Laporan: Muhammad Ridwan Alimuddin
Empat kali perahu karet bolak-balik dari KM Napoleon ke Pulau
Lere-lerekang, guna menurunkan semua penumpang, kecuali beberapa awak
yang tetap berada di kapal. Ada rasa penasaran bukan hanya yang
pertama kali menjejakkan kaki di pulau yang dibicarakan tiga tahun
terakhir ini, tapi juga yang sering datang. Soalnya, dari kejauhan,
sepertinya ada yang tidak beres di pulau. Tampaknya papan nama
dirusak, dan rumah singgah yang “Koq berpindah dan berbeda gaya
atapnya?”.
Belum lagi, ada jejak kaki di pasir putih pulau. Guna mengantisipasi,
siapa tahu, ada “musuh” di pulau, pihak kepolisian dan TNI ditunggu
lengkap dan diharap tidak berombongan. Setelah lengkap, mulailah
rombongan berjalan ke arah timur pulau. Tak lama kemudian, rasa
penasaran terjawab: papan nama yang dipasang November 2011 lalu yang
di situ tanda bahwa Pulau Lerek-lerekang adalah milik Kabupaten Majene
rusak. Papannya tidak ada, tinggal atap dan rangkanya. Beberapa meter
didekatnya rumah singgah tak ada lagi. Itu yang paling membuat kecewa.
“Papan nama kita dirusak, demikian juga rumah singgah serta tanda yang
dipasang pihak Kementerian Dalam Negeri. Ini adalah salah satu hasil
dari kunjungan kita. Ini sangat kita sesalkan, sebab selain rumah
singgah itu kan kita peruntukan bagi nelayan. Jadi sebenarnya tidak
perlu dirusak,” ucap Bupati Majene Kalma Katta.
Bersama beberapa anggota DPRD Majene, DPRD Sulbar, pihak kepolisian
dan TNI, dan kepala SKPD yang terkait dengan masalah Pulau
Lere-lerekang, rombongan melanjutkan perjalanan keliling Pulau
Lere-lerekang.
“Luas pulau sekitar enam hektar saja, tak sampai setengah jam untuk
mengelilinginya,” demikian informasi dari Kepala Dinas Kelautan dan
Perikanan Majene Fadlil Rasyid, yang sudah tiga kali ke Pulau
Lere-lerekang.
Pulau Lere-lerekang pulau tak perpenghuni, sebab kecil dan relatif
terisolasi (baca: sangat jauh) dari pulau-pulau besar. Vegetasinya
khas pulau kecil, berupa tumbuhan semak, beberapa pohon ketapang,
pandan laut, salah satu jenis komunitas mangrove, formasi pes kapre,
dan ilalang. Juga ada tanaman pohon kelapa yang ditanam di ekspedisi
ketiga ke Pulau Lere-lerekang. Tak ada batu karang besar di atas
pulau.
Sekeliling pulau adalah pasir putih, sangat pas sebagai sarang atau
tempat menyimpan telur penyu. Sebagaimana dalam perjalanan yang
menemukan dua lintasan jejak penyu. Beberapa anggota rombongan
mencari-cari sarangnya. Katanya untuk obat kuat, tapi Kadis Perikanan
dan Kelautan Majene mengingatkan untuk tidak mengambil. “Penyu itu
binatang di lindungi, kita jangan ganggu sarangnya,” katanya.
Di tengah pulau ada galian berisi air tawar. Dibuat oleh nelayan yang
sering datang ke Pulau Lere-lerekang. Kunjungan kali ini mendapati
sumur sederhana tersebut berisi bangkai penyu. Penyu tersebut terjebak
alias masuk lubang tapi tak bisa keluar. Sebab lama di situ, jadinya
mati.
Sekitar seratus meter dari lokasi papan nama dan bekas rumah singgah,
atau di sisi tenggara pulau, didapati dua bangunan permanen. Pertama
“papan” (sebenarnya bukan papan sebab terbuat dari semen) nama yang,
katanya, Pulau Lari-lariang (istilah lain dari Pulau Lere-lerekang)
adalah milik Kabupaten Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan. Kedua,
semacam pendopo yang lantainya marmer. Bangunan atapnya khas rumah
Banjar. Inilah yang tadinya dianggap rumah singgah yang dibangun pihak
Kabupaten Majene. Ternyata rumah singgah dirusak habis-habisan
“diganti” dengan pendopo dan “dipindah” ke tempat lain (menghadap ke
timur, di tenggara pulau).
Tidak seperti oknum yang merusak fasilitas Kabupaten Majene dan
fasilitas negara (batas provinsi yang dipasang Kemendagri), pihak dari
Majene sama sekali tidak merusak bangunan yang dibuat pihak Kabupaten
Kotabaru. “Kita bukan pihak yang mengandalkan kekerasan, jadi tidak
perlu dirusak. Kan kita beruntung, pulau kita dibuatkan bangunan.
Apalagi itu papan nama yang mereka buat, kan kelihatan hurufnya rontok
satu-satu, rusak sendiri,” tutur Rusbi Hamid, anggota DPRD Majene,
salah satu motor penggerak perjuangan mempertahankan Pulau
Lere-lerekang.
Selesai foto-foto bersama di fasilitas yang dibuatkan pihak Kabupaten
Kotabaru “untuk” Kabupaten Majene, rombongan melanjutkan jalan kaki ke
sisi barat pulau. Yang menggembirakan, sekaligus bisa sebagai penanda
bahwa pihak Kabupaten Kotabaru atau Provinsi Kalimantan Selatan tidak
memahami atau tidak mengelilingi Pulau Lere-lerekang, papan nama yang
dibuat Kabupaten Majene yang menghadap ke barat tetap berdiri kokoh.
Dengan kata lain, apakah memang sengaja tidak dirusak atau memang
tidak dilihat? Sebab bila melihat dua fasilitas lain yang dirusak,
“seharusnya” papan nama tersebut juga ikut dirusak. Nyatanya baik-baik
saja.
“Syukurlah, apa yang kita pasang hampir dua tahun lalu, salah satunya
tetap dalam kondisi baik,” ucap Abdul Qadir Thahir, Kepala
Disporabudpar Majene yang juga ikut serta memasang papan nama, di
pelayaran pertama ke Pulau Lere-lerekang.
Beberapa anggota rombongan tidak hanya mengelilingi pulau, tapi lebih
dari itu. Misalnya anggota rombongan paling senior, yakni Muhammad
Darwis, mantan Bupati Majene yang sekarang ini anggota DPRD Sulbar.
Selain mencatat, antara lain apa yang dirusak dan tanda perbatasan
yang ada di pulau, juga mengumpulkan kulit-kulit kerang serta
batu-batu koral. “Pulau ini menarik, saya sangat terkesan ke pulau
ini. Makanya saya banyak mencatat dan membawa oleh-oleh dari pulau.
Semoga ke depan masalah yang kita hadapi segera selesai, dan Pulau
Lere-lerekang tetap milik kita,” tanggap Muhammad Darwis walau capek
tapi tetap penuh semangat.
“Bagaimana, kita pulang. Kan sudah keliling pulau,” pancing salah
seorang anggota rombongan. Lukman, Wakil Ketua DPRD Kabupaten Majene
menimpali, “Waduh, jangan dulu. Saya masih ingin lama di pulau.”
Memang Lukman cukup antusias berada di pulau. Rasa penasarannya akan
Pulau Lere-lerekang terjawab sudah. Sebagai wakil rakyat, beliau cukup
paham bahwa apa yang diperjuangkan harus dipahami baik-baik.
Sesaat setelah keliling pulau, Bupati Majene dan jajaran muspida
lainnya berkumpul di salah satu tempat lapang tapi terlindung, hampir
di tengah pulau. Dilakukan diskusi informal mengenai hasil yang
diperoleh dan langkah apa yang perlu dilakukan ke depan.
“Hasil yang kita peroleh dalam kunjungan ini akan memperkuat
perjuangan kita mempertahankan Pulau Lere-lerekang. Saya optimis akan
hal itu,” komentar Kalma Katta bersemangat.
Senada dengan komentar Kapolres Majene AKBP Anwar Efendi, “Genap
pengabdian saya di Kabupaten Majene, sebab sudah berkunjung ke Pulau
Lere-lerekang. Sesuai hukum dan aturan yang berlaku, saya akan
membantu semaksimal mungkin agar pulau ini tetap dalam wilayah
Kabupaten Majene.” (bersambung)
No comments:
Post a Comment