Monday, August 26, 2013

WAH, 62 DESA BAKAL KECIPRAT UANG ASING


MAJENE - Kabar gembira bagi para kepala desa di Kabupaten Majene. Di wilayah
Kabupaten Majene terpendam sumber minyak dan gas yang kapasitasnya cukup besar. Hasil surveilandsnya membenarkan bahwa kandungan migas di wilayah Kabupaten Majene Provinsi Sulawesi Barat cukup untuk dieksploitasi secara besar-besaran.

Kalau ini terwujud, para kepala desa di Majene patut bersyukur. Pasalnya, alokasi dana desa yang dikelola selama ini tidak mencukupi untuk meningkatkan sarana dan prasarana di desanya. Jangankan bangun pasar desa, untuk pekerjaan rehab jalan setapak di desa saja tidak cukup.

Parahnya, pemekaran desa bukan menjadi solusi untuk mensejahterakan
rakyat di desa. Imbas dari pemekaran, dana yang dikelola kepala desa sebelum pemekaran capai angka Rp 300 juta, setelah dimekarkan justru terpecah menjadi Rp 150 juta. Kondisi ini menuai keluhan para kepala
desa terpilih hasil pemekaran. Harapan untuk mengelola dana desa yang besar, terbentur dengan aturan pengalokasian jatah dana desa yang dihitung berdasarkan skala proporsional.

Ilustrasi pembagian alokasi dana desa secara akumulatif mengacu pada
sistim perhitungan menggunakan skala tertentu, 30 persen untuk biaya operasional aparat pemerintah desa dan 70 persen untuk pembangunan di desa.

Rumus ini juga berlaku sebelum pemekaran desa, meski sebelumnya
terjadi kesalahpahaman bahwa jika desa dimekarkan bakal bertambah alokasi dana desa ke daerah ini. Ternyata pemahaman itu tidak sepenuhnya benar, pemerintah pusat tidak bakal menambah alokasi dana desa meski Pemerintah Kabupaten Majene genjot pemekaran. Padahal estimasi tersebut tidak sepenuhnya benar, indikator pemekaran untuk mendekatkan pelayanan pemerintah bukan memperbesar porsi alokasi dana desa masuk ke Pemerintah kabupaten.

Fenomena yang terjadi pasca pemekaran desa di Kabupaten Majene yakni anggaran minim untuk membangun desa. Kepala Desa terpilih hasil pemekaran termasuk desa induk harus bekerja ekstra untuk menggenjot pembangunan.

Harapan rakyat di desa kepada kepala desa terpilih yakni mampu membangun mensejahterakan masyarakat sekaligus menata desa agar tidak terkesan terlantar.

Nah, kondisi ini memerlukan solusi dan sumber pendapatan alternatif
desa. Alokasi Dana Desa (ADD) yang disebut minim, tidak cukup untuk membangun perlu ada tambahan. Sementara sumber dana yang akan
digunakan untuk menambah anggaran desa, pemda majene belum bisa
berbuat banyak. Berbagai bentuk bantuan masuk ke desa juga nilainya minim tidak sebanding dengan jumlah desa yang membutuhkan.

Ada beberapa program pemberdayaan yang kucur dari pemerintah pusat. Bank Dunia atau lembaga internasional lainnya turut membantu membangun desa, seperti Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Perdesaan (PNPM Perdesaan) atau PAMSIMAS (Program Pengadaan Air Minum dan Sanitasi Masyarakat) menjadi alternatif mendorong percepatan pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana di desa.

Adapula bentuk bantuan ke desa khususnya sektor kesehatan dan pendidikan. Meski ini sifatnya non fisik, namun dinilai menyentuh kebutuhan masyarakat di desa. Hanya saja pengelolaan non fisik, pemdes memiliki keterbatasan karena dikelola secara kemitraan dengan instansi terkait.

Bagaimana dengan rencana tambang migas di wilayah blok Sibuku lepas
pantai perairan majene. Rencana penambangan masih terus digulirkan, seiring dengan persiapan investor sebelum memulai menambang. Minyak
dan Gas yang ada di bawah tanah ini akan di eksploitasi secara besar-besaran untuk jangka waktu tertentu.

Diruang kerjanya, Sekretaris Daerah Kabupaten Majene, H Syamsiar
Muchtar Machmud mengatakan, Pemkab Majene menyambut peluang tersebut. Eksploitasi migas di wilayah majene akan memiliki dampak positif dan negatif.

Namun kata mantan kepala Bappeda Majene ini bahwa eksploitasi
ini memiliki dampak positif lebih besar dibanding negatif.

Dari gambaran tentang upaya kepala desa untuk memajukan wilayahnya dan mesejahterakan rakyatnya terbentur dengan anggaran alokasi dana desa yang minim. Menurut Syamsiar, gambaran tersebut akan segera teratasi, solusi untuk mendapatkan dana alokasi desa yang besar yakni
melalui bagi hasil tambang yang sudah diatur oleh pemerintah pusat.

Jika rencana PT Pear Oil dapat melakukan eksploitasi di area Blok
Sibuku Majene berhasil. Ini artinya rakyat di Kabupaten Majene akan keciprat hasil tambang tersebut.

"Income per kapita majene akan naik drastis seiring dengan pesatnya kemajuan perkembangan penataan ruang dan wilayah majene,"ulasnya.

Gebrakan ini akan dinikmati masyarakat di desa melalui Alokasi Dana Desa yang disuntik oleh Pemda Majene melalui bagi hasil.

Analisanya begini, kata Syamsiar, apabila perusahaan PT Pear Oil telah
beroperasi di wilayah Sibuku Kecamatan Sendana, tujuh kecamatan di sekitarnya akan mendapat jatah bagi hasil. Nah, hasil dari penambangan itu misalnya sebesar Rp 300 miliar, maka 70 persen akan dialokasikan untuk membangun di Majene sebagai tuan rumah. "Itu sudah termasuk pembangunan di desa,"tambah Syamsiar.

Kalau dihitung secara totalitas, Anggaran yang dikelola Pemda Majene
setiap tahun sangat kecil dibanding empat kabupaten lain di Sulbar. "Perhitungan tidak termasuk gaji PNS dan tunjangannya, makanya keliru jika disebut besar,"paparnya. Pendapatan Asli Daerah Majene tidak pernah mencapai target jadi sulit untuk bisa berbuat banyak. Menurut Syamsiar, dengan adanya tambang migas ini, majene bisa terbangun lebih cepat.

Berdasarkan pasal 34 Peraturan Pemerintah (PP) nomor 35 tahun 2004
tentang kegiatan usaha tambang migas dari hulu ke hilir, Pemda setempat mendapatkan hak istimewa berupa saham participation interst sebesar 10 persen tersebut. Untuk hitungan dengan Pemprov, Pemda memperoleh hak perolehan saham sebesar 66,6 persen dan Pemprov mendapat hak sebesar 33,4 persen.

Jika tahun ini lanjut Syamsiar, ADD Kabupaten Majene hanya 10 miliar. Maka nilai tersebut akan bertambah. Desa tidak lagi mengelola anggaran 130 - 270 juta per tahun tetapi naik menjadi Rp.39 miliar per tahun.(hfd/ahm)

GAS LAPANGAN RUBY: Pengembangan Terancam Sengketa Wilayah



BISNIS.COM, JAKARTA--Sengketa wilayah Pulau Lari-larian antara Kalimantan Selatan dengan Sulawesi Barat dapat mengganggu proyek pengembangan gas di Lapangan Ruby, Blok Sebuku yang dioperatori Pearl Oil.

Sekretaris Satuan Kerja Khusus Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Gde Pradnyana mengatakan pihaknya sangat mengkhawatirkan keberlangsungan proyek pengembangan gas di wilayah itu. Pasalnya, saat ini sedang dilakukan pekerjaan pembangunan anjungan (platform) di Lapangan Ruby.

“Jadi yang direbutkan antara Kalimantan Selatan dan Sulawesi Barat itu sumur migas yang ada di sana. Kalau ada sumur migas di satu daerah, maka daerah itu akan memperoleh dana bagi hasil. Nah sumurnya sendiri berjarak 18 mil dari Pulau lari-larian,” katanya di Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (17/6).

Pradnyana mengungkapkan SKK Migas sendiri telah mendapatkan somasi dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan karena telah melakukan pertemuan dengan Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat. Padahal, pertemuan tersebut sebagai kelanjutan dari pertemuan SKK Migas dengan Pemerintah Provinsi Kalimantan selatan sebelumnya.

Pertemuan dengan dua Provisi tersebut, lanjut Pradnyana, dilakukan karena SKK Migas tidak ingin berpihak dan hanya akan menjalankan keputusan Kementerian Dalam negeri terkait wilayah tersebut.

Seperti diketahui, Peraturan Mendagri No. 43/2011 menetapkan Pulau Lari-larian masuk ke dalam wilayah administratif Provinsi Sulawesi Barat. Akan tetapi, Mahkamah Agung kemudian membatalkan aturan itu dan menyatakan pulau tersebut masuk ke dalam wilayah Kalimantan Selatan.

“Sebenarnya ini tidak perlu dipermasalahkan, karena Pemerintah Pusat memiliki mekanisme untuk mengatur dana bagi hasil. Apalagi, dana yang diterima Pemerintah Pusat dari lapangan migas itu akan dikembalikan kepada dua Provinsi itu,” jelasnya.

Sesuai jadwal produksi gas dari Lapangan Ruby, sebanyak 100 juta kaki kubik per hari (million standard cubic feet per day/MMSCFD) dapat dimulai pada Oktober 2013 mendatang. Gas tersebut nantinya akan dimanfaatkan oleh pabrik Pupuk Kaltim unit 5.

Selain itu, SKK Migas juga telah menyiapkan skenario menggunakan gas dari Total E&P Indonesie dan Vico Indonesia jika sengketa wilayah itu sampai mengganggu pengaliran gasnya. Gas dari Total dan Vico itu untuk menggantikan alokasi dari Pearl Oil.

Blok Sebuku sendiri dioperasikan oleh Pearl Oil bersama kontraktor Total E&P Indonesie dan Inpex Corporation. Pearl Oil merupakan kontraktor migas yang milik perusahaan asal Uni Emirat Arab, Mubadala Petroleum.

Lapangan Ruby memang dirancang untuk memproduksi gas sekitar 214 miliar kaki kubik (BCF) selama 10 tahun. Laju produksi tertinggi hingga 100 MMSCFD akan berlangsung selama empat tahun dari 6 sumur pengembangan. Konsep pengembangan lapangan adalah pembangunan sistem proses terintegrasi yang terdiri dari enam slot WHP yang terhubung dengan jembatan ke PQP yang terletak di laut dengan kedalaman 60 meter.

SKK Migas Khawatir Pengembangan Lapangan Ruby Terganggu Sengketa Wilayah



Satuan Kerja Khusus Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi mengkhawatirkan proyek pengembangan gas Lapangan Ruby, Blok Sebuku yang dioperasikan kontraktor, Pearl Oil, bakal terganggu sengketa wilayah.

Sekretaris SKK Migas Gde Pradnyana di Jakarta, Senin mengatakan, saat ini, pekerjaan pembangunan anjungan (plattform) Lapangan Ruby memang masih berjalan.

"Namun, sengketa wilayah dikhawatirkan akan mengganggu jalannya proyek yang dijadwalkan mulai produksi Oktober 2013," ucapnya.

Menurut dia, Provinsi Sulawesi Barat dan Kalimantan Selatan saling mengklaim Pulau Lari-larian yang berlokasi dekat proyek Ruby masuk ke dalam wilayahnya.

Kedua pemprov tersebut memperebutkan sumur Lapangan Ruby yang berjarak 18 mil laut dari Pulau Lari-larian.

"Pejabat Sulbar baru saja datang ke proyek itu, sementara minggu sebelumnya Kalsel datang," ungkapnya.

Selain itu, Pemprov Kalsel juga menyomasi SKK Migas, karena bertemu dengan pejabat Sulbar di Surabaya, Jatim.

"Padahal, pertemuan itu sebagai penyeimbang setelah sebelumnya bertemu Pemda Kalsel, agar kita tidak berpihak," tukasnya.

Ia mengkhawatirkan, eskalasi sengketa kedua pemprov tersebut bakal terus meningkat dan mengancam kelanjutan proyek Ruby.

"Namun, kami berharap itu tidak terjadi," ujarnya, berharap.

Atas persoalan sengketa tersebut, SKK Migas menunggu keputusan pemerintah.

"Kami harapkan Mendagri segera berikan keputusan status wilayah tersebut di mana batas-batasnya," katanya.

Peraturan Mendagri No 43 Tahun 2011 tertanggal 29 September 2011 sudah memutuskan Pulau Lari-larian masuk ke dalam wilayah administratif Provinsi Sulbar.

Namun, Mahkamah Agung membatalkan Permendagri dan menyatakan pulau tersebut masuk ke dalam wilayah Kalsel.

"Jadi, posisinya sekarang menjadi tidak jelas," kata Gde.

Sesuai jadwal, produksi gas Lapangan Ruby sebesar 100 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) bisa dimulai Oktober 2013. Produksi gas akan dimanfaatkan Pabrik Pupuk Kaltim Unit 5.

Kalau pengaliran gasnya terganggu, maka Total E&P Indonesie dan Vico Indonesia sebagai produsen gas di Kaltim mesti menggantikannya.

Blok Sebuku dioperasikan Pearl Oil bersama kontraktor Total E&P Indonesie dan Inpex Corporation.

Pearl Oil merupakan kontraktor migas yang dimiliki perusahaan asal Uni Emirat Arab, Mubadala Petroleum.

Mubadala sendiri juga menjadi operator Blok West Sebuku, yang bersebelahan dengan Sebuku, bersama Inpex. (ant/as)

Sengketa Lapangan Ruby Hambat Pengembangan Gas

Wahyu Utomo
Sengketa lahan melibatkan Sulawei Barat dan Kalimantan Selatan.


SENGKETA lahan kerja dikhawatirkan mengganggu proses pembangunan proyek pengembangan gas Lapangan Ruby di Blok Sebuku. Lapangan gas bumi ini (migas) dioperasikan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) Pearl Oil.


Sekretaris Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Gde Pradnyana mengatakan sejauh ini konstruksi anjungan (platform) di Lapangan Ruby tetap berjalan. Jika sengketa wilayah terus dibiarkan kemungkinan jadwal produksi pada Oktober 2013 bakal mundur. "Proyek itu sedang jalan tetapi memang dikhawatirkan terganggu pengerjaan anjungan yang sedang dipasang sekarang," kata Gde ditemui di Jakarta, Senin (17/6).


Perkara wilayah kerja migas itu lantaran Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar) dan Kalimantan Selatan (Kalsel) memperebutkan sumur di Lapangan Ruby. Lokasinya berjarak 18 mil dari Pulau Lari-larian yang diklaim kedua provinsi. SKK Migas khawatir sengketa wilayah justru menghambat kelanjutan pekerjaan di Ruby.


Pejabat dari kedua provinsi mengunjungi proyek Ruby bergantian dalam selang waktu sepekan. Bahkan, akibat bertemu dengan Pemprov Sulbar di Surabaya, Jawa Timur, SKK Migas disomasi Pemprov Kalsel. Padahal pertemuan SKK Migas dan Pemprov Sulbar dimaksudkan sebagai penyeimbang pasca bertemu dengan Pemprov Kalsel.


"Pada intinya kami berharap supaya pemerintah dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri segera memberikan keputusan status dari wilayah tersebut, yakni tapal batasnya. MA mencabut keputusan dari Mendagri bahwa Pulau Lari-larian masuk wilayah Kalsel. Jadi sekarang tidak jelas," ujar Gde kepada wartawan.


Sebelumnya dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 43/2011 diputuskan bahwa area Pulau Lari-larian jadi bagian administratif Provinsi Sulbar. Tapi keputusan Mahkamah Agung (MA) membuat aturan itu batal bahkan ditetapkan sebaliknya yakni masuk ke Kalsel.


Produksi gas perdana dari Lapangan Ruby sebanyak 100 juta kaki kubik per hari (mmscfd) bisa dimulai pada Oktober 2013. Rencananya, gas bumi itu akan dipasok ke Pabrik Pupuk Kaltim Unit 5 seharga US$6 per mmbtu. Artinya, kalau target produksi terhambat maka KKKS Blok Sebuku harus siap menanggung terlebih dulu penyaluran ke pabrik pupuk itu.

Gde menjelaskan alasan masing-masing pemprov memperebutkan sumur di Lapangan Ruby lantaran mengincar dana bagi hasil untuk daerah. "Kalau sumur ada di satu daerah maka daerah dapat dana bagi hasil. Nah sumurnya sendiri berjarak 18 mil dari Pulau Lari-larian. Ini sebenarnya tidak perlu dipertentangkan karena pusat akan turun ke daerah juga dan yang dapat juga daerah, Kalsel dan Sulbar," ujarnya.


Selain Pearl Oil, Blok Sebuku juga melibatkan dua kontraktor migas lain yakni Total E&P Indonesie dan Inpex Corporation. Pearl Oil adalah KKKS milik Mubadala Petroleum asal Uni Emirat Arab. Mubadala juga mengoperatori Blok West Sebuku bersama Inpex.

Dini Hariyanti




http://www.jurnas.com/halaman/20/2013-06-18/251867

Kalsel-Sulbar Minta Kemendagri Selesaikan Soal Perbatasan



REPUBLIKA.CO.ID, MAMUJU--Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri) diminta segera menyelesaikan sengketa tapal batas antara Provinsi Kalimantan Selatan dan Provinsi Sulawesi Barat. Anggota DPR-RI dari Partai Demokrat, Boki Ratu Nita Budhi Susanti, S.E, saat berada di Mamuju, Jumat, mengatakan, DPR-RI mendesak Kemendagri menyelesaikan sengketa tapal batas antara Provinsi Kalsel dan Sulbar.

Ia mengatakan pentingnya penyelesaian tapal batas Provinsi Kalsel dan Sulbar agar dalam pengelolaan aset kedua wilayah tidak menimbulkan masalah. "Pengelolaan aset yang dimaksud adalah bagi hasil migas ketika ekploitasi minyak dan gas yang terletak diperbatasan kedua Provinsi tersebut dilaksanakan," katanya.

Menurut dia, masalah perbatasan timbul sesungguhnya karena keinginan pengelolaan aset migas dari kedua wilayah, sehingga masalah perbatasan tersebut harus secepatnya diselesaikan agar siapa yang berhak mengelola aset migas yang dikelola investor bisa ditetapkan.

"Koordinat batas kedua Provinsi itu harus ditetapkan agar juga bisa ditetapkan siapa yang berhak mengelola aset miga di perbatasan kedua daerah, tepatnya di wilayah kepulauan Lerelerekang yang terletak diselat Makassar," katanya.

Ia mengatakan, DPR-RI akan memberikan tenggang waktu penyelesaian tapal batas itu paling lambat sampai akhir tahun ini, agar tidak lagi timbul masalah. "Kami juga segera akan panggil Kemendagri membahas penyelesaian tapal batas antara Provinsi Kalsel dan Sulbar ini, agar masalahnya tidak berlarut-larut," katanya.

Gubernur Sulbar, Anwar Adnan Saleh, sebelumnya sangat mendukung apabila masalah perbatasan di Sulbar diselesaikan pemerintah pusat. "Sebenarnya pemerintah di Sulbar menganggap tidak memiliki masalah perbatasan, hanya pemerintah di Kaltim saja yang selalu ingin merebut pulau Salissingan yang berada di perairan sulbar untuk masuk dalam wilayahnya," katanya.

Begitu juga dengan Provinsi Kalsel, yang ingin merebut pulau Lerelerekang yang berada di wilayah perairan Kabupaten Majene Provinsi Sulbar karena pulau itu kaya akan Migas. "Sejak zaman orde baru Kalsel dan Kaltim tidak pernah berencana merebut pulau pulau yang ada di sulbar itu, baru sekarang ini mereka mau merebutnya ketika tahu pulau itu kaya akan Migas," katanya. Ia mengatakan, pemerintah di Sulbar akan mempertahankan pulaunya agar tidak direbut Provinsi Kaltim dan Kalsel meski tetap berharap pemerintah pusat dapat menengahi masalah perbatasan wilayahnya itu.

Sunday, August 25, 2013

Harvest Natural Rencanakan Bor Lagi PSC Budong-Budong

Harvest Natural Rencanakan Bor Lagi PSC Budong-Budong

MigasReview, Jakarta – Harvest Natural Resources, perusahaan energi yang tercatat di Bursa New York, berencana untuk kembali melakukan pengeboran eksplorasi pada November mendatang di Production Sharing Contract (PSC) Budong-Budong di Sulawesi Barat. Meski demikian, operator ini belum berhasil mendapatkan rig untuk operasi tersebut.

Seperti dilansir upstreamonline.com, Senin (27/5), Harvest tengah mencari rig untuk pengeboran berkekuatan 350- 450-tenaga kuda untuk eksplorasi mendatang di prospek Madjene di Cekungan Lariang.

Harvest memiliki saham operasi sebesar 72 persen di blok yang sebelumnya dikuasai British Petroleum pada 1970-an itu. Penghijauan besar-besaran membuat biaya pengeboran jadi mahal di daerah yang jauh dari pantai. Namun demikian, sejumlah proyek kelapa sawit memicu peningkatan aksesibilitas yang membuka jalan bagi eksplorasi minyak.

Sumur eksplorasi pertama Harvest, Lariang, yang dibor pada Januari 2011, menemukan tanda-tanda minyak dan gas di lapisan Miosen sekunder. Target Eosen primer terletak di bawah Miosen pada kedalaman 7.200 meter. Pada tahun yang sama, sumur taruhan eksplorasi (wildcat) Karama juga dibor.

Tahap eksplorasi awal selama enam tahun berakhir pada Januari 2013, tapi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan gas Bumi (SKK Migas) bulan itu menyetujui perpanjangan empat tahun lagi. Menurut Harvest, jika sumur itu tidak juga dibor sampai Januari 2016 PSC akan dihentikan.

Kegiatan operasional tahun lalu difokuskan pada kajian data geologi dan geofisika yang diperoleh dari sumur eksplorasi taruhan Lariang dan Karama untuk meningkatkan prospek blok tersebut dan untuk menentukan prospek potensial pengeboran pada 2013. Harvest telah menyelesaikan pemetaan ulang Cekungan Lariang dan Karama, di mana delapan lead di Cekungan Lariang dan lima lead di Cekungan Karama berhasil diidentifikasi.

Lead-lead inilah yang memicu para mitra untuk meminta perpanjangan jangka waktu eksplorasi di PSC Budong-Budong.

Menurut Harvest, rembesan minyak dan gas mengonfirmasi adanya sistem petroleum yang bekerja pada blok tersebut, mirip dengan cekungan yang dekat dengannya, Barito dan Selat Makassar. (cd)

- See more at: http://migasreview.com/harvest-natural-rencanakan-bor-lagi-psc-budong-budong.html#sthash.fQb7MVI2.dpuf

Anggaran Pengeboran Migas Matra Rp90 Miliar



Mamuju (ANTARA Sulbar) - Anggaran yang dialokasikan perusahaan melakukan pengeboran minyak dan gas di Blok Budong Budong Kecamatan Baras Kabupaten Mamuju Utara Provinsi Sulawesi Barat mencapai Rp90 miliar.

"Dana investasi yang disiapkan untuk melakukan pengeboran Migas di Blok Budong Budong Kecamatan Baras Kabupaten Mamuju Utara mencapai Rp90 miliar," kata General Manager PT Harvest, Patrick Brozan di Mamuju, Rabu.

Ia mengatakan, perusahaan Harvest yang merupakan perusahaan Migas dari Negara Amerika menggantikan PT Tately NV sebelumnya melakukan pengeboran Migas di Blok Budong Budong, cukup beresiko melakukan pengeboran Migas di Blok Budong Budong.

"Meskipun beresiko dengan membuang anggaran besar dan hasilnya belum tentu menemukan migas, namun kami tetap akan lakukan pengeboran arena yakin ada kandungan migas di blok itu," katanya.

Ia mengatakan, PT Harvest merupakan mitra PT Tately NV yang sebelumnya melakukan pengeboran migas di Blok Budong Budong tetapi kemudian mengundurkan diri dan memberikan kewenangan kepada PT Harvest melanjutkan pengeboran.

Menurut dia, pada awal tahun 2014 PT Harvest akan melakukan pengeboran migas di Blok Budong Budong, dan sangat butuh dukungan pemerintah dalam rangka pengelolaan migas yang dilakukan perusahaannya.

Ia berharap pemerintah di Sulbar dapat memfasilitasi PT Harvest untuk mendapatkan izin melakukan pengeboran karena lahan yang akan menjadi lokasi pengeboran perusahaannya berada diatas lahan perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Unggul Widya Lestari yang beroperasi di Kecamatan Baras Kabupaten Mamuju Utara.

"Pemerintah di Sulbar diharapkan dapat memfasilitasi agar perusahaan perkebunan sawit yang lahannya akan dijadikan lokasi pengeboran migas seluas satu hektare dapat memberikan kepada PT Harvest untuk diganti rugi," katanya. Agus Setiawan

Editor: Daniel
COPYRIGHT © 2013

Perusahaan Amerika, Harvest Resmi Kelola Blok Migas Budong-budong Mamuju Utara


RAKYAT SULSEL (Senin , 15/Juli/201)


Penulis : Enis
Editor : Azis Kuba

PASANGKAYU, RAKYATSULSEL.COM – Investor Minyak dan Gas (Migas) asal Amerika Serikat, Harvest Natural Resources LIc, resmi kelola migas di blok Budong-Budong, Desa Motu, Kecamatan Baras, Kabupaten Mamuju Utara (Matra), Senin (15/7).

Sumur ekplorasi MJN-1 yang ditinggalkan perusahaan Tatelly N.V ini beroperasi di Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) Budong-Budong berdasarkan surat SKK Migas Nomor 0164/SKKO0000/2012/SO, tertanggal 25 Maret 2013, tentang operator WKP Budong-Budong yang dialihkan dari tatelly N.V ke Harvest Budong-Budong B.V.

Disela ekspose dan pembahasan soal UKL UPL di ruang pola kantor Bupati Matra, Senin sore (15/7), Bupati Matra H Agus Ambo Djiwa menuturkan, perusahaan pengelolaan migas di Matra pada prinsipnya
akan diberikan kemudahan untuk berinvestasi.

Menurutnya, soal migas adalah hal strategis yang sudah diatur oleh negara, sehingga daerah hanya sebatas memfasilitasi antara masyarakat dengan perusahaan. Adapun mengenai prioritas penggunaan tenaga kerja lokal, Agus mengatakan, hal itu tentu sudah dipikirkan dan dibicarakan, namun soal tenaga kerja lokal hanya sebatas profesi yang nonteknis.

“Kami sebagai pemerintah akan berikan kemudahan untuk berinvestasi,” janjinya.

Selanjutnya ia mengatakan, perusahaan bersama pemerintah akan terus melakukan sosialisasi
tentang dampak dan manfaat keberadaan perusahaan serta lingkungan. Olehnya itu kata Agus sangat diharapkan dukungan masyarakat, dimana migas adalah harapan untuk mendongkrak nilai Pendapatan Asli Daerah (PAD).

“Kita harapkan migas di Matra dapat menaikkan PAD kedepan,” harapnya.

Hasil ekspose, tentang rencana Harvest melakukan action diperkirakan Januari tahun 2014 mendatang, dimana mobilisasi dan demobilisasi peralatan menggunakan dermaga Bonemanjeng Baras ke Desa
Motu. Namun sebelumnya, dermaga Bonemanjeng akan dilakukan perbaikan sesuai standar keamanan
dan keselamatan kerja.

Kegiatan tersebut, selain dihadiri langsung Bupati Matra H Agus Ambo Djiwa, juga dilakukan penandatanganan kesepakatan bersama antara manager HR and General Afair Harvest B.V Johannes
Kurendeng dengan Kepala BLH Matra H Jamal dengan disaksikan Kepala BLH Provinsi Sulbar H Sarjan Lakki dan para kepala SKPD lingkup pemkab Matra.

Pemerintah Alokasikan Gas Untuk Tiga Pabrik Pupuk



Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah mengalokasikan pasokan gas bumi buat memenuhi kebutuhan tiga pabrik pupuk yang akan dibangun di tiga wilayah dalam waktu dekat.

Alokasi tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM No 3288K/15/MEM/2010 tentang Alokasi Gas Bumi untuk Proyek Pabrik Pupuk Kalimantan Timur Unit 5, Satu Pabrik Pupuk di Donggi-Senoro, dan Satu Pabrik Pupuk di Tangguh yang salinannya diperoleh di Jakarta, Senin.

Keputusan yang ditandatangani Menteri ESDM Darwin Saleh pada 31 Desember 2010 itu merupakan kelanjutan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010 dan juga dalam rangka memprioritaskan gas untuk industri pupuk.

Ketiga pabrik pupuk itu adalah Pupuk Kalimantan Timur Unit 5 (PKT-5) di Kalimantan Timur, satu pabrik di Donggi-Senoro, Sulawesi Tengah, dan satu di Tangguh, Papua.

Pasokan gas PKT-5 berasal dari dua wilayah kerja yang berada di Kalimantan Timur yakni Mahakam dan Sebuku terhitung mulai tanggal 1 Januari 2012 sampai 31 Desember 2021.

Selanjutnya, alokasi gas pabrik pupuk di Donggi-Senoro berasal dari Lapangan Donggi Senoro di Sulawesi Tengah dan pabrik pupuk di Tangguh dari Lapangan Tangguh di Papua.

Kepmen juga menetapkan harga gas bumi ditetapkan Menteri ESDM dengan mempertimbangkan keekonomian pengembangan lapangan dan praktek kelaziman bisnis.

Sebelumnya, dalam berbagai kesempatan, Menteri ESDM Darwin Zahedy Saleh mengungkapkan, pemanfaatan gas buat memenuhi kebutuhan pasar domestik akan dilakukan sesuai prioritasnya.

Hal tersebut dilakukan karena terkendala infrastruktur, besarnya cadangan, dan keekonomian pengembangan gasnya.

Menurut dia, prioritas utama pemanfaatan gas adalah memenuhi ketahanan energi yakni pembangkit listrik dan juga pabrik pupuk untuk ketahanan pangan.

Berdasarkan data BP Migas, kontrak pasokan gas bumi untuk domestik pada tahun 2011 mencapai 56,78 persen dari total kontrak atau sekitar 4.366 miliar british thermal unit per hari (BBTUD).

Sisanya, sebesar 3.322 BBTUD atau 43,22 persen diperuntukkan untuk ekspor. Tahun 2010, realisasi pasokan gas untuk domestik sebanyak 4.342,71 BBTUD atau sekitar 50,18 persen.

Sementara gas untuk ekspor sebanyak 4.311,58 BBTUD atau 49,82 persen. Untuk listrik, realisasi 2010 sebesar 854,88 BBTUD dan meningkat menjadi 1.510,6 BBTUD di 2011.

Peningkatan pasokan gas listrik berasal dari Lapangan Wortel (Santos), Sungai Kenawang (JOB Pertamina Talisman Jambi Merang), Kampung Baru (Energy Equity Sengkang), PetroChina Jabung, dan "ramping up" Lapangan Singa (Medco EP).

Sedangkan, realisasi pasokan gas 2010 kepada industri baik melalui penjualan kepada PT PGN Tbk maupun langsung ke industri sebesar 1203,18 BBTUD.

Kontrak tahun 2011, meningkat sebesar 1.690,43 BBTUD. Peningkatan pasokan untuk industri diharapkan berasal dari Kalila Bentu dan JOB Pertamina PetroChina East Java.(*)

Mulai 2009-2013, Produksi 10 Lapangan Migas Digenjot




Jakarta, (ANTARA News) - Badan Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) akan mempercepat dan menggenjot produksi minyak dan gas di 10 lapangan mulai 2009-2013.

Kepala BP Migas R Priyono dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR di Jakarta, Senin mengatakan, dari 10 lapangan tersebut empat di antaranya mulai produksi 2009.

"Sedang, sebanyak tiga lapangan mulai produksi 2010, satu lapangan pada 2011, satu lapangan pada 2012 dan satu lapangan lagi pada 2013," katanya.

Sebanyak empat lapangan yang mulai produksi pada 2009 adalah Pulau Gading dan Sungai Kenawang yang dioperasikan JOB Pertamina-Hess Jambi Merang.

Selanjutnya, Lapangan Alur Siwah, Alur Rambong, dan Julu Rayeu dengan kontraktor Medco Malaka, Sabak yang dioperasikan BOB BSP-Pertamina, dan Duri Area 11 dari Chevron Pacific Indonesia.

Kemudian, tiga lapangan yang mulai berproduksi 2010 adalah
Randublatung, Kedunglusi, dan Kedungtuban dari Pertamina EP, Bukit Tua dari ConocoPhillps Ketapang, dan Ruby dari Pearl Oil.

Sedangkan, lapangan yang berproduksi 2011 adalah Madura BD dari Husky Oil, 2012 South Mahakam dari Total E&P Indonesie, dan Kutai Basin Deepwater yang meliputi Gendalo, Maha, Gandang, Gehem, dan Bangka dari Chevron Indonesia dan ENI pada 2013.

Sebelumnya, BP Migas juga akan mempercepat produksi 13 lapangan migas pada 2008. Ke-13 lapangan tersebut Tangguh (BP Indonesia), Banyuurip (Mobil Cepu Limited), North Duri (Chevron Pacific Indonesia), Bekapai (Total E&P Indonesie), Lukah-1X (Star Energy), dan KKB-01 (Pertamina EP).

Selain itu, NCJ-01 (Pertamina EP), Handil Phase-3 (Total E&P
Indonesie), Kaju (Medco E&P), Randegan Utara (Pertamina EP), Anggor (JOB Pertamina-Costa), Lengowangi-1 (JOB Pertamina-PetroChina East Java), dan Tunu Phase-13A (Total E&P Indonesie).

Priyono mengatakan, selain percepatan produksi, program peningkatan produksi lainnya yang akan dilakukan BP Migas yakni mempercepat proses administrasi dan implementasi peraturan Menteri ESDM mengenai pengusahaan sumur tua dan lapangan yang tidak diusahakan. (*)

Kemendagri siap tangani sengketa tapal batas Sulbar


Mamuju (ANTARA News) - Jajaran Kementerian Dalam Negeri menyatakan siap menangani sengketa tapal batas wilayah antara Provinsi Sulawesi Barat dengan provinsi tetangganya.

"Ada dua sengketa tapal batas wilayah yang hingga kini belum tuntas tertangani yakni sengketa kepemilikan Pulau Lere-Lerekang dengan Provinsi Kalimantan Selatan, dan sengketa tapal batas wilayah Sulbar dan Sulawesi Tengah," kata Dirjen Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Dr I Made Suwandi di Mamuju, Jumat.

Menurut dia, dua sengketa tapal batas wilayah di Sulbar ini akan segera ditangani, sehingga tidak menjadi persoalan yang bisa menghambat pelaksanaan pembangunan di daerah.

"Persoalan tapal batas wilayah bisa terjadi karena saat dilakukan pemekaran tidak melengkapi dokumen titik koordinat batas wilayah," katanya.

Oleh karena itu, kata I Made akan mengambil alih penyelesaian sengketa tapal batas antara Sulbar dan Kalimantan Selatan, maupun Sulbar dengan Sulawesi Tengah.

"Kami masih yakin persoalan tapal batas yang terjadi di Sulbar akan tertangani dengan baik. Menuntaskan masalah ini sangat sederhana sekali untuk segera kita carikan solusinya diantaranya mempertemuakan dua wilayah bersengketa untuk dibuatkan standar operasional dokumen batas wilayah," katanya.

Sengketa tapal batas wilayah antara Sulbar dan Sulteng yang telah berlangsung 42 tahun, menurut dia cukup mengejutkan.

"Ini tidak boleh berlarut-larut, agar persoalan ini tidak berpolemik. Jika terus berpolemik, bisa mengganggu pelaksanaan pembangunan di daerah," kata dia.

Oleh karena itu, kata dia, Sulbar yang masih berpotensi dilakukan pemekaran hingga sembilan kabupaten/kota harus melengkapi syarat administrasi sebelum dilakukan pemekaran kabupaten baru.

"Sulbar yang saat ini terdiri dari lima kabupaten harus memperjelas batas wilayah. Makanya, jika ada usulan pemekaran baru harus memperjelas titik koordinat batas wilayah sehingga tidak menjadi buah masalah baru dikemudian hari," katanya.

I Made menambahkan, dirinya tidak akan pernah menyetujui pemekaran kabupaten baru apabila tidak jelas titik koordinat wilayahnya. (ACO/M008)

Editor: B Kunto Wibisono

sumber: http://www.antaranews.com/berita/334598/kemendagri-siap-tangani-sengketa-tapal-batas-sulbar

Karena Migas, Pemprov Kalsel dan Sulbar Saling Berebut Pulau Larian






Kamis, 2 Mei, 2013


Kotabaru - Provinsi Kalimantan selatan dan Provinsi Sulawesi Barat , Saling mengklaim kepemilikan atau wilayah administratif Pulau Lari-larian yang saat ini tengah proses hukum, Dalam prosesnya melalui surat keputusan MA (Mahkamah Agung No 01/ p/HUM/2012) , MA mengabulkan hak uji materiil dari permohonan Pemprov Kalsel atas Pemprov Sulbar.


Pemprov sulbar keliatannya lebih getol untuk memiliki Pulau Lari-larian yang berada di perbatasan kedua propinsi .


Sementara Pemprov kalsel sendiri ngotot hasil klaim pemprov sulbar mengenai kepemilikan pulau lari-larian tidak sah , Hal ini dikuatkan dengan Permendagri No 43 Tahun 2011 tentang wilayah administratif Pulau Lari-larian.


Kadistamben Kabupaten Kotabaru Prov Kalimantan Selatan Ir. Kamiruddin, M.Si Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Kotabaru kepada deliknews.com , mengaatakan bahwasanya sudah sangat jelas didalam putusan MA tersebut dan sesuai dengan data dukungan yang dimiliki oleh Kalsel dan Kabupaten Kotabaru bahwa pulau Lari-Larian jelas masuk kedalam wilayah administrasi Kalsel, dan juga sesuai dengan putusan itu pula dinyatakan bahwa tidak ada yang namanya pulau Lari-larian yang dinyatakan oleh pihak Sulbar.


Lebih jauh ia mengatakan, sebagai informasi beberapa waktu yang telah lewat diadakan rapat internal dengan Pemerintah Provinsi guna mempersiapkan perhitungan untuk wilayah Kalsel yakni sebanyak 10% dari pengelolaan nanti pada pulau Lari-Larian, dan itu yang menjadi pembahasan antara pihak Provinsi Kalsel dan Kabupaten Kotabaru.


“Saya dengar Sulbar meminta fatwa kembali dan rasanya tidak mungkin lagi untuk meminta hal itu sedangkan putusan MA mengenai status pulau sudah dikeluarkan dan didalam putusan itu sudah sangat jelas sekali, setelah melakukan beberapa pertimbangan dan melihat bukti-bukti yang ada maka diputuskan oleh MA”


Harusnya Depdagri sekarang bisa menerima dengan legowo atas hal tersebut karena bukan hanya itu saja yang diurusi oleh mereka, jangan sampai nantinya ini hanya akan menjadi persoalan baru yang itu sama sekali tidak kita kehendaki terjadi.


Kepada pihak lainnya agar dalam menelaah putusan MA tersebut bisa dibaca secara keseluruhan jangan hanya sepotong-sepotong karena biar jelas isi dari putusan itu sendiri,” paparnya.


Apalagi sekarang, lanjutnya pula, untuk daerah Kotabaru sudah keluar Perda (Peraturan Daerah) Nomor 11 tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kotabaru tahun 2012-2032.


Disana juga jelas ada salah satu pasal tepatnya pasal 28 poin b yang menyatakan bahwa kawasan pulau Lari-Larian di Kecamatan Pulau Sebuku yang merupakan kawasan strategis dari sudut kepentingan ekonomi.


Disinggung mengenai Blok migas yang berada di pulau Larian , Ia pun menduga karena hal itu ” Jangan-jangan karena potensi Migas yang ada di pulau itu sehingga Pemprov Sulbar ingin merebutkan Pulau Lari-larian” ungkapnya


(Herpani)






http://www.deliknews.com/2013/05/karena-migas-pemprov-kalsel-dan-sulbar-saling-berebut-pulau-larian/#.Uhqi7JJHKuI

Sunday, August 18, 2013

SKK Migas Harap Kemendagri Segera Selesaikan Status Tapal Batas Perairan Pemda Kalsel dan Sulbar


Senin, 17 Juni 2013
JAKARTA, PedomanNEWS - Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) berharap Kementerian Dalam Negeri segera menyelesaikan tapal batas wilayah perairan di selat antara wilayah Kalimantan Selatan dan Sulawesi Barat.

Sekretaris SKK Migas, Gde Pradnyana mengemukakan, wilayah tapal batas perairan di selat antara Kalsel dan Sulbar merupakan wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi yang dikelola oleh PearlOil. Saat ini, lapangan tersebut lokasinya 12 mil dari pulau Lari-Larian versi Kalimantan Selatan atau pulai Lerek-Lerekan versi Sulawesi Barat.

 "Pada intinya, kami berharap supaya pemerintah, dalam hal ini Menteri Dalam Negeri supaya dapat segera memberikan keputusan tentang status tapal batas wilayah tersebut," ujar Gde saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (17/6).

Ia mengkuatirkan, anjungan (platform) yang saat ini dipasang oleh PearlOil terganggu oleh klaim kedua Pemda tersebut dengan mengerahkan massa. "Pasalnya, masa-masa belakangan ini silih berganti pemda dari kedua selat tersebut, dari Sulawesi Barat, Bupati Majeni dan rombongan berkunjung ke atas kapal Kastoro yang digunakan untuk anjungannya. Kemudian minggu lalu, kita terima somasi dari Gubernur Kalimantan Selatan. Karena kami mengadakan pertemuan dengan Pemda Sulbar di Surabaya. Padahal pertemuan itu kita laksanakan sebagai penyeimbang terhadap pertemuan sebelumnya yang kita lakukan di Kalimantan Selatan," paparnya.

Ia menegaskan, SKK Migas sebagai lembaga pengawas kegiatan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tidak berpihak ke salah satu pemda. "Sebenarnya kita terserah pemerintah pusat terkait permasalahan tersebut. Tapi karena Pemda Sulbar protes, maka kami ajak mereka bertemu di Surbaya. Namun, pertemuan di Surabaya juga diprotes oleh Pemda Kalsel," tuturnya.

Sebelumnya, kata Gde, perijinan kegiatan tersebut dilakukan dengan pihak Pemda Kalimantan Selatan. Karena Sulawesi Barat provinsi pada waktu itu belum ada.

"Jadi izin-izinya semua dari pemerintah pusat. Kemudian karena pipanya masuk ke Senipah, ke ngurusnya ke Kaltim. Kalau di laut terbuka, kita mintanya di pemerintah pusat," terangnya. "Jadi, yang diperebutkan adalah sumur itu. Karena ada ketentuan, kalau sumur itu ada di suatu wilayah suatu daerah, maka daerahnya berhak mendapatkan dana bagi hasil dari kegiatan migas. Dan sumur itu sendiri, itu berada kira-kira 18 mil dari pulau tersebut," jelasnya.

Sementara, terkait dana bagi hasil migas, lanjut Gde, pemerintah pusat mempunyai mekanisme sendiri terkait pengaturan dana bagi hasil kegiatan migas. "Menurut saya, hal ini tidak perlu dipertentangkan karena bagaimanapun juga, itu kan turunnya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Kalses dapat, dan Sulbar juga dapat," katanya.

Untuk diketahui, Lapangan Ruby di Blok Sebuku dengan operator Pearl Oil (Sebuku) Ltd., direncanakan mulai memproduksi gas bumi pada Oktober 2013

Gubernur Sulbar minta pengeboran migas Lerelerekang ditunda



Mamuju (ANTARA News)- Gubernur Sulawesi Barat Anwar Adnan Saleh meminta Pear Oil menunda sementara waktu pengeboran minyak dan gas di Kepulauan Lerelerekang hingga penyelesaian sengketa wilayah dengan Kalimantan Selatan tuntas.

Saat ini klaim Provinsi Sulawesi Barat dan Kalimantan Selatan atas Kepulauan Lerelerekang belum ada penyelesaian, kata Gubernur Sulbar Anwar Adnan Saleh di Mamuju, Selasa.

"Pearl Oil, yang menjadi perusahaan migas pemenang tender Blok Sebuku di Kepulauan Lerelerekang, jangan melakukan pengeboran dulu sebelum jelas koordinat batas wilayah antara Sulbar dan Kalsel," katanya.

Sulbar tetap akan mempertahankan Kepulauan Lerelerekang sebagai wilayahnya meski juga diklaim Provinsi Kalsel masuk wilayahnya.

Ia mengatakan, saat ini Pearl Oil telah membangun pipa di bawah laut sepanjang 350 kilometer menuju pabrik PT Pupuk Kaltim di Kalimantan dan siap melakukan ekploitasi pengeboran migas di Kepulauan Lerelerekang.

Ia berharap agar sengketa Lerelerekang yang permasalahannya sudah melalui proses hukum di Mahkamah Agung (MA) agar secepatnya diputuskan dan MA mesti mengeluarkan fatwa tentang kepemilikan Lerelerekang.

"MA secepatnya harus memutuskan wilayah Lerelerekang milik provinsi mana. Sulbar tetap akan mempertahankan daerah itu sebab masuk ke wilayah Sulbar sesuai Undang-Undang Pembentukan Provinsi Sulbar dan sejak daerah Sulbar dijajah Belanda," katanya. (MFH/A013)

Editor: B Kunto Wibisono

COPYRIGHT © 2013


Suasana Pertemuan: Patrick Brazan (Harvest), Ngatijan (SKK Migas), H. Anwar Adnan Saleh (Gubernur Sulawesi Barat) Johanes Karundeng (Harvest)


Peralihan operatorship Blok Budong-Budong dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) Tately Budong-Budong N.V kepada KKKS Harvest Budong-Budong B.V disampaikan Kepala SKK Migas Perwakilan Kalimantan Sulawesi, Ngatijan dihadapan Bapak Gubernur Sulawesi Barat, di Mamuju . (22/7)

PT. Harvest merupakan perusahaan Migas Amerika yang menggantikan PT Tately NV yang sebelumnya melakukan pengeboran migas di Blok Budong Budong.

Menurut Ngatijan, tahap pertama eksploitasi migas di Blok Budong Budong akan dilaksanakan awal tahun 2014 dengan melakukan pemboran migas sedalam 1.000 meter di atas lahan seluas satu hektare. Pada tahap selanjutnya luas lahan yang akan menjadi lokasi eksploitasi akan ditingkatkan.

Ngatijan didampingi General Manager PT Harvest, Patrick Brazan, menemui Gubernur Sulbar menyampaikan Harvest rencananya akan melakukan pemboran sumur taruhan (eksplorasi) di Desa, Desa Motu, Kecamatan Baras, Kabupaten Mamuju Utara (Matra).

Ia berharap pemerintah di Sulbar memberikan dukungan kegiatan eksploitasi Migas guna mendukung pertumbuhan ekonomi khususnya di Provinsi Sulawesi Barat.

Ia menuturkan terdapat sedikit masalah dalam pengeobaran migas yang akan dilakukan PT Harvest karena lokasinya berada di atas lahan perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Unggul Widya Lestari yang beroperasi di Kecamatan Baras Kabupaten Mamuju Utara.

Karena itu pemerintah di Sulbar diharapkan dapat memfasilitasi agar perusahaan perkebunan sawit yang lahannya akan dijadikan lokasi pengeboran migas dapat memberikan kepada PT Harvest dengan ganti rugi.

“Kami berharap PT Unggul dan pemerintah di Sulbar dapat membantu PT Harvest melakukan eksploitasi migas dengan memberikan lahan yang akan dijadikan lokasi pengeboran,” katanya.

Harvest melaporkan biaya pengeluaran pemboran untuk satu Sumur Eksplorasi mencapai Rp. 90 milyar. Biaya sebesar itu untuk membiayai operasional pelaksanaan pemboran tahap III yang sebelumnya dilakukan oleh Tately NV dengan dua Sumur Ekplorasi (LG-1 & KD-1).

Ngatijan juga sangat berharap dengan peralihan operator pada Blok Budong-Budong ini, akan diperoleh hasil yang diharapkan. “Sudah banyak contoh blok Migas, setelah ganti operator bisa menemukan hidrokarbon yang ekonomis untuk diproduksi” . ungkap Ngatijan.

(FA) foto: Biro Humas Sulbar

Pemerintah Pastikan DBH Migas Lapangan Ruby untuk Pemda Kalsel dan Sulbar






JAKARTA, PedomanNEWS - Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) memastikan, pemerintah pusat mempunyai mekanisme pembagian dana bagi hasil (DBH) untuk pemerintah daerah Kalimantan Selatan dan Sulawesi Barat atas kegiatan migas, khususnya sumur di lapangan Ruby Blok Sebuku yang dikelola PearlOil.


Sekretaris SKK Migas Gde Pradnyana mengemukakan, pemerintah pusat mempunyai mekanisme sendiri untuk mengatur dana bagi hasil (DBH) kegiatan migas, khususnya sumur di lapangan Ruby Blok Sebuku yang berada 18 mil dari pulau Lari Larian versi Kalimantan Selatan atau Lerek Lerekan versi Sulawesi Barat.


"Menurut saya, tidak perlu dipertentangkan karena bagaimanapun juga itu jatuhnya dari pemerintah pusat untuk pemerintah daerah. Yang dapat pemerintah daerah juga, Kalsel dapat, Sulbar juga dapat," jelas Gde kepada PedomanNEWS.com, Jakarta, Rabu (19/6).


Sebelumnya, SKK Migas mengkuatirkan kegiatan produksi gas bumi di anjungan (platform) yang berada 18 mil dari pulau Lari Larian versi Pemda Kalimantan Selatan, dan pulau Lerek Lerekan versi Sulawesi Barat terganggu atas klaim masing-masing pemda dengan pengerahan massa.


Gde berharap Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) segera menyelesaikan status tapal batas wilayah perairan di selat yang diperebutkan dua pemda tersebut. Lebih lanjut, Gde menegaskan SKK Migas tidak berpihak terhadap salah satu pemda.


Untuk itu, SKK Migas berharap produksi gas tersebut tetap pada jadwal semula yaitu pada Oktober ini. "Namun, kalau kegiatan itu kemudian terganggu oleh salah satu pihak dengan mengerahkan massa. Itu yang kuatirkan. Kita berharap itu jangan sampai terjadi. Pasalnya, kalau rig berhenti bekerja itu akan repot sekali," pungkasnya.

Gantikan Tately, PT Harvest Eksploitasi Migas di Blok Budong Budong, Sulbar






Bisnis-kti.com, MAMUJU–Perusahaan asing PT Harvest akan melakukan eksploitasi minyak dan gas di Blok Budong Budong Kecamatan Baras Kabupaten Mamuju Utara Provinsi Sulawesi Barat.


Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Perwakilan Wilayah Kalimantan dan Sulawesi, Ngatijan, mengatakan itu saat menemui Gubernur Sulbar Anwar Adnan Saleh di Mamuju, Senin (22/7).


Ngatijan didampingi General Manager PT Harvest, Patrick Brozan, menemui Gubernur Sulbar.


Harvest merupakan perusahaan Amerika yang menggantikan PT Tately NV yang sebelumnya melakukan pengeboran migas di Blok Budong Budong.


Menurut Ngatijan, tahap pertama eksploitasi migas di Blok Budong Budong akan dilaksanakan awal tahun 2014 dengan melakukan pengeboran migas sedalam 1.000 meter di atas lahan seluas satu hektare. Pada tahap selanjutnya luas lahan yang akan menjadi lokasi eksploitasi akan ditingkatkan.


Ia berharap pemerintah di Sulbar memberikan dukungan kegiatan eksploitasi guna mendukung pertumbuhan ekonomi.


“PT Harvest telah memenuhi segala ketentuan perundangan untuk melakukan eksploitasi, sehingga masyarakat kami harapkan untuk memberikan dukungan. Kegiatan ini akan menjadi sumber pendapatan daerah,” katanya.


Ia menuturkan terdapat sedikit masalah dalam pengeobaran migas yang akan dilakukan PT Harvest karena lokasinya berada di atas lahan perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Unggul Widya Lestari yang beroperasi di Kecamatan Baras Kabupaten Mamuju Utara.


Karena itu pemerintah di Sulbar diharapkan dapat memfasilitasi agar perusahaan perkebunan sawit yang lahannya akan dijadikan lokasi pengeboran migas dapat memberikan kepada PT Harvest dengan ganti rugi.


“Kami berharap PT Unggul dan pemerintah di Sulbar dapat membantu PT Harvest melakukan eksploitasi migas dengan memberikan lahan yang akan dijadikan lokasi pengeboran,” katanya. (ant/mtb)


http://www.bisnis-kti.com/index.php/2013/07/gantikan-tately-pt-harvest-eksploitasi-migas-di-blok-budong-budong-sulbar/

Sunday, June 23, 2013

Dirjen KP3K Sebut Kilang di Luar Wilayah Sulbar

Dirjen KP3K Sebut Kilang di Luar Wilayah Sulbar

REPORTER: RIDWAN ALIMUDDIN
EDITOR: MUHAMMAD ILHAM

JAKARTA — Bila berdasar pada Permendagri Nomor 1 Tahun 2006 tentang
Pedoman Penegasan Batas Daerah dan mengacu kepada UU Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka wilayah kilang gas yang
sementara dibangun di dekat Pulau Lere-lerekang tidak masuk wilayah
Provinsi Sulbar.
Hal tersebut disebabkan kilang yang berada di luar 12 mil atau
berjarak 16 mil dari Pulau Lere-lerekang. Itu disampaikan Dirjen
Kepulauan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K) Kementerian Kelautan
dan Perikanan Sudirman Saad, 13 Juni lalu.
“Ya, kalau menurut peraturan, perairan yang berada di atas 12 mil itu
wilayahnya pusat. Demikian juga kilang yang ada di situ, perijinan
pengelolaannya itu juga dilakukan oleh pemerintah pusat,” kata
Sudirman Saad kepada Radar Sulbar.
Sementara pratisi hukum nasional asal Sulbar, Rudy Alfonso di tempat
terpisah berpendapat berbeda. “Memang kalau disebutkan disebutkan di
UU 32, 12 mil ke atas itu nasional. Itu kalau pemberian ijinnya. Bukan
hasilnya. Kalau ijin oleh pusat, kalau hasil nanti dulu. Ndak bisa
begitu dong, masa pulaunya tok. Ini kan namanya kepulauan. Siapa yang
berhak atau yang pertama kali diberikan hasilnya, yang punya wilayah
dong,” tangkis Rudy.
Mengenai masalah ini maupun tentang Pulau Lere-lerekang, sebagai putra
daerah Rudy bersedia bantu. Tapi kan itu ada prosesnya. Tapi saat ini
ia tidak pernah diminta secara resmi untuk membantu. “Tanpa bermaksud
menyombongkan diri, beberapa waktu lalu saya berhasil memenangkan
salah satu daerah di Sumatera yang juga terlibat konflik semacam ini,”
sebut Rudy.
Saat dikonfirmasi Minggu 16 Juni, malam, Gubernur Sulbar Anwar Adnan
Saleh menyatakan jika penyataan Dirjen KP3K Kementerian Kelautan dan
Perikanan itu perlu diluruskan. “Itu pernyataan keliru. Bagaimana
mungkin pulau masih wilayah pusat, sementara sekarang masih status
quo. Yang benar aja dong kalo bikin pernyataan. Pokoknya besok (hari
ini, red) saya ke Jakarta sekaligus menanyakan itu,” tanggap Anwar.
Anwar menyebutkan, untuk sementara proses penegasan status Pulau
Lere-lerekang masih sedang diusahakan. Ia mengaku sudah berkomunikasi
degan Ketua Mahkamah Agung (MA). “Dan saya diberi saran agar mendesak
Mendagri menebitkan keputusan untuk menegaskan Pulau Lere-lerekang itu
bagian dari Kabupaten Majene. Dan saya sudah lakukan itu. Pokoknya
kita terus berbuat agar pulau itu makin tegas sebagai milik kita,” aku
Anwar. (mra/ham)

Surat Gubernur ke Menteri ESDM Dipertanyakan

JAKARTA — Diantara sekian hal yang dibicarakan mengenai Pulau
Lere-lerekang di pertemuan antara Pemkab Mejene bersama anggota DPRD
Majene dengan anggota DPD dan DPR RI beberapa waktu lalu di Jakarta,
yang menjadi pembicaraan hangat adalah Surat Gubernur Sulbar ke
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di Jakarta.
Saat memberi kata pengantar pertemuan pekan lalu di Jakarta, Bupati
Majene Kalma Katta membacakan surat tersebut. “Sebelum saya berangkat
ke sini, tiba-tiba ada di meja saya ada surat gubernur yang ditujukan
kepada Mentersi ESDM. Di sini dikatakan hak participating interest
sepuluh persen atas Blok Sebuku. Kami ditembusi surat ini,” kata
Kalma.
Melihat surat itu, Bupati Majene berpikir apakah kilang dan Pulau
Lere-lerekang sudah masuk wilayah Majene sehingga ada surat ini ke
Menteri ESDM.
Surat yang berkop garuda dengan teks Gubernur Sulawesi Barat
dibawahnya, dikeluarkan di Mamuju bertanggal 3 Juni 2013 dengan Nomor
540/1704/VI/2013, Perihal: Hak Participant Interest (PI) 10% Blok
Sebuku Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Barat, bersifat penting
juga terdapat lampiran, yaitu Peta Lingkungan Laut Nasional (LLN) No.
20 Tahun 1992 dari Dinas Hidrologi TNI Angkatan Laut yang didalamnya
ada tanda Blok Sebuku.
Juga ada lampiran UU RI Nomor 29 Tahun 1959 Tentang Pembentukan Daerah
Tingkat II di Sulawesi, UU RI Nomor 26 Tahun 2004 Tentang Pembentukan
Provinsi Sulawesi Barat, dan PP RI Nomor 35 Tahun 2004 Tentang
Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas.
“Surat tersebut aneh dan menurut saya kurang elok. Koq tiba-tiba ada
surat yang langsung meminta penyertaan modal padahal status Pulau
Lere-lerekang dan kilang tersebut belumlah jelas? Ada apa ini? Apakah
ada permainan di balik ini? Saya sebagai anggota DPRD Sulbar akan
membawa masalah ini ke DPRD Sulbar,” tutur Anggota Komisi I DPRD
Sulbar Harun.
Ketika hal ini disampaikan ke ahli praktisi hukum nasional Rudi
Alfonso, ia berpendapat bahwa saat banyak pihak memperjuangkan agar
Pulau Lerelerekang tetap bearada di wilayah Sulbar, ia terkejut dengan
dikeluarkannya surat gubernur yang meminta Parcipating Interest 10
persen dengan menonjolkan BUMD Sulbar.
“Mana itu katanya akan memperjuangkan Pulau Lere-lerekang paling
depan?,” kata Rudy.
Pengacara yang sering menangani kasus-kasus besar ini, salah satunya
kasus sengketa pulau di Selat Malaka juga berpendapat, Gubernur Sulbar
kemungkinan tidak mau mempersoalkan status ini (Pulau Lere-lerekang
yang masih status quo, red) karena sibuk urusan pembagian keuntungan.
“Kalau begitu isi suratnya, itu kan memperkuat dugaan selama ini yang
menganggap gubernur kurang serius dalam mempertahankan Pulau
Lere-lerekang. Iya kan?” sebut Rudy.
Sekedar diketahui, kasus Pulau Lere-lerekang sudah berjalan dua tahun.
Setiap langkah-langkah besar selalu terhenti, salah satunya penunjukan
salah satu pengacara besar sebagai pengacara Sulbar.
Menurut anggota DPRD Majene Rusbi Hamid, Bupati Majene dan DPRD Majene
sudah setuju dan telah menandatangani penunjukan Yusril Ihza Mahendra
sebagai pengacara kita dalam kasus ini. “Tapi ketika surat rekomendasi
itu sampai di meja gubernur untuk ditandatangai, sampai saat ini kita
belum mendapat kabar,” ungkap Rusbi.
Perasaan yang sama juga tersirat dalam penyampaian Kalma Katta di
dalam diskusi. “Kita ke gubernur supaya ada juga peran pemerintah
provinsi untuk bisa juga merespon harapan Kabupaten Majene atas
masalah ini. Supaya bisa lebih mempercepat agar pulau itu tetap milik
Provinsi Sulbar. Diskusi ini kami adakan dengan mengundang bapak-bapak
anggota DPR dan DPD, agar kiranya dapat menjembatani kami dengan
gubernur, agar ini bisa lebih cepat. Ini kan demi Sulbar dan lima
kabupaten lainnya. Bukan cuma Majene yang dapat,” tutur Kalma.
Terkait surat ke Menteri ESDM, Gubernur Sulbar Anwar Adnan Saleh
menyampaikan, surat itu sengaja dilayangkan karena Participant
Interest (PI) adalah hak daerah. “Saya sudah sampaikan itu ke Pemkab
Majene. Masuknya Participant Interest nantinya melalui BUMD Sulbar dan
BUMD Majene,” kata Anwar, malam tadi, 16 Juni di Mamuju.
Menurutnya, surat itu tidak menjadi alasan bahwa Pemprov Sulbar tidak
serius untuk memperjuangkan status Pulau Lere-lerekang. “Itukan hak
kita. Itu juga tidak boleh lepas. Urusan status pulau juga kan jalan
terus. Jadi semua beriringan berjalan,” ungkap Anwar.
Bahkan ia mengaku sangat sepakat kalau Yusril Ihza Mahendra mau
menjadi kuasa hukum Sulbar dan Majene untuk memperkarakan status pulau
tersebut. “Saya mau sekali kalau Yusril bersedia. Tapi Yusril harus
bisa memberi bayangan bahwa pulau itu akan kita menangkan. Siapa
bilang saya tidak getol,” kata Anwar. (mra/ham)

Muspida Majene Keliling Pulau Lere-lerekang dan Tinjau Kilang



MAJENE – Pelayaran pemerintah Kabupaten Majene yang dipimpin langsung Bupati Majene, Kalma Katta bersama Ketua DPRD dan beberapa anggota DPRD Majene serta DPRD Provinsi Sulawesi Barat ke Pulau Lere-lerekang membuahkan hasil.

Pelayaran yang berangkat dari pelabuhan Majene pada Senin malam (3/6) dan tiba di perairan Pulau Lere-lerekang pada Selasa pagi (4/6) memberi informasi terbaru dalam proses perjuangan mempertahankan Pulau Lere-lerekang beserta sumberdaya yang berada di sekitarnya.

“Hasil dari pelayaran ini cukup penting. Kita mendapat informasi terbaru mengenai apa yang terjadi di perairan Pulau Lere-lerekang. Bukan hanya itu, hal itu tidak hanya didengar atau dibaca, tapi disaksikan sendiri. Malah kita sampai naik di atas kapal yang mengerjakan pembangunan kilang,” tutur Bupati Majene Kalman Katta dengan antusias di atas kapal Castoro Otto, yang sedang membangun kilang di sebelah timur Pulau Lere-lerekang.

Sebelum meninjau pembangunan kilang, rombongan Muspida Majene berada di Pulau Lere-lerekang selama beberapa jam. Tujuan utama adalah melihat langsung situasi pulau tersebut oleh Bupati Majene, Ketua dan Anggota DPRD Majene, dan Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Barat yang diwakili Muhammad Darwis. Selain berjalan mengelilingi pulau yang luasnya sekitar enam hektar tersebut, mereka juga meninjau langsung papan nama dan rumah singgah yang pernah dibangun oleh Pemkab Majene di ekspedisi pelayaran sebelumnya.

“Sangat kami sesalkan, apa yang kami bangun dirusak, baik itu papan nama maupun rumah singgah. Beruntung papan nama masih tersisa atap dan tiang-tiangnya, dan masih ada satu yang utuh di sisi pulau yang lain, tapi rumah singgah yang diperuntukan untuk nelayan rata dengan tanah,” komentar dengan nada geram anggota DPRD Majene, Rusbi Hamid.

Sekedar diketahui, akhir tahun 2011 lalu, pihak Pemerintah Majene membangun dua papan nama di Pulau Lere-lerekang. Beberapa bulan kemudian, rumah singgah ikut dibangun dan diadakan penanaman kelapa di pulau tersebut. Ada kemungkinan papan nama dirusak dan rumah dirobohkan oleh pihak yang bersengketa dengan Kabupaten Majene, dalam hal ini Kabupaten Kotabaru, Provinsi Kalimanta Selatan. Dugaan tersebut muncul sebab tak jauh dari lokasi pembangunan rumah singgah oleh Kabupaten Majene, ada papan nama dan tempat istirahat yang keduanya dibuat secara permanen. Di papan nama tertulis “Selamat Datang di P. Lari-lariang Kab. Kotabaru Provinsi Kalimantan Selatan.”

Bukan hanya bangunan dan papan nama yang dirusak, tanda pengukuran yang dibuat pemerintah pusat pun ikut dirusak. Padahal jelas di patok tersebut tertulis (dalam logam) “Survei Pengukuran Batas Daerah Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia. Milik Negara Dilarang Merubah dan Mengganggu Tanda Ini”.

Di patok yang terbuat dari semen tersebut, penanda atau teks yang mengatakan bahwa titik ini adalah batas terluar Provinsi Sulawesi Barat dilepas. “Perusakan ini adalah penghinaan terhadap lembaga negara,” tutur salah seorang anggota TNI yang ikut serta ke Pulau Lere-lerekang.

Setelah dari Pulau Lere-lerekang, dalam perjalanan pulang, KM Napoleon, kapal kayu milik Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Majene singgah di kapal “tugboat” Vier Navigator. Saat berada di kapal tersebut, pihak kapal melakukan komunikasi dengan kapal utama dalam pembangunan kilang. Rombongan diperkenankan untuk datang langsung menyaksikan kilang dari dekat.

Sebab aktivitas pembangunan kilang adalah kegiatan berbahaya, akses ke sana dibatasi. KM Napoleon hanya diijinkan berada sekitar 500 meter dari kapal atau titik kilang. Untuk menuju kapal utama, tim Majene dijemput dengan kapal “tugboat” yang lebih besar, yaitu BNI Castor.

“Hanya beberapa orang yang bisa naik, orang-orang berkompeten saja,” demikian permintaan kapten kapal BNI Castor. Itulah sebab, dari 40an orang yang berada di KM Napoleon, beberapa orang saja yang akan menuju kapal utama. Diantaranya Bupati Majene, Kapolres Majene, anggota DPRD Kabupaten Majene dan DPRD Provinsi Sulawesi Barat, kepala SKPD yang berkaitan langsung dengan pertambangan, dan jurnalis.

Kapal BNI Castor kemudian mengantar rombongan inti menuju kapal yang berukuran cukup besar. Dari kapal “tugboat”, untuk naik ke kapal utama yang bernama Castoro Otto digunakan semacam gantungan yang hanya bisa dinaiki empat orang. Silih berganti anggota rombongan dinaikkan ke atas kapal utama.

Di atas kapal, Bupati Majene dan rombongan mendapat penjelasan akan proses yang sedang berlangsung saat ini. Yakni proses pembuatan kilang. Adapun pipa gas sudah selesai dibuat, yaitu dari titik kilang ke arah Bontan (Kalimantan Timur) sejauh 300 km lebih.

Yang menarik dari kunjungan tersebut, dengan menggunakan GPS yang dibawa langsung Radar Sulbar, diketahui koordinat dan jarak antara titik pengeboran dengan Pulau Lere-lerekang. Jaraknya berkisar 15-16 mil laut (sekitar 25 km). Jarak tersebut menjadi penting sebab kilang berada di sebelah timur, mengarah ke Majene. “Sebab jaraknya di atas 12 mil laut (merupakan batas administrasi provinsi), maka meskipun Pulau Lere-lerekang dimiliki pihak lain, tapi kilangnya belum tentu,” tutur Bupati Majene dengan antusias.