Thursday, February 23, 2012
Berlayar ke Pulau Lerelerekang (04): Jadikan Laboratorium Alam
Lalu bagaimana dengan ekosistem di atas permukaan, di P. Lerelerekang. Dalam ilmu kelautan, ekosistem P. Lerelerekang dimasukkan ke dalam ekosistem pesisir yang tidak tergenangi air (uninundated coast), tepatnya formasi Percarpae. Disebut demikian, sebab vegetasi pionir di tempat tersebut didominasi oleh tumbuhan Impomea pescarpae atau kankung laut. Juga ada rumput di beberapa tempat. Di bagian dalam pulau terdapat tumbuhan rimbun, seperti pandan laut yang nampak seperti pohon kelapa dari kejauhan.
Pulau Lerelerekang adalah pulau tak berpenghuni. Sebenarnya pulau tersebut bisa dihuni oleh manusia, sebab bagian tengah pulau ada kolam (galian di atas pasir) penampungan air hujan. Airnya tawar tapi agak payau. Hanya saja, sebab lokasinya terisolasi (jauh dari pulau lain), maka tak dihuni. Yang biasa ke sini hanyalah nelayan-nelayan yang berlindung dari badai atau sekedar ‘menanti’. Baik dari Bugis – Makassar, Madura, terkhusus ‘posasiq’ Mandar.
Di beberapa tempat terdapat jejak-jejak bahwa manusia sering ke sini, misalnya kolam di tengah pulau. Ada struktur bambu yang berbentuk gawang, seperti bekas memasang tenda.
Sekeliling pulai bisa ditemukan bekas tempat telur penyu. Memang kondisi fisik P. Lerelerekang baik bagi penyu menyimpan telur-telurnya. Selain tak ada cahaya yang mengganggu, juga tidak ada manusia yang tinggal di sini. Tapi itu tak berarti betul-betul aman, sebab para pemburu penyu pasti sering ke pulau ini untuk mencari penyu atau telurnya.
***
Semua anggota tim naik ke P. Lerelerekang. Mereka melakukan pengamatan atas kondisi pulau dan melakukan transek sederhana. Masuk ke bagian tengah pulau dan menentukan akan dipasang di mana plank.
Pukul 07.30 dan 08.30 wita dilakukan pemasangan plank di sisi barat dan timur pulau. Plank bertuliskan: PEMERINTAH KABUPATEN MAJENE PULAU LEREKLEREKAN PROVINSI SULAWESI BARAT // THE ISLAND OF LEREKLEREKA THE GOVERMENT OF MAJENE DISTRIC PROVINCE OFWEST SULAWESI //PERMENDAGRI NO. 43 TAHUN 2011 TENTANG WILAYAH ADMINISTRASI KAB. MAJENE TANGGAL 07 OKTOBER 2011.
Plank atau papan nama tersebut terbuat dari papan berukuran sekitar 1 x 1,5 meter, dipasang pada kedua balok kayu yang tingginya sekitar 2,5 meter. Baik papan maupun balok tiangnya dicat putih. Bagian atas ada atap berbentuk genteng berwarna merah maron, terbuat dari logam. Agar kuat, bagian bawah plank dipondasi.
Terlepas dua plank tersebut berumur pendek (mungkin karena dirusak manusia, sebab papannya bisa digunakan, atau rusak alami), pemasangan tersebut adalah langkah penting. Bahwa pemerintah Kabupaten Majene terbukti melakukan perhatian terhadap P. Lerelerekang. Mudah-mudahan di masa mendatang ada langkah lebih berarti terhadap pulau tersebut dibanding hanya datang untuk memasang plank.
***
Setelah plank dipasang, anggota tim observasi menikmati P. Lerelerekang. Tentu mereka mengabadikan diri di depan plank, baik dengan kamera hp maupun kamera foto. Ada juga yang menuliskan nama instansinya di pondasi plank.
Menikmati P. Lerelerekang beragam macam, ada yang mandi-mandi juga ada yang berburu ikan karang dengan menggunakan panah laut (harpoon). Yang tak mandi-mandi, memilih bersantai di darat sambil menunggu makan siang.
Dipilih untuk makan siang di pulau, sebab hasil mancing ikan karang di atas kapal cukup banyak. Lumayan buat acara bakar-bakar ikan. Agar lebih nikmat, dipasang tenda biru (betul warna biru terpalnya). Adapun nasi dan lauk lain, yakni “bau piapi” telah disiapkan di atas kapal. Jadi tinggal dibawa ke pulau.
‘Bau piapi’ dan nasi dimasak oleh awak KM Irama Indah di dapur kapal. Awak KM Irama Indah ramah-ramah awaknya. Nakhoda sekaligus juragannya, H. Bachtiar, sering saya lihat shalat di atas geladak kapal. Ada juga seorang tua walau tengah malam, selalu terjaga menjaga kapal.
Akhirnya nasi yang ditunggu-tunggu tiba di pulau, di bawa dengan perahu karet. Kebetulan saya ikut ke kapal saat perahu karet ke sana untuk ambil makanan. Jadi saat balik, saya pegang tutup panci ‘bau piapi’. Agar tak ‘tiseo-seoq’ oleh gelombang.
Tiba di pulau, anggota tim observasi menikmati hidangan makan siang. Walau sederhana, tapi karena dinikmati di pulau dan ikan yang dibakar hasil tangkapan anggota tim, menikmatinya amat spesial. Begitula, sisi lain kebahagiaan para peng-observasi, selain suksesnya menunaikan tugas memasang plank.
Akhirnya, menjelang sore, KM Irama Indah balik ke Majene. Sebenarnya bisa berangkat siang, tapi karena air surut yang menyebabkan ‘ulang-alik’ perahu kareta menjemput anggota tim agak lambat dan cuaca buruk, keberangkatan ditunda sampai sore. Rencananya setelah maghrib agar tiba siang di Majene, tapi karena, mungkin, banyak yang mabuk dan sudah rindu pulang, sang nakhoda KM Irama Indah, H. Bachtiar, “menarik lonceng agar mesin dibunyikan”. Yang mabuk merasa lega. Walau perjalanan lagi 10 jam lebih.
Hampir semua terlelap, kecuali awak kapal. Perjalanan ke Majene terasa lebih cepat. Mungkin karena didorong ombak dan di haluan di pasang layar. Menurut Pak Harun, setelah melihat GPS, setidaknya kecepatan bertambah 1 knot, dari rata-rata 9 menjadi 10 knot. Betul juga, kami tiba sekitar jam 3 malam, lebih cepat hampir dua jam dari pada perjalanan ke pulau.
Alhamdulillah, tugas ‘nasionalisme’ anggota tim observasi yang dibentuk pemkab Majene berhasil menyelesaikan tugas mulianya. Itu berkat kerjasama dengan semua pihak yang berlayar ke P. Lerelerekang.
***
Jika ada yang bertanya, idealnya P. Lerelerekang diapakan? Menurut saya, pulau tersebut harus dijaga. Bukan dari “rampasan” daerah lain, tapi dari kerusakan. Jika terumbu karangnya terus hancur, lambat laun pulau akan tenggelam. Dan secara otomatis, titik dasar (TD) batas wilayah Provinsi Sulawesi Barat akan hilang. Pada gilirannya, akan kehilangan wilayah puluhan kilometer persegi. Itu kerugian luar biasa.
Jadi apa langkah konkrit? Ya, bila disekitar pulau menjadi tambang minyak dan gas, di atas kertas akan menguntungkan. Tapi siapakah yang lebih banyak mengambil keuntungan? Apakah rakyat Sulawesi Barat atau para investor?
Lalu, apakah pengeboran akan berlangsung esok, pekan depan atau bulan depan? Bisa dipastikan tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Jika pun ada proses observasi hingga eksplorasi, itu akan terjadi 5 – 10 tahun mendatang.
Usul saya, baiknya dalam waktu dekat ini Pulau Lerelerekang dicanangkan sebagai laboratorium Universitas Sulawesi Barat atau Daerah Perlindungan Laut (DPL). Bukan hanya dipasangi plank.
Dari segi ilmu pengetahuan, P. Lerelerekang cukup penting sebab dia pulau kecil yang agak terisolasi. Kita belum tahu mungkin ada spesies endemik di sana. Memang Sulawesi Barat memiliki beberapa pulau kecil, misalnya di Teluk Polewali atau di Kepulauan Balabalakang, tapi P. Lerelerekang memiliki nilai tersendiri, baik keterisolasiannya maupun dari segi geopolitik.
Menjadi laboratorium untuk perguruan tinggi di Sulawesi Barat, sebagaimana hutan yang dikelola dan dijadikan tempat praktek mahasiswa, misalnya Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta dan Universitas Mulawarman di Kalimantan Timur.
Dan, jika mahasiswa pecinta alam di Sulawesi Barat lebih kreatif dan tak lupa akar budayanya, jangan hanya mendaki gunung. Tapi kalau betul pemberani, belajarlah melayarkan sandeq, berlayarlah ke P. Lerelerekang, tinggal di sana 1-2 malam, dan pelajari bawah lautnya.
Jangan mau kalah sama mahasiswa Universitas Hasanuddin, yang mereka bukan orang Mandar, tapi dengan niat tulus belajar melayarkan sandeq Mandar untuk kemudian mereka layarkan ke Australia, yang tiba beberapa pekan lalu.
Kesimpulannya, baik pemerintah Provinsi Sulawesi Barat maupun pemerintah Kabupaten Majene serta rakyatnya, harus melakukan langkah konkrit lebih lanjut dalam pengelolaan P. Lerelerekang yang berkelanjutan. Memang luasnya 6,4 hektar, tapi kalau pulau tersebut tenggelam, puluhan kilometer persegi (sama dengan ribuan hektar) akan lepas dari provinsi yang insya Allah ‘malaqbiq’ ini. Wallahualam.
http://ridwanmandar.com/2011/12/12/berlayar-ke-pulau-lerelerekang-04-jadikan-laboratorium-alam/
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment