Suhartono dan Reny Sri Ayu
Ba’du (40), warga Dusun Mampie, Desa Galeso, Kecamatan Wonomulyo, Polewali Mandar, Sulawesi Barat, seperti tak punya harapan hidup. Masa depannya bersama keluarganya sungguh-sungguh kelam. Jangankan punya uang, rumah pun ia tidak lagi miliki.
Ayah dua anak tanpa pekerjaan tetap itu kini menumpang di rumah panggung milik tetangganya yang sudah amat reyot. Akibat abrasi air laut, rumah dan pekarangan warisan orangtuanya, yang menjadi satu-satunya harta kekayaannya, lenyap tak berbekas sejak beberapa tahun lalu.
”Kadang-kadang ada uang, kadang-kadang tidak. Kalau ada pekerjaan (serabutan), ada orang yang meminta tolong untuk dibantu membersihkan tambak, barulah saya mendapat upah dan bisa membeli beras serta keperluan hari-hari. Akan tetapi, sering kali
tidak punya uang sama sekali,” tuturnya ditemani istrinya, Asminah. Mereka tinggal di kawasan Suaka Margasatwa dan Suaka Margasatwa Laut Lampoko Mampie yang kini masih menjadi persoalan penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar).
Ba’du memang tidak sendirian. Di pinggir kota Pasangkayu, ibu kota Mamuju Utara, kabupaten yang berjarak sekitar 350 kilometer dari Mamuju, ada Naomi (43), petani asal Tana Toraja yang merantau beberapa tahun lalu. Bersama suaminya yang juga petani miskin, ia juga tidak memiliki rumah sendiri. Mereka menumpang di rumah pemilik tambak yang sawahnya diizinkan untuk digarap.
Semut mati di gula
Dari hasil bersawah yang hanya dua petak kecil itu, Naomi hanya mendapatkan padi paling banyak belasan kilogram. Sebagian padinya ditumbuk dan dijual untuk mendapatkan uang keperluan sehari-hari. Ada kalanya jika pohon kelapa berbuah, dijualnya ke pasar untuk membeli lauk-pauk, seperti ikan asin. Kadang kala ia mendapat upah dari pemilik tambak.
Di wilayah Provinsi Sulbar yang dijuluki Bupati Mamuju Utara Abdullah Rasyid dan kalangan pejabat daerah di Provinsi Sulbar sebagai calon daerah yang kaya raya akan minyak dan gas, seperti Brunei—karena memiliki sembilan blok migas yang potensi migasnya akan menghasilkan puluhan triliun rupiah—nasib Ba’du dan Naomi sungguh ironis. Ibarat semut mati di tumpukan gula.
Kekayaan Sulbar sebenarnya tak hanya migas, tetapi juga sumber daya alam (SDA), seperti perkebunan. Di darat, Sulbar kaya akan potensi perkebunan, seperti sawit yang ada di Mamuju Utara dan Mamuju. Kakao ada di semua kabupaten. Kopi dan cengkeh melimpah dari wilayah pegunungan. Di laut, Sulbar memiliki potensi ikan di sepanjang 680 kilometer garis pantai.
Untuk potensi minyak bumi, wilayah ini juga punya delapan blok migas di laut dan satu di darat. Semua blok migas itu sudah dilirik investor asing dan hampir semua sudah melakukan eksplorasi. Bahkan, di salah satu blok di Mamuju Utara yang izinnya dimiliki Marathon International yang berpusat di Boston, Amerika Serikat, selain eksplorasi, kegiatan pengembangan masyarakat juga sudah mulai dilakukan.
Kepala Bagian Humas Kabupaten Mamuju Utara Sayidiman Marto mengatakan, hampir pasti investor asing yang sudah mendapat izin eksplorasi di lima blok migas di wilayahnya akan melanjutkan dengan kegiatan eksploitasi.
”Untuk satu investor saja, seperti Marathon International, tenaga kerja yang dibutuhkan mencapai 8.000 orang. Pemerintah Kabupaten Mamuju Utara minta kepada investor agar setidaknya 50 persen tenaga kerja yang dibutuhkan diambil dari warga lokal,” katanya.
Rahmat Hasanuddin, inisiator pembentukan provinsi itu, membeberkan, provinsinya memang kaya SDA. ”Namun, kekayaan itu harus dikelola secara hati-hati, terutama yang menyangkut blok migas. Saya melihat peluang ini dengan dihantui oleh ancaman untuk bernasib sama dengan Riau yang sebagian rakyatnya miskin di tengah-tengah produksi minyak,” lanjutnya.
Tampaknya nasib Ba’du dan Naomi tidak berbanding lurus dengan indikator ekonomi Sulbar versi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sulbar yang mengukur pertumbuhan ekonomi provinsi baru itu naik di atas rata-rata nasional, yaitu mencapai 8,7 persen pada tahun lalu. Pertumbuhan ekonomi Mamuju Utara, tempat tinggal Naomi, mencapai 7,57 persen atau pertumbuhan ekonomi di Polewali Mandar, tempat Ba’du, berada mencapai 7,65 persen.
Angka-angka yang cukup fantastis bagi sebuah daerah otonomi baru itu dengan realitas Ba’du dan Naomi sungguh tak masuk akal. Namun, bisa dimaklumi, jika angka-angka asumsi makro seperti itu, memang bisa mengecoh keadaan sebenarnya.
Dari jumlah penduduk Sulbar yang kini mencapai 1,032 juta jiwa, BPS Provinsi Sulbar mencatat, jumlah kemiskinan pada tahun 2006 mencapai 20,7 persen. Berdasarkan pengukuran pada tahun 2008, jumlah penduduk miskin masih tercatat 15,3 persen atau turun dari sebelumnya 20,7 persen pada tahun 2006. Potret kemiskinan di Sulbar di antaranya masyarakat nelayan, petani penggarap atau pemilik lahan yang luasnya di bawah 1 hektar, buruh, dan tukang becak.
Menurut Naharuddin, anggota DPRD Sulbar dari Partai Barnas, yang pernah menjadi Sekretaris Komite Aksi Pembentukan Pemekaran Provinsi Sulbar, pertumbuhan ekonomi yang fantastis itu dinilainya berlebihan. Selain meragukan angka-angka penunjuk keberhasilan itu, Naharuddin juga khawatir indikator itu dapat dimanfaatkan secara politis untuk jargon keberhasilan pembangunan serta keberhasilan dan kesuksesan pejabat daerah.
Hal yang sama diakui anggota DPRD Mamuju dari Partai Buruh, Kalvin Palebangi Kalembo. ”Pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu hanyalah pertumbuhan ekonomi yang semu dan hanya untuk menyenangkan kepala daerah. Realitasnya tidak seperti itu,” ujar Kalvin.
Diakui Naharuddin, penduduk Sulbar sebagian kecil adalah petani kakao dan sawit serta sebagian besar nelayan. Dalam pertumbuhan ekonomi, salah satu tolok ukur adalah produk domestik regional bruto (PDRB). Sawit dan kakao memberikan kontribusi cukup besar untuk meningkatkan PDRB. ”Persoalannya, lahan-lahan sawit yang besar hanya dimiliki pemilik modal dan jumlahnya juga tidak banyak. Celakanya, pada sektor perkebunan sawit, kebanyakan petani hanyalah buruh,” kata Naharuddin.
Nasib petani kakao juga hampir sama dengan petani sawit. Dengan kepemilikan lahan yang sempit, usia tanaman di atas hingga 20 tahun serta penyakit kakao seperti hama penggerek buah dan penggerek batang yang menggerogoti tanaman selama berpuluh tahun, tak banyak yang sejahtera dari hasil kakao. ”Harapan petani sekarang ini diletakkan pada gerakan nasional kakao yang memprogramkan penggantian tanaman lama ke baru,” lanjutnya.
Korupsi merajalela
Menurut Kalvin, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Mamuju dan kabupaten lainnya diakui masih kecil, kurang dari Rp 500 miliar. Hal itu juga terlihat dari volume Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)-nya. Namun, pemerintah pusat telah menggelontorkan tambahan melalui dana perimbangan daerah yang disebut dana alokasi umum, dana bagi hasil, serta dana alokasi khusus.
”Dari dana-dana tersebut, apanya yang kurang? Yang kurang itu hanya karena kebijakan pembangunan dan penggunaan di daerah serta dananya lebih banyak dialokasikan untuk pelayanan birokrasi dan pembangunan gedung perkantoran. Sedangkan untuk pemenuhan infrastruktur dasar, seperti pendidikan, kesehatan, dan perekonomian rakyat kecil, masih sangat jauh,” ujarnya.
Seorang aktivis pemuda yang ditemui Kompas memberikan informasi bahwa kemiskinan di Provinsi Sulbar disebabkan merajalelanya korupsi di berbagai tingkatan dan kedinasan. Muhammad Hatta Kainang, pengacara LBH Sulbar, mengakui adanya praktik korupsi di lingkungan aparatur. ”Laporan BPK 2005-2006 memang membenarkan adanya kelemahan dalam pengelolaan keuangan di Provinsi Sulbar. Sejauh ini, laporan itu memang belum ditindaklanjuti,” ujarnya.
”Korupsi jelas ada dan marak di Sulbar sejak provinsi ini baru mekar. Saya sebagai penggagas dan memimpin perjuangan pemekaran merasa berdosa tidak memantau perjalanan pemerintahan itu sejak awal,” keluh Rahmat Hasanuddin. Cara mengatasi korupsi di Sulbar, ujarnya, adalah dengan jalan mendorong keterbukaan dan transparansi pemerintahan dan pengelolaan pembangunan serta membuka ruang kritik.
Oleh karena itu, penggarapan semua potensi yang dimiliki Sulbar sekaligus menjalankan pemerintahan yang bersih dipercaya akan memberikan harapan yang lebih besar bagi kesejahteraan rakyat.
No comments:
Post a Comment