Sunday, June 23, 2013

Pemanfaatan Gas Bumi di Lere-lerekang



EDITOR: MUHAMMAD ILHAM

MAMUJU — Sepanjang sejarah pengelolaan miyak dan gas (migas) di
negara ini, pemerintah telah menggunakan beberapa bentuk kerjasama
dengan perusahaan asing. Seperti konsesi dan kontrak karya. Sekarang,
modelnya sudah lebih maju, pemerintah telah menerapkan kontrak bagi
hasil atau Production Sharing Contract (PSC).
Production sharing contract dari hasil pengelolaan gas di Blok Sebuku
perairan Pulau Lere-lerekang Kabupaten Majene yang dikelola Pearl Oil,
termasuk salah satu hal yang patut diperjelas pemerintah. Nilainya
mesti terhitung secara akurat, mengingat itu sangat terkait dengan
sumber-sumber kekayaan alam daerah ini yang dimanfaatkan oleh
perusahaan asing.
Terhadap persoalan itu, Komisi I dan III DPRD Sulbar telah sepakat
untuk membentuk tim bersama guna memperjelas hal itu. Sebelum
melakukan pertemuan dengan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan
Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Menteri ESDM, Mendagri,
dan Pearl Oil, legislator Sulbar akan melakukan pertemuan dengan Biro
Pemerintahan, Biro Hukum, dan Dinas PESDM Sulbar, Pemkab Majene, dan
DPRD Majene. “Kami akan meminta penjelasan awal dari mereka, setelah
itu kita ke lapangan (Pulau Lere-lerekang). Baru setelah itu kita
menemui beberapa pihak di Jakarta,” kata Anggota Komisi I DPRD Sulbar
M Thamrin Endeng, Selasa 4 Juni.
Hal yang tidak kalah penting, kata Thamrin, yang patut diketahui saat
ini adalah besaran dana bagi hasil yang akan didapatkan provinsi ini,
termasuk kabupaten penghasil migas, dan bagi hasil untuk kabupaten
lain di Sulbar. “Semua itu harus kita perjelas mulai saat ini, jangan
sampai kita hanya mendapat persentase-persentase bagi hasil, tapi
dasar perhitungannya tidak jelas. Semua itu harus jelas nantinya,”
sebut Thamrin.
Demikian halnya disampaikan Anggota Komisi I DPRD Sulbar lainnya,
Harun. Menurut Harun, selain memperjelas Profit Sharing Contract yang
akan didapatkan Sulbar dari pengelolaan migas, pemerintah harus
berupaya dari sekarang mempertegas status Pulau Lere-lerekang. Sebab
dengan dibatalkannya Permendagri 43 Tahun 2011 oleh Mahkamah Agung
(MA), seharusnya ada upaya lanjutan saat ini yang dilakukan antara
Pemprov Sulbar dan Pemkab Majene untuk mempertegas kepemilikan atas
pulau tersebut. “Jangan malah terkesan bergerak sendiri-sendiri, dan
DPRD harus terlibat di dalamnya,” sebut Harun.
Ia menyarankan kepada pemprov dan pemkab agar melakukan pendekatan ke
Mendagri agar menerbitkan aturan baru tentang Pulau Lere-lerekang.
“Dan pak gubernur sebaiknya fokus dulu untuk Lere-lerekang karena ini
sudah di depan mata, soal investasi China yang dijanjikan nanti saja
diurus. Ini dulu, karena sebentar lagi Pearl Oil akan produksi di
Lere-lerekang,” pinta Harun.
Sementara itu, Ketua DPRD Sulbar Hamzah Hapati Hasan menegaskan,
persoalan Lere-lerekang harus mendapat perhatian serius. Ada anyak
aspek di dalamnya yang harus diperjelas. “Kita sudah tahu kalau
provinsi lain selalu ingin merebut pulau, maka kita juga harus lebih
kuat mempertahankan. Makanya saya sangat setuju kalau Komisi I dan III
segera bergerak dan membantu pemerintah daerah mengurusi upaya
penegasan kepemilikan pulau tersebut,” sebut Hamzah.

Hitungan Dana Bagi Hasil

Sebelum dilakukan pembagian penghitungan bagi hasil, hal pertama yang
harus diketahui adalah definisi daerah penghasil. Ini sangat penting
karena akan memengaruhi prosentase perhitungan bagi hasil. Apabila
suatu lokasi pertambangan berada di darat (onshore), tentu mudah
menentukan lokasi wilayah dari pertambangan tersebut. Namun yang
menjadi masalah, bagaimana menentukan kriteria daerah penghasil bagi
lokasi yang terletak di laut (off shore).
Jika wilayah pertambangan migas tersebut berada di atas 12 mil dari
daratan, maka lokasi tersebut dianggap masuk wilayah pemerintah pusat.
Jika wilayah pertambangan tersebut berada antara 4 sampai 12 mil, maka
itu dianggap masuk wilayah pemerintah provinsi dimana lokasi tersebut
berada. Jika wilayah pertambangan tersebut berada kurang dari 4 mil,
maka lokasi pertambangan tersebut dianggap masuk wilayah pemerintah
kabupaten/kota dimana lokasi tersebut berada.
Patut diketahui, dana bagi hasil (DBH) dari gas bumi untuk daerah
penghasil termasuk wilayah provinsi (4-12 mil), maka dari 30 persen
share untuk daerah, 10 persen merupakan bagian pemerintah provinsi.
Sedangkan 20 persen sisanya menjadi hak seluruh kabupaten di provinsi
ini.
Akan tetapi, jika daerah penghasil gas termasuk wilayah kabupaten (4
mil), maka dari 30 persen share untuk daerah, pemerintah provinsi
mendapatkan 6 persen, kabupaten penghasil mendapatkan 12 persen, dan
kabupaten lainnya mendapatkan 12 persen yang dibagi secara merata.

Aspek Hukum

Pengelolaan sumberdaya alam, termasuk gas bumi tentu memiliki aspek
hukum yang menjadi acuan. Menurut Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH)
Mamuju Muhammad Hatta, Production Sharing Contract (PSC) pengelolaan
gas bumi mengacu pada sejumlah peraturan. Mulai dari UU No.22 Tahun
2001, PP No. 42 Tahun 2002, PP No. 35 Tahun 2004, dan PP No 34 Tahun
2005. Pembagian keuntungan prouksi pengelolaan gas juga diatur dalam
UU No. 32 Tahun 2004, UU No. 33 Tahun 2004 tentang Pengaturan
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah,
dan PP No 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.
Dijelaskan, dalam UU No. 33 Tahun 2004, Pasal 14 huruf (f) disebutkan,
penerimaan pertambangan gas bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah
yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan
lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan dibagi dengan
perimbangan 69,5 persen untuk pemerintah dan 30,5 persen untuk daerah.
“Sekarang pemerintah, baik pemprov maupun Pemkab Majene harus
memikirkan bagaimana agar hak-hak yang seharusnya didapatkan daerah
ini tidak terlepas karena status Lere-lerekang yang terus digugat
provinsi lain. Yang jelas, Lere-lerekang ini adalah urusan bersama,”
kata Hatta. (**)

No comments:

Post a Comment