Thursday, February 23, 2012
Berlayar ke Pulau Lerelerekang (01): Garis Depan Sulawesi Barat
Dua hari ini terjadi hal bersejarah bagi Sulawesi Barat, khususnya Kabupaten Majene, dalam diplomasi geopolitiknya. Kabupaten Majene menunjukkan keseriusannya dalam hal mengurus wilayahnnya. Dan, walau sedikit terlambat, melakukan langkah signifikan dalam “perang urat syaraf” dengan “lawannya”, yakni Provinsi Kalimantan Selatan.
Selasa, 29 November 2011, Bupati Majene, Kalma Katta, melepas rombongan tim observasi yang akan menuju Pulau Lerelerekang (atau P. Larilariang) di dermaga Pelabuhan Majene. Acara berlangsung sekitar jam 10.30 pagi.
Tim terdiri dari beberapa unsur, yaitu staf dari Kantor Pemkab Majene, kepolisian, TNI, Dinas Perhubungan (syahbandar), Dinas Pertambangan, Dinas Kelautan dan Perikanan, humas, peneliti, dan jurnalis. Saya belum mencatat siapa saja mereka. Yang jelas, bersama awak kapal (sekitar 7 orang), total jiwa di atas KM Irama Indah sekitar 50 orang.
Suara Bupati Majene nyaris tak terdengar saat memberi kata sambutan di upacara kecil-kecilan di atas dermaga, jadi saya tak bisa menyimpulkan apa yang beliau sampaikan. Tapi tentu berkaitan dengan apa yang akan kami lakukan. Setidaknya hati-hati dalam perjalanan dan melalukan apa yang telah diputuskan dalam rapat yang dilakukan Pemkab Majene berkaitan dengan Pulau Lerelerekang.
***
Jarak kota Majene dengan P. Lerelerekang sekitar 163 km. Saat berangkat jam 11 siang dari Majene, KM Irama Indah tiba sekitar jam 11 malam. Jauh memang. Tapi jarak jauh itu tak berarti P. Lerelerekang bukan wilayah Majene.
Kami tiba di perairan sekitar P. Lerelerekang menjelang tengah malam. Gelap. Tak ada rembulan yang membantu daya pandang. Dalam perjalanan, saya lebih banyak tidur. Alasannya, esok, saat tiba pasti banyak kegiatan. Jadi harus siapkan fisik. Nanti sekitar tujuh mil lagi jarak ke pulau (berdasar GPS) saya bangun untuk kemudian bergabung dengan awak kapal dan anggota tim lain di ruang kemudi dan haluan kapal.
Sudah banyak orang yang kumpul di sana. Penasaran dan ingin segera melihat seperti apa itu P. Lerelerekang. Ada tiga awak kapal bertugas pas di ujung haluan perahu. Mereka memegang senter, mengawasi haluan kapal. Sesekali ‘menyenter’ ke dalam laut, mengecek apa dangkal atau tidak.
Kemudi perahu langsung ditangani H. Bachtiar, nakhoda kapal yang juga sebagai juragan (pemilik kapal). Sebab navigasi perahu berada di daerah berbahaya (dekat pulau, banyak karang). Beda di laut lepas, kemudi perahu dilakukan bergantian antar kru kapal, khususnya jurumudi. Di dalam ruang kemudi H. Bachtiar didampingi beberapa orang, khususnya Pak Harun. Menuntun arah kapal berdasar koordinat di GPS.
Samar-samar dari kejauhan, tampak pendaran cahaya di atas horizon. Sumber cahaya tak kelihatan, sebab berada di balik horizon. Bahasa Mandarnya “pandaraq”. “Pandaraq” salah satu bagian penting dalam navigasi. Sebab bisa menjadi dasar di mana posisi perahu.
Biasanya “pandaraq” bersumber dari cahaya perkotaan atau pemukiman penduduk. Jika memang demikian, koq “pandaraq” ini amat terang? Koq letaknya di selatan? Apakah itu “pandaraq” kota di Jawa? Ah tidak mungkin, jarak ke P. Jawa juga puluhan mil. Saya pun bertanya ke awak kapal, jawabnya, “Itu pandaraq dari kapal-kapal pursin”.
Yang dimaksud adalah armada penangkap ikan yang menggunakan jaring yang disebut purse seine atau “gae” dalam bahasa Mandar. Memang, nelayan purse seine, khususnya dari Jawa, sangat banyak menggunakan lampu di atas kapalnya. Dan lampunya amat terang benderang. Ikan-ikan yang tertarik pada cahaya sepertinya terhisap ke sana. Dan daerah penangkapan mereka (fishing ground) adalah perairan di mana bertemu tiga perairan: Laut Flores, Selat Makassar dan Laut Jawa, tepatnya di daerah tenggara P. Kalimantan.
“Lagi dua mil”, ucap pak Harun. Artinya semakin dekat. Sesekali saya mengecek GPS punyaku. Informasinya relatif sama. Tapi namanya juga alat, tak boleh juga percaya betul sebab ada hal-hal tertentu yang bisa membedakan informasi di alat dengan realitas. Saya dan pak Harun meng-input data koordinat ke GPS akan lokasi P. Lerelerekang berdasar informasi pihak lain (saya dari data GPS petugas patroli kelautan Polairud Sulsel).
Dengan kata lain, tidak jelas dimana posisi GPS saat “mark” di GPS ditekan. Apakah di tengah pulau, di pinggir pulau, atau di sekitar pulau (mungkin kapal tidak berlabuh). Jadi, sebagai pedoman saat akan mendekat tidak boleh terlalu mengandalkan GPS. Harus visual langsung. Lagian GPS tak menginformasikan sampai radius berapa kawasan dangkal di sekeliling pulau. Jadi harus tetap dicek kondisi perairan.
“Hati-hati, sudah ada “bayang”", teriak salah satu kru yang bertugas mengecek kondisi perairan. Mesin dibuat netral. Memang, samar-samar batu karang mulai nampak saat cahaya senter diarahkan ke dalam laut. Kami makin penasaran di mana posisi P. Lerelerekang. Jika terang, pasti kelihatan.
Semakin menuju ke arah haluan kapal (mendekati koordinat yang dituju berdasar GPS), KM Irama Indah makin hati-hati. Kecepatan kapal tak laju lagi. Asal jalan. Mata orang-orang di atas haluan semakin awas. Seakan berlomba menjadi orang pertama yang melihat (menemukan) P. Lerelerekang.
“Itu pulaunya,” teriak salah seorang di haluan. Ya, telah ada bayangan yang menunjukkan bahwa itu pulau. Seperti awan gelap di atas horizon.
Sebab sudah kelihatan pulaunya dan perairan telah dangkal, diputuskan untuk menurunkan sauh (jangkar). Saat kami tiba, kondisi perairan tidak tenang tapi tidak juga buruk. Ada keinginan dari nakhoda untuk memutar agar bisa berlindung dari angin. Tapi tak dijalani juga pilihan tersebut sebab tidak ada informasi sejauh mana kawasan dangkal di sekitar pulau. Jadi, perahu diputuskan berlabuh.
Perasaan lega sebab telah berada dekat pulau. Nanti esok pagi mendekat untuk kemudian mendarat dengan menggunakan perahu karet milik Syahbandar Majene. Saya pun kembali bobo setelah men-set kamera bawah air. Tidak tunggu esok agar tidak buru-buru memasangnya. Bahaya jika ada salah-salah saat dipasang, kameranya bisa-bisa rusak terkena air laut. Memang tujuan utama saya ke pulau mengetahui kondisi di sekitar pulau. Untuk bagian atas pulau bisa sekilas saja sebab pulaunya kecil. Keliling dan transek sudah mencukupi sebab masih observasi. (Bersambung)
http://ridwanmandar.com/2011/12/12/berlayar-ke-pulau-lerelerekang-01-garis-depan-sulawesi-barat/
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment