terkandung di dalamnya Perangkat aturan atau hak ulayat laut tersebut menyangkut siapa yang memiliki hak atas suatu wilayah, jenis sumberdaya yang boleh ditangkap dan teknik mengeksploitasi sumberdaya yang diperbolehkan yang ada di suatu wilayah laut. Apakah pengelolaan perairan sekitar P. Lerelerekang adalah salah satu bentuk hak ulayat laut? Untuk menjawab itu harus ada penelitian. Yang jelas ada kemungkinan untuk itu sebab memang ada pemanfaatan dalam waktu lama lingkungan perairan di tempat tersebut oleh nelayan Suku Mandar Bersambung

Mandar Itu Pelaut Ulung

Sebenarnya P. Lerelerekang atau P. Larilariang hanyalah ‘halaman depan’ orang Mandar di laut. Letaknya termasuk dekat dan sepertinya pelaut Mandar bisa “menutup mata” bila mau ke sana dengan menggunakan perahu. Orang Mandar memiliki akar kemaritiman yang kuat dan terangkai ratusan tahun lampau. Pada gilirannya, ada alasan kuat dan ilmiah bahwa semenjak dulu orang Mandar telah melaut, menangkap ikan dan memanfaatkan P. Lerelerekang. Untuk lebih jelas, dalam tulisan ini saya akan membahas sedikit banyak tentang sejarah kemaritiman orang Mandar. A. A. Cense dan H. J. Heeren (1972), mengatakan bahwa pelaut-pelaut Sulawesi Selatan sering berlayar ke Australia Utara yang oleh orang Sulawesi Selatan dinamakan Merege. Nelayan Mandar juga dikenal sebagai nelayan yang menghasilkan beberapa inovasi, sebagaimana ilmuwan perikanan nasional, Subani (1972:7) dalam buku yang berisi hasil-hasil penelitiannya mengenai beberapa alat tangkap di berbagai daerah di nusantara, “… daerah Sulawesi terutama Sulawesi Selatan dan Tenggara adalah termasuk darah jang paling banjak mentjiptakan bentuk2 alat penangkapan. Alat2 jang berasal dari daerah ini umunja tersebar luas diseluruh daerah perikanan terutama Indonesia bagian timur. […] Selandjutnya untuk pantjing disamping pantjing2 biasa, rawai kita kenal pula matjam pantjing seperti: pantjing uloro (line without sinkers), vertikal longline (Bone, Mandar). Untuk djaring insang kita dapati misalnja: lanra antoni, soma antoni, lanra belanak, lanra sangiri, pukat djadjela, pukat sibola dll.nja. Untuk bubu jang merupakan chiri2 chas ialah “bubu hanjut/apung” (drift fish pot) atau biasa disebut “pakadja”. Mengenai rumpon (lure) jang merupakan tjiri chas ialah adanja rumpon Mandar (rumpon chusus untuk laut dalam).” Adapun pelaut (dari etnis) Mandar secara khusus, menurut Pelras, penulis buku The Bugis, “Sebenarnya orang Bugis bukanlah pelaut ulung seperti yang banyak dikatakan orang selama ini. Orang Bugis sebenarnya adalah pedagang. Laut dan kapal hanyalah media atau sarana yang digunakan untuk memperlancar aktivitas perdagangan mereka. Kalau mau menyebut pelaut ulung, maka yang paling tepat adalah orang Mandar.” Horst Liebner yang mengutip pendapat Pires (1944:226-227) mengemukakan alasan mengapa orang Mandar lebih berorientasi ke laut daripada pertanian, “Salah satu di antara suku-suku Sulawesi Selatan yang mencari kehidupannya di laut adalah Suku Mandar yang mendiami pesisir pantai utara Propinsi Sulawesi Selatan [...] kampung-kampung yang dihuni oleh perantau Mandar didapatkan sepanjang pantai Sulawesi bagian barat; di Teluk Bone, bahkan di beberapa pulau di Selat Makassar dan di pantai timur Kalimantan sampai ke ujung utaranya. Oleh karena tanah daerah Mandar tidak subur, maka orang Mandar sejak dahulu berorientasi ke laut.” Bagaimana corak dari inti kebudayaan masyarakat Mandar dapat dilihat dari segi perwatakannya. AJF Eerdmaans seorang orientalis yang menulis buku Het Landschap Balanipa, mendiskripsikan orang Mandar, “Sungguh pun demikian harus diakui bahwa di dalam keadaan-keadaan sulit ia tidak menampakkan sifat-sifat pengecut dan banyak kali menunjukkan bukti-bukti keberanian pribadinya yang mengagungkan. Di dalam peperangan acap kali ia dapat memilih titik-titik yang strategis; sejarah dapat membuktikannya seperti gerakan-gerakan jasmani, naik kuda, berenang, berlayar adalah termasuk hiburan sepanjang hidupnya”. Khusus mengenai jalur-jalur pelayaran oleh orang-orang Mandar dahulu, dapat kita lihat dalam tulisan L. J. J. Caron, yaitu: De Mandarezen toch bevaren meest de route: Mandar – Singapare – Mandar – Borneo en Mandar – Singapore – Mandar – Molukken. Dalam Memorie Leijdst, Assistant Resident van Mandar (1937 – 1940) ditemukan catatan jalur-jalur pelayaran yang ditempuh oleh pelaut-pelaut Mandar (yang berlangsung sampai saat penjajahan Belanda), bukan hanya terbatas sampai Maluku, tetapi bahkan sampai ke Papua Nugini. Selain itu dari keterangan seorang pemuka masyarakat yang bernama Kambo, sebagaimana ditulis Baharuddin Lopa dalam desertasinya (1982), menjelaskan bahwa ia mengingat betul nenek moyangnya sekitar tahun 1850 telah naik haji dengan menggunakan perahu layar dari Mandar. Dari catatan Caron dan Leijdst serta tulisan-tulisan lainnya, dapat diketahui bahwa jalur pelayaran utama para pelaut Mandar mengikuti garis timur-barat, yaitu Mandar – Borneo – Jawa – Sumatera – Singapura ke barat, dan sekembalinya dari Singapura mereka menempuh pula jalur pelayaran ke Ambon, Ternate, Kepulauan Kei, Aru, Tanimbar, Irian dan juga ke Australia Utara untuk menangkap/membeli teripang. Didapati juga jalur-jalur pelayaran utara – selatan, yaitu jalur utara ke pelabuhan di Sulawesi Utara (Donggala – Tolitoli ) sampai ke Philipina. Jalur ke selatan menuju ke Pulau Jawa dan terus ke pulau-pulau di NTB, NTT, dan Timor. Rute-rute tersebut tidak ditetapkan secara kaku tetapi bisa saja berubah, tergantung faktor-faktor ekonomis dan alam. Menurut De Graaf (1949) orang Sulawesi Selatan (termasuk Sulawesi Barat kala itu) sudah melakukan pelayaran dan berlabuh di pulau-pulau di Selat Makassar setidaknya pada tahun 1642. Dalam buku “Menyisir Pantai Utara: Usaha dan Perekonomian Nelayan di Jawa dan Madura 1850 – 1940” karya Masyuri (peneliti LIPI) disebutkan bahwa sejak abad ke-19 nelayan-nelayan dari Sulawesi Selatan telah menjadi pemasok utama ikan asin ke Jawa. Pendapat tersebut sesuai dengan tradisi nelayan di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Nelayan Mandar di Sulawesi Barat telah melakukan kebiasaan menangkap ikan di perairan Kalimantan hingga Laut Jawa untuk kemudian dipasarkan dalam bentuk ikan kering. Baik untuk berlindung dari badai atau mendapat air tawar mereka singgah atau berlabuh di pulau-pulau kecil. Beberapa hari lalu (9/11) saya bertanya kepada seorang nelayan tua dari Luwaor (Majene), setelah menangkap ikan di perairan P. Lerelerekang, ikannya dijual ke mana? Jawabnya, “Kita biasa jual ikan di Pasuruan dan Panarukan di Jawa Timur.” Bersambung http://ridwanmandar.com/2011/11/24/mandar-itu-pelaut-ulung/

Pulau Lerelerekang Bagian Kepulauan Balabalakang

Pulau Lerelerekang terletak kurang lebih 170 km dari kota Majene. Arahnya dari Majene persis “baraq tappaq” (persis arah barat). Sebab jika ingin menuju P. Larilariang dari Majene (misalnya Luwaor), jika kompas-nya (alat magnetik penunjuk arah) terus pada angka 270 derajat (dengan sedikit penyesuaian), bisa sampai ke pulau tersebut. Terletak pada koordinat 03°30.7’ LS dan 117°27. 9’ BT (berdasar GPS tim patroli laut Polairud Sulawesi Selatan, 15 Oktober 2003). Jarak 170 km hampir sama jarak pelayaran dari Majene ke Makassar. Bila berlayar dengan menggunakan kapal kayu berkecepatan rata-rata 9 knot (mil per jam), maka bisa sampai dalam waktu 9 sampai 10 jam. Adapun jarak P. Lerelerekang ke daratan terdekat yang sah milik Provinsi Kalimantan Selatan sekitar 100 km, yakni ke P. Sebuku atau Kep. Sambergelap (pulau di timur P. Laut). Itu lebih dekat dibanding daratan P. Sulawesi. Tapi bila menjadikan P. Lumulumu (yang juga wilayah Sulawesi Barat) sebagai titik terdekat, jaraknya hanya berkisar 65 km. Jadi, dari segi geografis jarak P. Lerelerekang ke Sulawesi Barat masih lebih dekat dibanding ke Kalimantan Selatan. Hal tersebut dengan sendirinya membantah pendapat pemberitaan media massa di Kalimantan Selatan yang mengatakan, “Kenyatannya di lapangan, Pulau Lari-larian berjarak dengan Pulau Sebuku yang merupakan ibukota kecamatan hanya sekitar 60 mil laut (110 km, red), adapun dengan Pulau Sambergelap yang masih dalam satu wilayah kecamatan sekitar 40 mil laut (75 km, red). Sedangkan jarak Pulau Lari-larian dengan wilayah daratan Sulawesi Barat sekitar 80 mil laut (150 km, red).” Ya, memang jauh bila menjadikan darat Sulawesi sebagai patokan. Tapi karena P. Lumulumu juga adalah wilayah Sulawesi Barat, maka sah-sah saja menjadikannya patokan. Sebagaimana pihak di Kalimantan Selatan yang menjadikan P. Sebuku (yang juga pulau kecil) sebagai titik dasar, bukan daratan Pulau Kalimantan. Adapun Kepulauan Balabalakang, yang juga wilayah Sulawesi Barat, jaraknya ke P. Lerelerekang relatif sama dengan jarak antara P. Lerelerekang dengan P. Sebuku, yakni sekitar 110 km Meski demikian, jarak ke pulau utama bukanlah dasar utama dalam menentukan kepemilikan atas sebuah pulau. Sebagaimana pulau-pulau kecil milik Kabupaten Pangkep (Sulawesi Selatan) yang “menjorok” ke Laut Jawa, yang lebih dekat ke Jawa Timur atau Bali atau Nusa Tenggara. Tapi karena ada nilai historis, pulau-pulau kecil di pertemuan Selat Makassar dengan Laut Jawa dan Laut Flores masuk wilayah Sulawesi Selatan, bukan Jawa Timur, bukan Bali, bukan Nusa Tenggara Barat, dan bukan Nusa Tenggara Timur. P. Lerelerekang adalah pulau kecil. Menurut informasi dari beberapa sumber dan film dokumenter yang pernah dibuat tempat saya bekerja dulu, luasnya tak seberapa, hampir seluas lapangan bola. Demikian juga informasi nelayan Majene yang sering ke sana, P. Lerelerekang memang kecil. Di sana tidak bisa dimukimi sebab luasnya tidak seberapa, tidak ada sumber air, dan terlalu jauh dari daratan utama. Yang di sana hanya tumbuhan semak khas pulau. Pada film dokumenter tentang pemboman ikan di sekitar P. Lerelerekang yang sempat merekam suasana pulau (Oktober 2003), pulau dikelilingi pasir putih, banyak kayu yang terdampar di atas pasir, dan belukar. Tak ada tanaman keras (tinggi) apalagi bangunan. Kabarnya pernah ada lampu suar. Tapi rusak sebab ada yang mengambil aki-nya. P. Lerelerekang terletak di atas kawasan atau bagian pinggir Paparan Sunda. Rata-rata kedalaman lautnya berkisar 40-60 meter. Nanti 40 km ke arah timur baru dalam lautnya, yaitu kedalaman 100 – 600 meter. Sebab masuk wilayah Paparan Sunda, Anggota Tim Koordinasi soal Pulau Lari-larian dari Kotabaru, Taufik Rifani, M. Hum. berpendapat, “Secara geografi, di Selat Sulawesi yang memisahkan dataran Kalimantan dengan Sulawesi terdapat palung laut yang seharusnya dijadikan bukti rujukan, bahwa kedua pulau tersebut dipisahkan oleh batas alam. Di mana Pulau Kalimantan dan Pulau Lari-Larian berada pada paparan Sunda sebelah barat. Sedangkan Pulau Sulawesi berada di paparan Sahul, sebelah timur palung.” Yang perlu dipahami oleh Taufik Rifani, penggunaan landasan kontinen dalam penentuan batas negara tidak serta merta diterapkan untuk batas provinsi. Beda kasus. Apalagi P. Lerelerekang masih terhitung wilayah Kep. Balabalakang. Jika memang menggunakan landasan kontinen, Kep. Balabalakang mestinya milik Kalimantan Timur. Tapi kenyataannya pemerintah Republik Indonesia memasukkan Kep. Balabalakang sebagai wilayah Provinsi Sulawesi Barat. Salah satu dasar hukum Permendagri Kepmendagri Nomor 43/2011 adalah UU No. 26/2004 tentang Pembentukan Sulawesi Barat. Dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa wilayah paling barat adalah gugusan Kepulauan Balabalakang. Yang mana Kepulauan Balabalakang, berbatasan dengan Kabupaten Paser Utara (Kalimantan Timur) dan Kabupaten Kotabaru (Kalimantan Selatan). Jadi, meskipun tidak ada keterangan rinci koordinat, tapi karena sudah menyebut bahwa bagian paling barat adalah gugusan Kepulauan Balabalakang, maka dengan sendirinya P. Lerelerekang masuk. Memang P. Lerelerekang relatif jauh dari gugusan utama Kep. Balabalakang, sekitar 100 km (hanya 60 km dari P. Lumulumu), tapi bila berdasar pada defenisi Konvensi Hukum Laut 1982 Bab IV pasal 46 butir b, kepulauan adalah “suatu gugusan pulau-pulau, termasuk bagian pulau, perairan di antaranya dan lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu sama lainnya demikian erat sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya itu merupakan suatu kesatuan geografis, ekonomi dan politik yang hakiki atau yang secara historis dianggap demikian.” Nah, antara P. Lerelerekang dengan gugusan pulau-pulau di utara itu memiliki hubungan erat, baik dari segi ekonomi maupun historis. Sejak abad ke-19 nelayan-nelayan dari Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat (Bugis, Makassar, Mandar, dan Bajau) telah menjadikan kawasan Kep. Balabalakang hingga ratusan pulau kecil di selatan (misalnya Sabaru, Kalukalukuang, Masalima dan Masalambu) sebagai daerah penangkapan ikan (fishing ground) dan tujuan migrasi saat ada kekacauan di kampung halaman. Faktanya jelas, mayoritas penduduk di pulau tersebut adalah orang-orang Mandar dan Bugis dan hingga saat ini nelayan-nelayan dari Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat menangkap ikan di kawasan tersebut. Pertanyaannya, apakah hal yang sama juga dilakukan penduduk asli Kalimantan Selatan (Banjar dan Dayak)? Lalu, di atas peta yang diterbitkan Bakosurtanal dan Dihidros – AL pada tahun 1992, amat jelas (sebab ada garis perbatasan di laut) P. Larilariang (yang dimaksud adalah P. Lerelerekang) masuk wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. Sebab masuk wilayah Sulawesi Selatan, maka Polisi Air dan Udara (Polairud) Sulawesi Selatan menjadikan perairan P. Lerelerekang dan sekitarnya sebagai daerah patroli. Bersambung

Berlayar ke Pulau Lerelerekang (04): Jadikan Laboratorium Alam

Lalu bagaimana dengan ekosistem di atas permukaan, di P. Lerelerekang. Dalam ilmu kelautan, ekosistem P. Lerelerekang dimasukkan ke dalam ekosistem pesisir yang tidak tergenangi air (uninundated coast), tepatnya formasi Percarpae. Disebut demikian, sebab vegetasi pionir di tempat tersebut didominasi oleh tumbuhan Impomea pescarpae atau kankung laut. Juga ada rumput di beberapa tempat. Di bagian dalam pulau terdapat tumbuhan rimbun, seperti pandan laut yang nampak seperti pohon kelapa dari kejauhan. Pulau Lerelerekang adalah pulau tak berpenghuni. Sebenarnya pulau tersebut bisa dihuni oleh manusia, sebab bagian tengah pulau ada kolam (galian di atas pasir) penampungan air hujan. Airnya tawar tapi agak payau. Hanya saja, sebab lokasinya terisolasi (jauh dari pulau lain), maka tak dihuni. Yang biasa ke sini hanyalah nelayan-nelayan yang berlindung dari badai atau sekedar ‘menanti’. Baik dari Bugis – Makassar, Madura, terkhusus ‘posasiq’ Mandar. Di beberapa tempat terdapat jejak-jejak bahwa manusia sering ke sini, misalnya kolam di tengah pulau. Ada struktur bambu yang berbentuk gawang, seperti bekas memasang tenda. Sekeliling pulai bisa ditemukan bekas tempat telur penyu. Memang kondisi fisik P. Lerelerekang baik bagi penyu menyimpan telur-telurnya. Selain tak ada cahaya yang mengganggu, juga tidak ada manusia yang tinggal di sini. Tapi itu tak berarti betul-betul aman, sebab para pemburu penyu pasti sering ke pulau ini untuk mencari penyu atau telurnya. *** Semua anggota tim naik ke P. Lerelerekang. Mereka melakukan pengamatan atas kondisi pulau dan melakukan transek sederhana. Masuk ke bagian tengah pulau dan menentukan akan dipasang di mana plank. Pukul 07.30 dan 08.30 wita dilakukan pemasangan plank di sisi barat dan timur pulau. Plank bertuliskan: PEMERINTAH KABUPATEN MAJENE PULAU LEREKLEREKAN PROVINSI SULAWESI BARAT // THE ISLAND OF LEREKLEREKA THE GOVERMENT OF MAJENE DISTRIC PROVINCE OFWEST SULAWESI //PERMENDAGRI NO. 43 TAHUN 2011 TENTANG WILAYAH ADMINISTRASI KAB. MAJENE TANGGAL 07 OKTOBER 2011. Plank atau papan nama tersebut terbuat dari papan berukuran sekitar 1 x 1,5 meter, dipasang pada kedua balok kayu yang tingginya sekitar 2,5 meter. Baik papan maupun balok tiangnya dicat putih. Bagian atas ada atap berbentuk genteng berwarna merah maron, terbuat dari logam. Agar kuat, bagian bawah plank dipondasi. Terlepas dua plank tersebut berumur pendek (mungkin karena dirusak manusia, sebab papannya bisa digunakan, atau rusak alami), pemasangan tersebut adalah langkah penting. Bahwa pemerintah Kabupaten Majene terbukti melakukan perhatian terhadap P. Lerelerekang. Mudah-mudahan di masa mendatang ada langkah lebih berarti terhadap pulau tersebut dibanding hanya datang untuk memasang plank. *** Setelah plank dipasang, anggota tim observasi menikmati P. Lerelerekang. Tentu mereka mengabadikan diri di depan plank, baik dengan kamera hp maupun kamera foto. Ada juga yang menuliskan nama instansinya di pondasi plank. Menikmati P. Lerelerekang beragam macam, ada yang mandi-mandi juga ada yang berburu ikan karang dengan menggunakan panah laut (harpoon). Yang tak mandi-mandi, memilih bersantai di darat sambil menunggu makan siang. Dipilih untuk makan siang di pulau, sebab hasil mancing ikan karang di atas kapal cukup banyak. Lumayan buat acara bakar-bakar ikan. Agar lebih nikmat, dipasang tenda biru (betul warna biru terpalnya). Adapun nasi dan lauk lain, yakni “bau piapi” telah disiapkan di atas kapal. Jadi tinggal dibawa ke pulau. ‘Bau piapi’ dan nasi dimasak oleh awak KM Irama Indah di dapur kapal. Awak KM Irama Indah ramah-ramah awaknya. Nakhoda sekaligus juragannya, H. Bachtiar, sering saya lihat shalat di atas geladak kapal. Ada juga seorang tua walau tengah malam, selalu terjaga menjaga kapal. Akhirnya nasi yang ditunggu-tunggu tiba di pulau, di bawa dengan perahu karet. Kebetulan saya ikut ke kapal saat perahu karet ke sana untuk ambil makanan. Jadi saat balik, saya pegang tutup panci ‘bau piapi’. Agar tak ‘tiseo-seoq’ oleh gelombang. Tiba di pulau, anggota tim observasi menikmati hidangan makan siang. Walau sederhana, tapi karena dinikmati di pulau dan ikan yang dibakar hasil tangkapan anggota tim, menikmatinya amat spesial. Begitula, sisi lain kebahagiaan para peng-observasi, selain suksesnya menunaikan tugas memasang plank. Akhirnya, menjelang sore, KM Irama Indah balik ke Majene. Sebenarnya bisa berangkat siang, tapi karena air surut yang menyebabkan ‘ulang-alik’ perahu kareta menjemput anggota tim agak lambat dan cuaca buruk, keberangkatan ditunda sampai sore. Rencananya setelah maghrib agar tiba siang di Majene, tapi karena, mungkin, banyak yang mabuk dan sudah rindu pulang, sang nakhoda KM Irama Indah, H. Bachtiar, “menarik lonceng agar mesin dibunyikan”. Yang mabuk merasa lega. Walau perjalanan lagi 10 jam lebih. Hampir semua terlelap, kecuali awak kapal. Perjalanan ke Majene terasa lebih cepat. Mungkin karena didorong ombak dan di haluan di pasang layar. Menurut Pak Harun, setelah melihat GPS, setidaknya kecepatan bertambah 1 knot, dari rata-rata 9 menjadi 10 knot. Betul juga, kami tiba sekitar jam 3 malam, lebih cepat hampir dua jam dari pada perjalanan ke pulau. Alhamdulillah, tugas ‘nasionalisme’ anggota tim observasi yang dibentuk pemkab Majene berhasil menyelesaikan tugas mulianya. Itu berkat kerjasama dengan semua pihak yang berlayar ke P. Lerelerekang. *** Jika ada yang bertanya, idealnya P. Lerelerekang diapakan? Menurut saya, pulau tersebut harus dijaga. Bukan dari “rampasan” daerah lain, tapi dari kerusakan. Jika terumbu karangnya terus hancur, lambat laun pulau akan tenggelam. Dan secara otomatis, titik dasar (TD) batas wilayah Provinsi Sulawesi Barat akan hilang. Pada gilirannya, akan kehilangan wilayah puluhan kilometer persegi. Itu kerugian luar biasa. Jadi apa langkah konkrit? Ya, bila disekitar pulau menjadi tambang minyak dan gas, di atas kertas akan menguntungkan. Tapi siapakah yang lebih banyak mengambil keuntungan? Apakah rakyat Sulawesi Barat atau para investor? Lalu, apakah pengeboran akan berlangsung esok, pekan depan atau bulan depan? Bisa dipastikan tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Jika pun ada proses observasi hingga eksplorasi, itu akan terjadi 5 – 10 tahun mendatang. Usul saya, baiknya dalam waktu dekat ini Pulau Lerelerekang dicanangkan sebagai laboratorium Universitas Sulawesi Barat atau Daerah Perlindungan Laut (DPL). Bukan hanya dipasangi plank. Dari segi ilmu pengetahuan, P. Lerelerekang cukup penting sebab dia pulau kecil yang agak terisolasi. Kita belum tahu mungkin ada spesies endemik di sana. Memang Sulawesi Barat memiliki beberapa pulau kecil, misalnya di Teluk Polewali atau di Kepulauan Balabalakang, tapi P. Lerelerekang memiliki nilai tersendiri, baik keterisolasiannya maupun dari segi geopolitik. Menjadi laboratorium untuk perguruan tinggi di Sulawesi Barat, sebagaimana hutan yang dikelola dan dijadikan tempat praktek mahasiswa, misalnya Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta dan Universitas Mulawarman di Kalimantan Timur. Dan, jika mahasiswa pecinta alam di Sulawesi Barat lebih kreatif dan tak lupa akar budayanya, jangan hanya mendaki gunung. Tapi kalau betul pemberani, belajarlah melayarkan sandeq, berlayarlah ke P. Lerelerekang, tinggal di sana 1-2 malam, dan pelajari bawah lautnya. Jangan mau kalah sama mahasiswa Universitas Hasanuddin, yang mereka bukan orang Mandar, tapi dengan niat tulus belajar melayarkan sandeq Mandar untuk kemudian mereka layarkan ke Australia, yang tiba beberapa pekan lalu. Kesimpulannya, baik pemerintah Provinsi Sulawesi Barat maupun pemerintah Kabupaten Majene serta rakyatnya, harus melakukan langkah konkrit lebih lanjut dalam pengelolaan P. Lerelerekang yang berkelanjutan. Memang luasnya 6,4 hektar, tapi kalau pulau tersebut tenggelam, puluhan kilometer persegi (sama dengan ribuan hektar) akan lepas dari provinsi yang insya Allah ‘malaqbiq’ ini. Wallahualam. http://ridwanmandar.com/2011/12/12/berlayar-ke-pulau-lerelerekang-04-jadikan-laboratorium-alam/

Berlayar ke Pulau Lerelerekang (03): Kondisi Lingkungan

Setelah mengamankan alat-alat, observasi pertama mulai saya lakukan, yaitu mengukur keliling pulau. Amat gampang, bawa saja GPS sambil berjalan. Agar mudah analasis datanya, setiap 50 langkah saya membuat ‘mark’ (tanda) di dalam GPS. Saya mulau berjalan ke arah utara, dimulai sekitar pukul 07.18. Agar akurat luasnya, saya berjalan pas di pinggir, pertemuan laut dengan pasir. Tapi untuk betul akurat tidak bisa sebab kemungkinan air masih akan surut. Nanti tinggal lihat kondisi surut, kira-kira berapa lebarnya. Jadi dalam analisis data tinggal diperkirakan berapa penambahan luas. Berjalan ke utara, memutar ke timur lalu ke selatan (di selatan ada sisa pondasi lampu suar, yang tadi dikira kapal), kembali ke barat. Akhirnya saya tiba kembali ke titik awal, sekitar pukul 07.30. Biasanya, kalau berjalan 15 menit di jalur datar, itu sama dengan 1 km. Dari hasil keliling pulau, dapat diketahui bentuk pulau bila dilihat dari atas. Juga dapat diketahui luasnya. Setelah data di GPS dimasukkan ke komputer (menggunakan perangkat lunak Garmin Bascamp dan Google Earth), keliling pulau ukurannya sekitar 1 km sedangkan luasnya kurang lebih 64.000 meter persegi atau 6,4 hektar. Adapun jarak terjauh timur-barat sekitar 371 m sedang utara-selatan 341 m. Untuk memanfaatkan waktu, setelah berkeliling pulau, observasi bawah air mulai saya lakukan. Peralatan yang saya gunakan alat selam dasar (masker, snorkel, baju selam, fin) dan kamera bawah air Nikon D300s dengan “housing” Ikelite. Awalnya, waktu di dermaga Majene, banyak yang bilang “Siap-siap mancing ya?”. Pikirnya boks biru yang saya bawa tempat ikan. Saya tersenyum saja dengar pertanyaan itu. Atau jawab “Kamera”. Areal komunitas terumbu karang di sekeliling P. Lerelerekang relatif luas. Bila diukur dari terumbu karang di tempat berlabuh sampai garis pantai pulau, jaraknya bisa sampai 300 meter. Dengan asumsi sekeliling pulau ada karangnya dengan jarak atau lebarnya sekitar 300 meter, setidaknya komunitas terumbu karang P. Lerelerekang sekitar 60 hektar. Ini adalah hitung-hitungan kasar, tapi jika melihat sekeliling pulau, angka tersebut amat memungkinkan. Saya melakukan pengamatan bawah air sekitar 50 – 100 meter dari garis pantai. Dari sisi barat pulau, menuju ke selatan lalu naik ke utara (sisi timur pulau). Tidak sampai ke utara pulau sebab kondisi perairan telah mulau surut saat saya berada di sisi timur. Terumbu karang di Pulau Lerelerekang didominasi terumbu karang Acropora. Cirinya mudah dikenal, berbentuk tanduk rusa. Terumbu karang ini amat rapuh jika terinjak atau terlindas lunas perahu atau dikena jangkar. Acropora mendominasi di sisi barat pulau. Banyak yang masih sehat tapi lebih banyak yang rusak. Kerusakan Acropora di kawasan tersebut sepertinya disebabkan surut yang terlalu ekstrim atau lama terpapar sinar matahari. Itu ditandai dengan bentuk fisik yang masih bagus, tapi sejatinya sudah rusak sebab tak ada lagi zooxanthellae di situ. Lebih banyak berlumut, khususnya di “pucuk-pucuk” karang. Apakah surut ekstrim karena pengaruh pemanasan global? Harus riset lebih lanjut. Di beberapa titik karang hancur karena pengaruh fisik, seperti terinjak. Tapi pada umumnya masih luas yang tidak mengalami kehancuran. Ada banyak bulu babi di beberapa tempat. Banyak bulu babi juga salah satu paramater terjadi ketidakseimbangan. Tapi saya belum menemukan bulu seribu atau Acanchaster Plancii, predator terumbu karang. Semakin ke utara, semakin hancur. Substrat atau pecahan-pecahan Acropora ada di mana-mana membentuk kawasan yang luas. Bagian yang tidak hancur diselimuti lumut. Kontras dengan kawasan yang saya lalui sebelumnya di barat pulau. Dekat ke pondasi mercusuar Acropora atau softcoral hanya ada satu dua. Mungkin karang hancur di kawasan ini sebab dulunya kapal untuk membangun mercusuar lalu lalang di situ. Adapun kawasan tenggara pulau tak lagi dengan pecahan-pecahan karang, tapi telah berpasir. Ada kemungkinan bagian ini dulunya adalah bagian pulau. Tapi karena mengalami abrasi, sekarang berada di bawah permukaan laut. Bergerak ke sisi timur pulau, juga ada perbedaan dengan sisi yang lain. Acropora tidak lagi mendominasi, hanya ada di beberapa titik. Di kawasan ini saya tidak menemukan kelompok bulu babi. Dan yang menarik, ada beberapa koloni anemon beserta ikan badut (sebab hidup bersama anemon, ikan badut lebih dikenal dengan nama ikan anemon). Apakah perairan di sekitar P. Lerelerekang adalah lokasi pemboman ikan? Ya! Sebab selain berdasar informasi dari nelayan pembom, melihat kerusakan terumbu karangnya, khususnya yang berada di kedalam dua meter lebih, itu disebabkan oleh pemboman dan pembiusan ikan. Banyak karang masif dan karang bercabang ukuran besar (yang mendominasi di kedalaman ini) rusak karena bom. Kesimpulannya, bila dikira-kira tingkat kerusakan terumbu karang di sekeliling P. Lerelerekang, perkiraan saya 80-90%. Yang masih sehat berada di kawasan dangkal, yang tak ‘layak’ dibom (sebab terlalu dangkal dan jarang gerombolan ikan konsumsi ada di situ). Masalahnya, terumbu karang tersebut banyak yang rusak gara-gara terpapar panas matahari dalam waktu lama dan dilalui kapal yang mendekat ke pulau. (Bersambung) http://ridwanmandar.com/2011/12/12/berlayar-ke-pulau-lerelerekang-03-kondisi-lingkungan/

Berlayar ke Pulau Lerelerekang (02): Pistol Disiapkan

KM Irama Indah kapal transportasi yang berasal dari Soreang, Majene. Biasanya kapal ini menempuh rute Majene ke pulau-pulau kecil di Kalimantan Selatan. Yang mana di pulau-pulau tersebut banyak tinggal orang Mandar. Ukuran kapal hampir 50 meter. Didesain sebagai kapal penumpang yang bisa memuat barang banyak. Ada beberapa ruang atau bagian di kapal ini. Pertama adalah haluan. Haluan berbentuk segitiga. Lebih enak duduk di haluan bila tak hujan. Setelah itu ruang kemudi. Ukurannya kecil, ndak bisa muat orang banyak. Hanya bisa sekitar lima orang. Di dalam ruang kemudi ada poster Salim S. Mengga, K. H. Syahabuddin, dan ulama dari Kalimantan Selatan. Apakah kebetulan ada dua figur ulama dari Sulawesi Barat dan Kalimantan Selatan? Juga ada lafas doa-doa bertuliskan arab di dinding. Di balik kemudi ada kompas atau pedoman. Tak ada peta laut, juga tak ada alat komunikasi radio. Dari aspek keselamatan berlayar, KM Irama Indah tak layak. Saat ditanya mengapa tak ada radio komunikasi, jawab H. Bachtiar, “Yang ada rusak. Dan sekarang sudah ada hp yang bisa membantu komunikasi”. Ya, memang ada hp, tapi jangkauan hp tidak sampai setelah 10 mil meninggalkan daratan. Di sisi kiri-kanan ruang kemudi ada lorong kecil untuk menuju ruang utama. Ruang utama untuk penumpang. Ada dua tingkat. Hanya bisa duduk di dalam. Tak bisa berdiri sebab tingginya, khususnya yang bagian atas, hanya semeter. Jadi bila bergerak ke arah lain harus jalan jongkok atau tiarap. Kepala sering terantuk sebab tak biasa. Di bagian bawah juga begitu, tapi di sisi kiri-kanan ada lorong menuju ruang belakang. Ruang belakang adalah dapur. Juga da toilet di situ. Adapun buritan ada teras. Bisa untuk mancing. Bagian paling bawah adalah ruang untuk barang. Sedangkan bagian atas atau atap ruang ada tempat lapang. Biasanya juga sebagai tempat barang. *** Sekitar jam 7 pagi, 30 November 2011, anggota tim yang diutus Pemkab Majene, bersiap-siap untuk mendarat di P. Lerelerekang. Ternyata KM Irama Indah bergeser sekitar 3 km dari posisi awalnya, tempat berlabuh semalam. Itu informasi di GPS. Sebab pulau telah terlihat jelas, untuk menuju ke sana dan menentukan tempat berlabuhnya jauh lebih aman dibanding semalam. Perahu mendekat ke pulau, atau berpindah sekitar 3 km dari posisi. Itulah canggihnya GPS. Ukuran sebesar hp lawas tersebut bisa memberi informasi amat akurat. Memang kelihatannya kecil, tapi di baliknya ada 24 satelit super canggih yang memasok informasi ‘real time’ dalam kecepatan tinggi, sepersekian detik. Satelit terletak puluhan kilometer di luar angkasa. Milik Amerika Serikat. Saat mendekat, ada rasa tegang di atas kapal. Samar-samar di pulau ada benda yang nampak seperti perahu. Saya yang duduk di atas dek (atap) sempat melihat polisi yang mengkode temannya untuk menyiapkan pistol. Temannya yang duduk di buritan segera menuju haluan, memberi atasannya pistol. Bukan hanya pistol yang siap sedia dari kemarin. Juga senapan serbu khas polisi. Setidaknya ada dua unit yang saya lihat. Juga ada pistol colt di samping anggota TNI yang ikut. Dari beberapa kali saya mendatangi pulau-pulau kecil di perbatasan, baru kali ini saya bersama serta dengan aparat keamanan lengkap dengan senjatanya. Uniknya lagi, ini pulau yang berbatasan antar provinsi saja. Bukan negara dengan negara. Jadi, senjata untuk apa? Siapa juga mau ditembak. Bila pun ada pihak yang menjaga P. Lerelerekang tidak mungkin juga baku tembak. Tapi saya juga memberi dalih atas pertanyaan saya sendiri tersebut. Senjata itu alat diplomasi. Setidaknya untuk membuat keder jika berhadapan lawan. Tidak selalu harus ditembakkan. Dan, membuat awak atau anggota tim observasi lebih pede dan merasa aman. Tapi kami kecele, ternyata bukan perahu, tapi kayu dan pondasi suar. Setelah berlabuh, kami pun sarapan. Hanya mie siram. Perahu karet telah diturunkan. Tim pertama turun, sekitar 8 orang. Ada pak Asisten II, pak Harun, dan teman jurnalis. Semuanya mengenakan pelampung. Saya dan teman-teman jurnalis serta awak kapal yang lain duduk-duduk di haluan, memperhatikan perahu karet yang menuju pulau. Menunggu giliran diangkut. Tampaknya ada banyak karang di sekeliling pulau. Perahu karet kesulitan untuk langsung mendekat ke pulau. Mereke menuju arah lain dulu agar bisa sampai ke garis pantai berpasir putih. Kami yang berada di kapal merasa sok pintar, “Koq perahu ke sana, ndak langsung ke situ.” Ada yang menimpal, “Kayaknya mereka mau keliling-keliling dulu.” Yang lain menanggapi, “Seharusnya jangan dulu, baiknya semen, pasir, kerikil dan plank diturunkan dulu agar pekerjaan utama ke pulau bisa segera selesai.” Selain menggunakan perahu karet, ada juga yang pake sampan (lepa-lepa) ke sana. Ukuran sampannya besar, khas kapal. Tidak seperti sampan nelayan yang kecil, mungil, rampin, ringan. Ada tiga orang yang memilih pakai sampan. Salah satunya sepertinya jarang naik sampan. Susah menyeimbangkan diri. Bila pakai sampan nelayan, sudah pasti jatuh kalau begitu gayanya. Untung pakai sampan bongsor dan besar, jadi tak terbalik. Ada juga yang memilih berenang. Namanya Wiwin, keturunan Mandar – Bajau Filipina. Menurut percakapan yang saya dengar di atas kapal, Wiwin itu jago menyelam dan menembak ikan. Tak ada takutnya, walau malam. Dan dia pintar bahasa Tagalog, sebab ada banyak kerabatnya di sana, termasuk di Filipina Selatan. Saya juga mau berenang ke pulau, tak terlalu jauh. Tapi karena harus membawa serta alat-alat observasi (kamera bawah air, GPS, kompas, buku catatan, alat snorkling, dll) harus pakai sekoci. Dan saya telah siap dari tadi. Tampaknya saya yang paling banyak bawaannya. Agar duluan berangkat, dari haluan saya pindah ke samping kapal, yang ada pintu untuk naik turun sekoci. Tidak lama kemudian, perahu karet datang, merapat ke sisi KM Irama Indah. Sebelum kami turun, terlebih dulu diturunkan dua zak semen, dua karung kerikil, dua jerigen air tawar, dan sekop. Saat sekoci telah sarat, sekoci putar haluan, kedua kalinya menuju P. Lerelerekang. “Bismillah”, ucap dalam hati saat pertama kali menginjak P. Lerelerekang. Walau secara fisik P. Lerelerekang tak amat spesial, tak ada yang indah kecuali pasir putihnya, bagi saya yang telah menginjak puluhan pulau-pulau kecil, pulau kecil yang ini terasa spesial. (Bersambung) http://ridwanmandar.com/2011/12/12/berlayar-ke-pulau-lerelerekang-02-pistol-disiapkan/

Berlayar ke Pulau Lerelerekang (01): Garis Depan Sulawesi Barat

Dua hari ini terjadi hal bersejarah bagi Sulawesi Barat, khususnya Kabupaten Majene, dalam diplomasi geopolitiknya. Kabupaten Majene menunjukkan keseriusannya dalam hal mengurus wilayahnnya. Dan, walau sedikit terlambat, melakukan langkah signifikan dalam “perang urat syaraf” dengan “lawannya”, yakni Provinsi Kalimantan Selatan. Selasa, 29 November 2011, Bupati Majene, Kalma Katta, melepas rombongan tim observasi yang akan menuju Pulau Lerelerekang (atau P. Larilariang) di dermaga Pelabuhan Majene. Acara berlangsung sekitar jam 10.30 pagi. Tim terdiri dari beberapa unsur, yaitu staf dari Kantor Pemkab Majene, kepolisian, TNI, Dinas Perhubungan (syahbandar), Dinas Pertambangan, Dinas Kelautan dan Perikanan, humas, peneliti, dan jurnalis. Saya belum mencatat siapa saja mereka. Yang jelas, bersama awak kapal (sekitar 7 orang), total jiwa di atas KM Irama Indah sekitar 50 orang. Suara Bupati Majene nyaris tak terdengar saat memberi kata sambutan di upacara kecil-kecilan di atas dermaga, jadi saya tak bisa menyimpulkan apa yang beliau sampaikan. Tapi tentu berkaitan dengan apa yang akan kami lakukan. Setidaknya hati-hati dalam perjalanan dan melalukan apa yang telah diputuskan dalam rapat yang dilakukan Pemkab Majene berkaitan dengan Pulau Lerelerekang. *** Jarak kota Majene dengan P. Lerelerekang sekitar 163 km. Saat berangkat jam 11 siang dari Majene, KM Irama Indah tiba sekitar jam 11 malam. Jauh memang. Tapi jarak jauh itu tak berarti P. Lerelerekang bukan wilayah Majene. Kami tiba di perairan sekitar P. Lerelerekang menjelang tengah malam. Gelap. Tak ada rembulan yang membantu daya pandang. Dalam perjalanan, saya lebih banyak tidur. Alasannya, esok, saat tiba pasti banyak kegiatan. Jadi harus siapkan fisik. Nanti sekitar tujuh mil lagi jarak ke pulau (berdasar GPS) saya bangun untuk kemudian bergabung dengan awak kapal dan anggota tim lain di ruang kemudi dan haluan kapal. Sudah banyak orang yang kumpul di sana. Penasaran dan ingin segera melihat seperti apa itu P. Lerelerekang. Ada tiga awak kapal bertugas pas di ujung haluan perahu. Mereka memegang senter, mengawasi haluan kapal. Sesekali ‘menyenter’ ke dalam laut, mengecek apa dangkal atau tidak. Kemudi perahu langsung ditangani H. Bachtiar, nakhoda kapal yang juga sebagai juragan (pemilik kapal). Sebab navigasi perahu berada di daerah berbahaya (dekat pulau, banyak karang). Beda di laut lepas, kemudi perahu dilakukan bergantian antar kru kapal, khususnya jurumudi. Di dalam ruang kemudi H. Bachtiar didampingi beberapa orang, khususnya Pak Harun. Menuntun arah kapal berdasar koordinat di GPS. Samar-samar dari kejauhan, tampak pendaran cahaya di atas horizon. Sumber cahaya tak kelihatan, sebab berada di balik horizon. Bahasa Mandarnya “pandaraq”. “Pandaraq” salah satu bagian penting dalam navigasi. Sebab bisa menjadi dasar di mana posisi perahu. Biasanya “pandaraq” bersumber dari cahaya perkotaan atau pemukiman penduduk. Jika memang demikian, koq “pandaraq” ini amat terang? Koq letaknya di selatan? Apakah itu “pandaraq” kota di Jawa? Ah tidak mungkin, jarak ke P. Jawa juga puluhan mil. Saya pun bertanya ke awak kapal, jawabnya, “Itu pandaraq dari kapal-kapal pursin”. Yang dimaksud adalah armada penangkap ikan yang menggunakan jaring yang disebut purse seine atau “gae” dalam bahasa Mandar. Memang, nelayan purse seine, khususnya dari Jawa, sangat banyak menggunakan lampu di atas kapalnya. Dan lampunya amat terang benderang. Ikan-ikan yang tertarik pada cahaya sepertinya terhisap ke sana. Dan daerah penangkapan mereka (fishing ground) adalah perairan di mana bertemu tiga perairan: Laut Flores, Selat Makassar dan Laut Jawa, tepatnya di daerah tenggara P. Kalimantan. “Lagi dua mil”, ucap pak Harun. Artinya semakin dekat. Sesekali saya mengecek GPS punyaku. Informasinya relatif sama. Tapi namanya juga alat, tak boleh juga percaya betul sebab ada hal-hal tertentu yang bisa membedakan informasi di alat dengan realitas. Saya dan pak Harun meng-input data koordinat ke GPS akan lokasi P. Lerelerekang berdasar informasi pihak lain (saya dari data GPS petugas patroli kelautan Polairud Sulsel). Dengan kata lain, tidak jelas dimana posisi GPS saat “mark” di GPS ditekan. Apakah di tengah pulau, di pinggir pulau, atau di sekitar pulau (mungkin kapal tidak berlabuh). Jadi, sebagai pedoman saat akan mendekat tidak boleh terlalu mengandalkan GPS. Harus visual langsung. Lagian GPS tak menginformasikan sampai radius berapa kawasan dangkal di sekeliling pulau. Jadi harus tetap dicek kondisi perairan. “Hati-hati, sudah ada “bayang”", teriak salah satu kru yang bertugas mengecek kondisi perairan. Mesin dibuat netral. Memang, samar-samar batu karang mulai nampak saat cahaya senter diarahkan ke dalam laut. Kami makin penasaran di mana posisi P. Lerelerekang. Jika terang, pasti kelihatan. Semakin menuju ke arah haluan kapal (mendekati koordinat yang dituju berdasar GPS), KM Irama Indah makin hati-hati. Kecepatan kapal tak laju lagi. Asal jalan. Mata orang-orang di atas haluan semakin awas. Seakan berlomba menjadi orang pertama yang melihat (menemukan) P. Lerelerekang. “Itu pulaunya,” teriak salah seorang di haluan. Ya, telah ada bayangan yang menunjukkan bahwa itu pulau. Seperti awan gelap di atas horizon. Sebab sudah kelihatan pulaunya dan perairan telah dangkal, diputuskan untuk menurunkan sauh (jangkar). Saat kami tiba, kondisi perairan tidak tenang tapi tidak juga buruk. Ada keinginan dari nakhoda untuk memutar agar bisa berlindung dari angin. Tapi tak dijalani juga pilihan tersebut sebab tidak ada informasi sejauh mana kawasan dangkal di sekitar pulau. Jadi, perahu diputuskan berlabuh. Perasaan lega sebab telah berada dekat pulau. Nanti esok pagi mendekat untuk kemudian mendarat dengan menggunakan perahu karet milik Syahbandar Majene. Saya pun kembali bobo setelah men-set kamera bawah air. Tidak tunggu esok agar tidak buru-buru memasangnya. Bahaya jika ada salah-salah saat dipasang, kameranya bisa-bisa rusak terkena air laut. Memang tujuan utama saya ke pulau mengetahui kondisi di sekitar pulau. Untuk bagian atas pulau bisa sekilas saja sebab pulaunya kecil. Keliling dan transek sudah mencukupi sebab masih observasi. (Bersambung) http://ridwanmandar.com/2011/12/12/berlayar-ke-pulau-lerelerekang-01-garis-depan-sulawesi-barat/

Pulau Lerelerekang dalam Bingkai Otoda

# Muhammad Ridwan Sengketa perbatasan atau “kepemilikan” atas suatu wilayah banyak muncul di era otonomi daerah. Sebelumnya, semenjak Indonesia merdeka hingga berakhirnya rezim Orde Baru, perebutan wilayah antar ‘saudara’ jarang terdengar. Berbeda di masa reformasi ini, sering terjadi sengketa, baik antar desa, antar kecamatan, antar kabupaten, dan antar provinsi. Saya beri tanda kutip (“…”) di kata kepemilikan sebab ada kesalahpahaman di banyak pihak. Mereka menganggap wilayah mereka adalah milik, akan tetapi dalam undang-undang sebatas hak administratif, untuk mengelola saja. Yang agak rumit pengukurannya adalah batas di laut. Secara teori, wilayah administratif atau hak untuk mengelola kabupaten berjarak 4 mil laut (sekitar 7,4 km) dari surut terendah ke arah laut dan provinsi 12 mil laut (22,4 km). Di luar itu pengelolaannya di tangan pemerintah pusat. Bila dua atau lebih provinsi yang ‘berhadapan’ di laut, jika jarak antar keduanya sekitar 50 km atau lebih tidak ada masalah. Atau kalau kurang, misalnya 30 km saja, jarak itu tinggal dibagi dua (masing-masing 15 km). Yang agak rumit bila dua daerah di perbatasannya ada banyak pulau, misalnya Sulawesi Barat (Kep. Balabalakang) dengan Kalimantan Timur. Di daerah perbatasan harus ditentukan terlebih dahulu “titik dasar” (TD) pengukuran. Untuk Indonesia, ada 92 pulau terluar yang menjadi TD. Sebab berkaitan dengan kedaulatan negara, peran TD amat penting, walau itu hanya seonggok batu karang di atas permukaan laut. Beda kasus dengan provinsi. TD tidak serta merta meluaskan wilayah geografis. Ada hitung-hitungannya tersendiri. Sebagai contoh Sulawesi Barat. Sebab Kep. Balabalakang masuk wilayah administratif, karena jaraknya dengan pulau utama (P. Sulawesi) cukup jauh (sekitar 90 km atau 48 mil laut), maka ada “wilayah kosong” sebab kurang dari 24 mil. Bagiang “kosong” tersebut mungkin adalah kewenangan pusat, apalagi di bagian tersebut ada Alur Laut Kepulauan Indonesia (kapal perang asing hanya bisa lewat di situ). Dalam konfigurasi gugusan Kep. Balabalakang yang menjadi kewenangan Provinsi Sulawesi Barat, ada dua pulau letaknya relatif jauh, P. Lumulumu dan P. Lerelerekang. Yang jaraknya melewati batas kewenangan provinsi (12 mil laut). Bila Sulawesi Barat adalah sebuah negara, pulau-pulau terluarnya bisa menjadi TD. Satu TD dihubungkan dengan TD yang lain. Untuk menentukannya ada aturan khusus, diantaranya garis lurus yang menghubungkan tidak boleh melebihi 100 mil laut kecuali bila tiga persen dari jumlah seluruh garis pangkal yang mengelilingi setiap kepulauan dapat melebihi kepanjangan tersebut maka dapat digunakan batas maksimum 125 mil laut; tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari konfigurasi umum kepulauan tersebut; rasio antar luas wilayah perairan dengan daratan minimal harus memiliki luas perairan yang sama besar atau maksimal hanya sembilan kali dari luas wilayah daratannya; dan lain-lain. Jadi perkiraan saya (sebab yang berhak menentukan adalah pemerintah lewat Dinas Hidro-Oseanografi Angkatan Laut dan Badan Koordinasi Survei Nasional) garis imajiner batas laut Sulawesi Barat di Kep. Balabalakang berbentuk mata panah yang mengarah ke bawah (selatan). Yang menjadi sengketa adalah P. Lerelerekang. Diperebutkan sebab ada kemungkinan ada deposit minyak dan gas di bawahnya. Pertanyaannya, apakah deposit tersebut persis di bawah pulau? Kemungkinan itu bisa ya bisa tidak. Jika tidak, mengapa pulau tersebut diperebutkan? Alasannya adalah sebab P. Lerelerekang bisa menjadi TD bagi Kalimantan Selatan untuk memperluas wilayah perairannya. Sebab nantinya akan ada garis lurus yang ditarik dari salah satu titik di pesisir Kalimantan Selatan, misalnya Karang Grogol (pulau terluar yang masuk wilayah Kalimantan Selatan, terletak di utara dekat P. Balabalakang), menuju P. Lerelerekang, lalu ditarik lagi ke pulau paling selatan Kep. Laurot. Garis tersebut akan menjadi wilayah administratif Kalimantan Selatan di laut. Nah di perairan tersebut besar kemungkinan ada titik yang akan dijadikan tempat pemboran minyak. Jadi bukan pulaunya yang langsung dibor. Hal yang sama juga berlaku bagi Sulawesi Barat. Tinggal ditentukan TD-nya, setelah berkoordinasi dengan Dihidros, Bakosurtanal, dan Depdagri. Apa yang Harus Dilakukan? Sebab pemerintah, lewat Kementerian Dalam Negeri, telah menetapkan P. Lerelerekang atau P. Larilariang sebagai wilayah administratif Provinsi Sulawesi Barat (dalam hal ini Kabupaten Majene), maka Pemprov Sulawesi Barat bersama Pemkab Majene harus menindaklanjuti bahwa mereka serius mengurus pulau kecil tersebut. Untuk jangka pendek, yang bisa dilakukan Pemprov Sulawesi Barat bersama Pemkab Majene adalah melakukan riset lapangan atas pulau tersebut. Riset yang mencakup letak koordinat pulau (membawa serta GPS ke sana), mengukur luasnya, sumberdaya apa saja yang ada di sana baik di atas pulau maupun sekitarnya, dan memasang patok permanen bahwa wilayah tersebut adalah wilayah wilayah Provinsi Sulawesi Barat. Aksi simbolis juga bisa dilakukan, Pemprov Sulawesi Barat bersama Pemkab Majene melakukan pelayaran atau kunjungan ke P. Lerelerekang. Bisa oleh gubernur atau bupati langsung, bisa juga bawahannya yang ditunjuk. Sebab lokasinya jauh, harus ada persiapan matang untuk perencanaannya. Setelah ada riset dan kunjungan di sana, Pemprov Sulawesi Barat bersama Pemkab Majene melakukan sosialisasi kepada masyarakat umum, baik kepada rakyat Sulawesi Barat maupun kepada masyarakat Indonesia. Sosialisasi bisa dilakukan dalam bentuk seminar yang menghadirkan pembicara yang berkaitan dengan pengelolaan P. Lerelerekang. Seminar juga bisa bertujuan meminta masukan dari masyarakat atau pihak lain terhadap Pemkab Majene akan bentuk ideal pengelolaan P. Lerelerekang dan sekitarnya. Apakah sebagai daerah tambang lepas pantai atau dalam bentuk lain, misalnya situs budaya kemaritiman Mandar. Bahwa dulunya nenek moyang orang Mandar sering menangkap ikan di kawasan tersebut. http://ridwanmandar.com/2011/11/24/p-lerelerekang-dalam-bingkai-otoda/

Tuesday, February 21, 2012

Bupati Kotabaru Optimis Apbd Capai Rp3 Triliun

Kalimantan Selatan-KOTABARU, (kalimantan-news) - Bupati Kotabaru, Kalimantan Selatan, H Irhami Ridjani, menyatakan optimis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kotabaru kedepan bisa mencapai Rp 3 triliun. "Kami yakin, jika perusahaan migas PT Pearl Oil di Pulau Laria-larian Sebuku itu beroperasi, APBD kita mencapai diatas Rp1 triliun," kata Bupati pada ekspose program pembangunan masyarakat sejumlah perusahaan di Kotabaru, Rabu (26/01/2011). Irhami menjelaskan, Kabupaten Kotabaru tidak lama lagi akan memiliki sumber pendapatan baru selain sumber pendaptan yang ada saat ini, yakni dari sektor minyak dan gas. Sebelumnya, Kabag Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Kotabaru, Taufik Rifani, kepada ANTARA di Kotabaru, mengatakan, PT Pearl Oil Blok Sebuku akan memberikan 10 persen sahamnya untuk pemerintah daerah sebagai "participation interst" (PI). Kotabaru akan memperoleh 66,6 persen saham dan Pemprov Kalsel 33,3 persen dari 10 persen PI. Dijelaskan, berdasarkan pasal 34 Peratuan Pemerintah (PP) no.35 tahun 2004 tentang kegiatan usaha hulu migas, daerah mendapatkan hak istimewa berupa saham `participation interst` sebesar 10. PI 10 persen tersebut merupakan hak istimewa yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah melalui Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) di wilayah kerja pertambangan (WKP) kontraktor kerja sama (KKS). Taufik menjelaskan, berdasarkan data tekhnis lapangan, Blok Sebuku yang terletak di perairan Lari-larian, Kecamatan Pulau Sebuku itu memiliki cadangan gas sekitar 370 billion cubic feet (BCF). Hasil DST test di sumur Makssar Strait-4 menunjukkan adanya kandungan 40 Million Metric Standard Cubic Feet per Day (MMSCF/D) gas dan 50 BPD condensate, terang Taufik. Rencananya gas akan dialirkan melalui pipa di dasar laut sepanjang 300 km ke Senipah, Bontang-Kalimatan Timur. Hasil perhitungan keekonomian, proyek gas dan condensate Blok KKKS Sebuku menunjukkan belanja modal yang harus dikucurkan untuk proyek ini (Capex) mencapai 211 juta dollar AS, Sunk Cost 90 juta dolar, dan internal rate of return (IRR) 35 persen. Selain `participation interst`, Kotabaru juga masih berhak mendapatkan penerimaan atas pengelolaan minyak dan gas keterkaitan dengan kewenangan dan hak Kabupaten Kotabaru pada Blok Sebuku. "Dana bagi hasil dan peluang pendukung bidang migas (Bidang logistik dan penyedia kegiatan teknis seluruh aktivitas pertambangan migas)," tambanya. Pemberian dana bagi hasil telah dijelaskan dalam Undang-Undang no.33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah. Terpisah, Kepala Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Asset Daerah Kotabaru, H A Chrairansyah, menambahkan, meski belum beroperasi, perusahaan tersebut berjanji akan memberikan "reward" kepada pemerintah daerah. "Apalagi jika telah beroperasi, mungkin APBD Kotabaru mencapai Rp3 triliun lebih," ujarnya. Sementara itu, APBD Kotabaru 2011 ditetapkan sekitar Rp 900 miliar. (phs/Ant)

Pemkab Kotabaru dapat 66,6 Persen

KOTABARU, BPOST - Kabupaten Kotabaru, dipastikan memperoleh 66,6 persen saham dari participation interest (PI) sebesar sepuluh persen pemberian perusahaan migas PT Pearl Oil Blok Sebuku. "Sedangkan pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan akan mendapatkan saham dari PI sebesar 33,3 persen dari 10 persen PI," kata Kabag Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Kotabaru, Taufik Rifani, Selasa (1/6). Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 35/2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Migas Pasal 34, daerah mendapatkan hak istimewa berupa saham participation interst sebesar sepuluh persen. PI sepuluh persen tersebut merupakan hak istimewa yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah melalui Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) di wilayah kerja pertambangan (WKP) kontraktor kerja sama (KKS). "Saat ini Kotabaru telah membentuk BUMD Saijaan Mitra Lestari," kata dia. BUMD Saijaan Mitra Lestari itu, lanjut dia bukan hanya akan menangani PI dari PT Pearl Oil yang membuka tambang di Blok Sebuku, namun juga PI dari Blok Segiri dan blok-blok yang lain yang membuka tambang migas di wilayah Kotabaru. "Dalam PP tersebut ditegaskan bahwa penawaran sepuluh persen PI itu harus dilakukan sejak disetujuinya plant of development (POD) rencana pengembangan lapangan pertama kali yang akan diproduksi dari suatu wilayah kerja pertambangan," ujarnya. Taufik menjelaskan, berdasarkan data tekhnis lapangan, Blok Sebuku yang terletak di perairan Lari-larian, Kecamatan Pulau Sebuku itu memiliki cadangan gas sekitar 370 billion cubic feet (BCF). Hasil DST test di sumur Makassar Strait-4 menunjukkan adanya kandungan 40 Million Metric Standard Cubic Feet per Day (MMSCF/D) gas dan 50 BPD condensate. Rencananya gas akan dialirkan melalui pipa di dasar laut sepanjang 300 kilometer ke Senipah, Bontang - Kalimantan Timur. Hasil perhitungan keekonomian, proyek gas dan condensate Blok KKKS Sebuku menunjukkan belanja modal yang harus dikucurkan untuk proyek ini (Capex) mencapai 211 juta dollar AS, Sunk Cost 90 juta dolar, dan internal rate of return (IRR) 35 persen. Selain participation interst, Kotabaru juga masih berhak mendapatkan penerimaan atas pengelolaan minyak dan gas keterkaitan dengan kewenangan dan hak Kabupaten Kotabaru pada Blok Sebuku. (sah/ant) Sumber : Banjarmasin Post (Kamis, 3 Juni 2010).

Produksi Gas Pearl Oil Untuk Dalam Negeri

Ditulis pada 03-02-2012 14:41:41 WIB Mamuju (Phinisinews) - Seratus persen hasil produksi gas yang akan dihasilkan perusahaan migas Pearl Oil di Blok Sebuku perairan Sulawesi, akan diperuntukkan bagi kebutuhan masyarakat dalam negeri. "Tidak akan ada yang dibawa keluar, hasil produksi gas yang akan dihasilkan perusahaan migas Pearl Oil ketika melakukan eksploitasi di Blok Sebuku perairan Sulawesi tahun 2013, seluruhnya akan diperuntukkan bagi kebutuhan dalam negeri," kata Vice President Goverment Relation Business Support Pearl Oil, Taufik Rahardjo di Mamuju, Jumat. Dia mengatakan hal itu pada acara pertemuan antara Pemerintah Sulbar dengan badan pelaksana kegiatan hulu migas dalam rangka pemaparan kegiatan usulan hulu migas oleh kontraktor kerja sama pearl oil. Ia mengatakan, produksi gas yang akan dihasilkan Pearl Oil yang merupakan perusahaan yang berasal dari Uni Emirat Arab, akan dimanfaatkan untuk mendukung program ketahanan energi nasional, yakni pemenuhan gas bagi kebutuhan masyarakat. "Dengan hasil produksi gas Blok Sebuku tidak akan ada lagi masyarakat krisis energi karena kekurangan gas, gas akan mencukupi kebutuhan hidup masyarakat yang salah satunya dihasilkan dari Blok Sebuku tersebut," katanya. Menurut dia, Pearl Oil akan melakukan eksploitasi migas di Blok Sebuku perairan Sulawesi awal 2013, karena telah melakukan ekplorasi migas di Blok Sebuku perairan Sulawesi, yang berbatasan antara Provinsi Sulawesi Barat dan Provinsi Kalimantan Selatan, sejak tahun 2005. Ia mengatakan, sesungguhnya ekplorasi gas yang dilakukan pearl oil di blok Sebuku di perairan Sulawesi, yang kini lokasi tersebut disengketakan antara pemerintah Sulbar dan Kalimantan Selatan (Kalsel), telah selesai dilaksanakan pada 2008. Namun kata dia, karena banyak prosedur yang harus dilengkapi oleh pearl oil untuk melaksanakan eksploitasi gas, maka eksploitasi gas baru dapat dilaksanakan pada 2013 ini. "Banyak prosedur yang harus dilengkapi sehingga eksploitasi gas terlambat dilaksanakan, diantaranya proses tender, perijinan, pengadaan instalasi dan fasilitas ekploitasi sehingga eksploitasi baru dapat dilaksanakan tahun depan," katanya. Menurut dia, Pearl Oil sangat optimis berhasil ketika melaksanakan eksploitasi gas di Blok Sebuku, dan pearl oil akan mampu memproduksi gas yang hasil produksinya belum dapat dihitung untuk kemajuan ekonomi daerah. "Yang jelas gas akan dapat di produksi di Blok Sebuku dan tentunya sesuai komitmen awal separuh dari hasilnya akan digunakan untuk membangun daerah Sulbar yang saat ini berhak sebagai pemilik Blok sebuku, dan untuk pemerintah di tingkat pusat," katanya. (Sumber: PhinisiNews/Ant) http://www.phinisinews.com/read/2012/2/3/9064-produksi_gas_pearl_oil_untuk_dalam_negeri

Saturday, February 11, 2012

Status Kepemilikan Lereklerekan akan Diperkuat dengan PP

Jumat, 03 Februari 2012 20:56 WITA | Sulbar Majene, Sulbar (ANTARA News) - Pemerintah Kabupaten Majene, Sulawesi Barat, akan mengusulkan peningkatan status kepemilikan Pulau Lereklerekan dari Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) menjadi Peraturan Pemerintah (PP), terkait adanya rencana eksploitasi potensi gas di kawasan pulau tersebut. Kepala Dinas Pertambangan Energi Majene, Muhammad Rafli Nur di Majene, Jumat mengatakan, rencana eksploitasi gas pada Blok Sebuku yang terdapat di sekitar Pulau Lereklerekan, Badan Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) meminta kepada Pemkab Majene dan Pemprov Sulbar segera meningkatkan status kepemilikan pulau itu. "Untuk memperkuat kepemilikan Pulau Lereklerekan yang saat ini juga diklaim oleh Kalimantan Selatan, kami telah mendapat petunjuk agar status kepemilikan yang sebelumnya diperkuat melalui Permendagri Nomor 43 Tahun 2011 ditingkatkan menjadi Peraturan Pemerintah," katanya. Jika status kepemilikan telah ditingkatkan menjadi PP, dia mengaku, tidak ada lagi pihak lain yang bisa mengganggu maupun menggugat kepemilikan pulau tersebut dan proses peningkatan status selesai tahun ini sehingga proses eksploitasi bisa dijalankan tahun 2013. Rencananya, pemerintah akan menunjuk perusahaan tambang berasal dari Timur Tengah, yaitu Pearloil yang dianggap telah 16 tahun melakukan penelitian serta pencarian beberapa titik yang memiliki kandungan gas di sekitar Selat Makassar itu. "Untuk biaya eksploitasi dan eksplorasi seluruhnya ditanggung pihak perusahaan sebab pemerintah, dalam hal ini Pemkab Majene maupun Pemprov Sulbar tidak memiliki anggaran yang memadai untuk menanggulangi. Kami akui biaya yang digunakan sangat besar," kata Rafli. Terkait pemasukan yang akan diterima oleh Pemkab Majene dalam kontrak kerja sama antara pemerintah dan perusahaan, Pemkab Majene rencananya mendapat pembagian sebesar 10 persen dari hasil penjualan gas setelah eksplorasi. Dia yakin pengelolaan blok migas tersebut tetap menjadi wilayah dan kewenangan Pemkab Majene serta Pemprov Sulbar sebab telah mendapat dukungan penuh dari pemerintah pusat yang juga telah memasukkan Blok Sebuku dalam kawasan Sulbar dan Majene. "Kami berharap seluruh proses pengurusan dan peningkatan status kepemilikan Pulau Lereklerekan ini bisa berjalan lancar sehingga seluruh rencana dan upaya yang diharapkan sesuai dengan seluruh terget yang telah ditetapkan," kata Rafli. (T.KR-AAT/S023) COPYRIGHT © 2012 http://makassar.antaranews.com/berita/36049/status-kepemilikan-lereklerekan-akan-diperkuat-dengan-pp

Produksi Gas Pearl Oil untuk Dalam Negeri

Jumat, 03 Februari 2012 13:22 WITA | Sulbar Mamuju (ANTARA News) - Seratus persen hasil produksi gas yang akan dihasilkan perusahaan migas Pearl Oil di Blok Sebuku perairan Sulawesi, akan diperuntukkan bagi kebutuhan masyarakat dalam negeri "Tidak akan ada yang dibawa keluar, hasil produksi gas yang akan dihasilkan perusahaan migas Pearl Oil ketika melakukan eksploitasi di Blok Sebuku perairan Sulawesi tahun 2013, seluruhnya akan diperuntukkan bagi kebutuhan dalam negeri," kata Vice President Goverment Relation Business Support Pearl Oil, Taufik Rahardjo di Mamuju, Jumat. Dia mengatakan hal itu pada acara pertemuan antara Pemerintah Sulbar dengan badan pelaksana kegiatan hulu migas dalam rangka pemaparan kegiatan usulan hulu migas oleh kontraktor kerja sama pearl oil. Ia mengatakan, produksi gas yang akan dihasilkan Pearl Oil yang merupakan perusahaan yang berasal dari Uni Emirat Arab, akan dimanfaatkan untuk mendukung program ketahanan energi nasional, yakni pemenuhan gas bagi kebutuhan masyarakat. "Dengan hasil produksi gas Blok Sebuku tidak akan ada lagi masyarakat krisis energi karena kekurangan gas, gas akan mencukupi kebutuhan hidup masyarakat yang salah satunya dihasilkan dari Blok Sebuku tersebut," katanya. Menurut dia, Pearl Oil akan melakukan eksploitasi migas di Blok Sebuku perairan Sulawesi awal 2013, karena telah melakukan ekplorasi migas di Blok Sebuku perairan Sulawesi, yang berbatasan antara Provinsi Sulawesi Barat dan Provinsi Kalimantan Selatan, sejak tahun 2005. Ia mengatakan, sesungguhnya ekplorasi gas yang dilakukan pearl oil di blok Sebuku di perairan Sulawesi, yang kini lokasi tersebut disengketakan antara pemerintah Sulbar dan Kalimantan Selatan (Kalsel), telah selesai dilaksanakan pada 2008. Namun kata dia, karena banyak prosedur yang harus dilengkapi oleh pearl oil untuk melaksanakan eksploitasi gas, maka eksploitasi gas baru dapat dilaksanakan pada 2013 ini. "Banyak prosedur yang harus dilengkapi sehingga eksploitasi gas terlambat dilaksanakan, diantaranya proses tender, perijinan, pengadaan instalasi dan fasilitas ekploitasi sehingga eksploitasi baru dapat dilaksanakan tahun depan," katanya. Menurut dia, Pearl Oil sangat optimis berhasil ketika melaksanakan eksploitasi gas di Blok Sebuku, dan pearl oil akan mampu memproduksi gas yang hasil produksinya belum dapat dihitung untuk kemajuan ekonomi daerah. "Yang jelas gas akan dapat di produksi di Blok Sebuku dan tentunya sesuai komitmen awal separuh dari hasilnya akan digunakan untuk membangun daerah Sulbar yang saat ini berhak sebagai pemilik Blok sebuku, dan untuk pemerintah di tingkat pusat," katanya. (T.KR-MFH/D009) COPYRIGHT © 2012 http://makassar.antaranews.com/berita/36032/produksi-gas-pearl-oil-untuk-dalam-negeri

Tately Butuh Minyak Sulbar 20 Miliar Barel

Selasa, 22 November 2011 SESI.COM- Perusahaan Minyak dan Gas Tately NV membutuhkan cadangan minyak di Provinsi Sulawesi Barat, hingga 20 miliar barel. "Tately NV melakukan pengeboran migas di Sulbar, untuk mencari cadangan minyak hingga mencapai 20 miliar barel, untuk dilakukan eksploitasi "kata General Manager Tately NV, Sean Guest di Mamuju, Selasa. Tetapi kata dia, setelah melakukan pengeboran di Sulbar sejak tahun 2009 yang lalu, Tately belum menemukan cadangan minyak dengan jumlah yang dibutuhkan tersebut, meski telah melakukan pengeboran di lima sumur migas. "Tately NV telah melakukan pengeboran migas di lima sumur pada lokasi berbeda yakni di blok Lariang Kabupaten Mamuju Utara sebanyak dua sumur, dan Blok Karama Kabupaten Mamuju sebanyak dua sumur dan di Kecamatan Tommo Kabupaten Mamuju,"katanya. Namun kata dia, cadangan minyak yang dicari sesuai yang dibutuhkan tidak ditemukan dan Tately hanya menemukan cadangan gas, yang juga belum bisa dikelola karena cadangan gasnya dianggap belum mampu memenuhi kebutuhan Tately untuk melakukan eksplotasi. "Meski dengan anggaran yang cukup besar sekitar 31 juta dolar AS melakukan pengeboran tiap satu sumur migas di Sulbar, namun Tately tidak akan berhenti karena diyakini terdapat cadangan migas di Sulbar sesuai yang dibutuhkan,"katanya. Ia mengatakan, Tately NV akan terus melakukan pengeboran migas di Sulbar hingga cadangan minyak yang dicari dapat ditemukan karena pihak Tately NV Sulbar memiliki potensi cadangan minyak sesuai yang dibutuhkan itu. Ia berharap dukungan pemerintah dan masyarakat Sulbar, kepada Tately yang terus melakukan pengeboran migas terus dilakukan agar Tately tidak menemui kendala melakukan pengeboran. Kami berharap pemerintah dan masyarakat terus mendorong kami melakukan pengeboran dan tidak menghalangi, karena kami yakin minyak yang kami cari ada di Sulbar. "Dukungan itu dibutuhkan karena ketika berhasil ditemukan minyak maka yang akan merasakan dampaknya secara ekonomi adalah pemerintah dan masyarakat Sulbar,"katanya. (iq/ant) http://seputarsulawesi.com/news-9344-tately-butuh-minyak-sulbar-20-miliar-barel.html

Tuesday, February 7, 2012

PKT Tandatangani Kontrak Gas Pabrik Kaltim-5

PT Pupuk Kalimantan Timur (PKT) menandatangani kontrak pasokan gas bumi (Natural Gas Sale & Purchase Agreement/NGSPA) untuk Pabrik Pupuk Kaltim-5 dengan Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) yang terdiri dari Pearloil (Sebuku) Ltd., Total E&P Sebuku, Inpex South Makassar,Ltd, Total E&P Indonesie dan Inpex Corporation, Senin (20/6) bertempat di kantor Kementerian BUMN, Jakarta. Hadir menyaksikan penandatanganan tersebut adalah Menteri BUMN, Mustafa Abubakar, Menteri Perindustrian MS Hidayat dan Dirut Pusri (Persero), Arifin Tasrif beserta Direktur perusahaan di lingkungan PT Pusri (Persero) serta sejumlah pejabat lainnya. Dalam kesempatan yang sama, juga ditandatangani kontrak Proyek Pembangunan Pabrik Kaltim-5, yang terdiri dari Engineering, Procurement & Construction (EPC) dengan Konsorsium PT Inti Karya Persada Tehnik-Toyo Engineering Corporation. Gas bumi yang dialokasikan oleh Pemerintah untuk Pabrik Kaltim-5 sebesar 80 Juta Kaki Kubik per Hari (MMSCFD). Jangka waktu pasokan gas bumi Pabrik Kaltim-5 selama 10 tahun, dimulai dari 1 Januari 2012 hingga 31 Desember 2021. Pada tahun pertama gas bumi akan dipasok dari Blok Mahakam selanjutnya akan dipasok dari Blok Sebuku. Setelah melalui proses negosiasi, harga gas bumi ditetapkan dengan formula yang didasarkan pada harga amoniak dan urea di pasar internasional. Dalam sambutannya, Menteri Perindustrian, MS Hidayat, mengungkapkan bahwa Proyek Kaltim 5 merupakan salah satu program pokok dari Kabinet Indonesia Bersatu II. “Marilah kita sama-sama membuat program ini sukses!”, ujarnya. Beliau juga berharap proyek ini akan semakin memperkuat program ketahanan pangan, dengan membuat pupuk semakin terjangkau oleh masyarakat sehingga harga pangan pun juga akan terjangkau oleh masyarakat banyak. Menurut Dirut PKT, Aas Asikin Idat, pabrik ini akan menggantikan Pabrik Kaltim-1 yang telah cukup tua usianya dan sudah tidak efisien konsumsi energinya.

Monday, February 6, 2012

BPMIGAS Dukung Sulbar Jadi Daerah Penghasil

(RAN)
February 6, 2012 Mamuju – Penetapan Pulau Lari-larian sebagai bagian Sulawesi Barat (Sulbar), memberi peluang kepada provinsi tersebut untuk menjadi daerah penghasil minyak dan gas bumi karena di wilayah pulai tersebut terdapat blok Sebuku yang dikelola Pearl Oil. Kebijakan ini sesuai Pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2005 tentang Dana Perimbangan. Hal tersebut disampaikan Penasehat Ahli Bidang Pemerintahan dan Kewilayahan BPMIGAS, Cornelia Oentarti saat kunjungan kerja dengan Gubernur Sulbar, Anwar Adnan Saleh di Mamuju, akhir pekan lalu. Hadir dalam pertemuan yang membahas kegiatan Pearl Oil di blok tersebut, antara lain Kepala Divisi Perwakilan BPMIGAS, Mulyani Wahyono, Kepala Perwakilan BPMIGAS wilayah Kalimantan dan Sulawesi, Budi Agustono, serta Vice President Administration & General Affairs, Pearl Oil, Taufik Rahardjo. Dia menjelaskan, untuk penetapan daerah penghasil migas, provinsi sebaiknya segera melayangkan surat kepada Menteri Dalam Negeri dengan menyertakan Permendagri Nomor 43 Tahun 2011 tentang wilayah administrasi Pulau Lari-larian. “BPMIGAS dan Pearl Oil secara operasional berkomitmen memberikan manfaat maksimal dalam pengembangan proyek migas tersebut,” kata dia. Keputusan seluruh produksi gas dari lapangan Ruby, blok Sebuku dipasok untuk Pabrik Pupuk Kaltim V adalah kebijakan pemerintah pusat yang bertujuan untuk menciptakan ketahanan pangan dengan meningkatkan produksi pupuk. Mulyani menambahkan, pihaknya membuka keterlibatan daerah di Blok Sebuku. Salah satunya melalui hak partisipasi. BPMIGAS mengharapkan keaktifan Dinas ESDM Provinsi Sulbar untuk memonitor kegiatan dan menyiapkan pengajuan hak partisipasi. “Di sisi lain kami mengharapkan dukungan pemerintah daerah dan masyarakat agar proyek dapat berjalan sesuai rencana,” kata dia. Hal ini sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2012 tentang peningkatan produksi minyak bumi nasional yang menargetkan produksi minyak dapat mencapai 1,01 juta barel per hari pada tahun 2014. Dengan dukungan penuh semua pihak terkait, Taufik optimis Blok Sebuku dapat mulai berproduksi pada 2013. “Mudah-mudahakan dapat menciptakan kemaslahatan bagi masyarakat,” katanya. Hal senada diungkapkan Anwar yang berharap kehadiran perusahaan migas dapat memberi kemajuan yang berarti bagi masyarakat Sulbar.

Eksploitasi Gas Blok Sebuku 2013

Jumat, 03 Februari 2012 Mamuju (ANTARA News) - Gas Blok Sebuku Sulawesi Barat di perairan Sulawesi akan di eksploitasi perusahaan minyak dan gas Pearl Oil pada 2013. Vice President Goverment Relation Bisnis Support Pearl Oil, Taufik Rahardjo di Mamuju, Jumat, mengatakan, Pearl Oil akan melakukan eksploitasi migas di Blok Sebuku awal 2013, setelah melakukan eksplorasi migas di Blok Sebuku sejak 2005. Ia mengatakan, eksplorasi gas yang dilakukan pearl oil di blok Sebuku perairan Sulawesi yang kini disengketakan antara pemerintah di Sulbar dan Kalimantan Selatan (Kalsel) telah berakhir dilaksanakan pada 2008. Namun kata dia, karena banyak prosedur yang harus dilengkapi oleh pearl oil untuk melaksanakan eksploitasi gas, maka baru dapat dilaksanakan pada 2013. "Banyak prosedur yang harus dilengkapi, sehingga eksploitasi gas terlambat dilaksanakan , diantaranya proses tender, perizinan, pengadaan instalasi dan berbagai fasilitas, sehingga eksploitasi baru dapat dilaksanakan tahun depan,"katanya. Menurut dia, Pearl Oil optimistis yakin eksploitasi gas akan berhasil di Blok Sebuku, dan pearl oil akan mampu memproduksi gas yang hasil produksinya belum dapat dihitung untuk kemajuan ekonomi daerah. "Yang jelas gas akan dapat di produksi di Blok Sebuku dan tentunya sesuai komitmen awal separuh dari hasilnya akan digunakan untuk membangun daerah Sulbar yang saat ini berhak sebagai pemilik Blok Sebuku dan untuk pemerintah di tingkat pusat,"katanya. (T.KR-MFH/S016) COPYRIGHT © 2012 http://www.antara-sulawesiselatan.com/berita/36055/30-persen-gas-blok-sebuku-untuk-sulbar

30 Persen Gas Blok Sebuku Untuk Sulbar

Sabtu, 04 Februari 2012 Mamuju (ANTARA News) - Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat mendapatkan 30 persen dari produksi gas Blok Sebuku yang dieksploitasi perusahaan Pear Oil. Direktur Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Provinsi Sulbar Harry Warga Negara di Mamuju, Jumat, mengatakan, ketika Pearl Oil perusahaan migas dari Uni Emirat Arab telah melakukan eksploitasi di Blok Sebuku dan berhasil, sekitar 30 persen produksinya akan diberikan ke Sulbar. Ia mengatakan, Pearl Oil akan melakukan eksploitasi di Blok Sebuku yang terletak di perairan Sulawesi dan masuk dalam wilayah perairan Sulbar pada 2013.

Menurut dia, dari 30 persen produksi Pearl Oil yang akan diberikan ke Provinsi Sulbar, sekitar 12 persen dari bagi hasil migas untuk Sulbar itu, akan diberikan kepada kabupaten penghasil yakni Kabupaten Majene. Sementara itu, kata dia, pemerintah Sulbar akan mendapatkan sekitar 6 persen dan seluruh kabupaten lain di Sulbar juga akan mendapatkan 12 persen dibagi secara merata. "Bagi hasil migas untuk Sulbar sekitar 30 persen dari gas Blok Sebuku itu diatur dalam Undang Undang Nomor 33 tahun 2009, dan akan dimanfaatkan meningkatkan pembangunan daerah," katanya. Vice President Government Relations Business Support Pearl Oil Taufik Rahardjo di Mamuju, mengatakan, Pearl Oil akan melakukan eksploitasi migas di Blok Sebuku pada awal 2013, setelah melakukan eksplorasi migas di Blok Sebuku sejak 2005.

Ia mengatakan, eksplorasi gas yang dilakukan Pearl Oil di Blok Sebuku yang kini disengketakan antara pemerintah Sulbar dan Kalimantan Selatan (Kalsel) telah berakhir pada 2008. Namun, kata dia, karena banyak prosedur yang harus dilengkapi oleh Pearl Oil, eksploitasi gas baru dapat dilaksanakan pada 2013. "Banyak prosedur yang harus dilengkapi sehingga eksploitasi gas terlambat dilaksanakan di antaranya proses tender, perizinan, pengadaan instalasi dan berbagai fasilitas, sehingga eksploitasi baru dapat dilaksanakan tahun depan," katanya. Menurut dia, Pearl Oil optimistis eksploitasi gas akan berhasil di Blok Sebuku, dan Pearl Oil akan mampu memproduksi gas untuk kemajuan ekonomi daerah. "Yang jelas gas akan dapat diproduksi di Blok Sebuku dan tentunya sesuai komitmen awal setengah dari hasilnya akan digunakan untuk membangun daerah Sulbar yang saat ini berhak sebagai pemilik Blok Sebuku dan untuk pemerintah pusat," katanya. (T.KR-MFH/N002) COPYRIGHT © 2012 http://www.antara-sulawesiselatan.com/berita/36055/30-persen-gas-blok-sebuku-untuk-sulbar