Thursday, February 23, 2012

Hak Ulayat Laut

Saya belum pernah membaca lontar (atau terjemahannya) yang mengatakan bahwa kawasan Mandar juga mencakup P. Lerelerekang. Sebagaimana istilah “Dari Binanga Karaeng di selatan hingga Lalombi di utara; dari Paku hingga Suremana”. Kata lain, dulunya P. Lerelerekang tidaklah menjadi wilayah kekuasaan dari tujuh kerajaan di pantai “Pitu Ba’bana Binanga”. Yang ada kemungkinan untuk memilikinya ialah Kerajaan Balanipa, Kerajaan Banggae, dan Kerajaan Sendana. Tapi saya pikir bangsawan-bangsawan dari kerajaan tersebut tidak pernah mengklaim bahwa P. Larilariang adalah politiknya. Namun, sekelompok orang dari wilayah tersebut (Balanipa, Banggae, dan Sendana) telah memanfaatkan P. Larilariang dan perairan disekitarnya. Mereka adalah para nelayan “pallarung”! Nelayan Mandar secara tidak sadar telah “memasang patok” di tempat tersebut bahwa P. Lerelerekang adalah bagian dari Mandar. Simbol pemasangan patok bukan dalam arti betul-betul memasang tanda atau prasasti atau batas wilayah tersebut melainkan aktivitas mereka yang melakukan eksploitasi atau pengelolaan sumberdaya di wilayah tersebut. Lalu mungkin muncul pertanyaan, “Apakah orang asli Kalimantan tidak memanfaatkan P. Lerelerekang”? Sepertinya tidak pernah, sebab penduduk asli Kalimantan adalah suku, Banjar dan Dayak, yang berorientasi daratan (hutan). Jadi untuk menjadi penjelajah lautan amat kecil. Hal inilah yang harus diketahui pihak Kalimantan Selatan, bahwa tidak ada bukti ilmiah nenek moyang mereka (yang bukan orang Bugis, Makassar, Mandar, dan Bajau) pernah memanfaatkan P. Lerelerekang. Kalau nenek orang Majene hingga anak cucunya sekarang ini masih melakukan aktivitas menangkap ikan di sekitar P. Lerelerekang. Tidak usah jauh-jauh hingga P. Lerelerekang, pulau-pulau terdekat saja, di bagian timur dan selatan P. Laut (pulau terbesar di timur Kalimantan Selatan). Siapa saja yang tinggal di situ. Siapa yang mengelolanya dari dulu. Jawabnya orang-orang dari Sulawesi Selatan. Kalau bukan Mandar pasti Bugis atau Makassar. Hak Ulayat laut Walau tak ada catatan tertulis, misalnya di dalam lontar, yang mengatakan P. Lerelerekang adalah wilayah salah satu kerajaan di Mandar, wilayah perairan di sekitar pulau tersebut mungkin bisa dikategorikan sebagai salah satu bentuk hak ulayat di laut. Alasannya, sebab nelayan Mandar telah lama menjadikan wilayah tersebut sebagai daerah penangkapan ikan. Hanya saja nelayan Mandar (dan juga nelayan Bugis, Makassar dan Bajau) memandang laut sebagai milik umum “common property”, jadi tak bisa diklaim sebagai milik. Kecuali ada alat tangkapnya terpasang di situ, semisal rumpon (roppong). Hak penggunaan wilayah pada perikanan (territorial use rights in fisheries) telah ada sejak berabad-abad. Hak-hak ini sudah ada untuk sumberdaya yang menetap. Di samping itu, hak-hak ini telah ada pada sejumlah usaha perikanan laut dalam masyarakat tradisional dan juga sedang diperjuangkan melalui ketentuan hukum. Sebab dianggap sebagai hukum adat. Hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan-peraturan legislatif (unstitutory law), yang meliputi peraturan-peraturan yang hidup meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib, tetap ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum. Hak ulayat merupakan bagian dari konsepsi hukum adat tentang hak-hak atas tanah dan air. Hukum adat dirumuskan sebagai konsepsi yang “komunalistik religius”, yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur kebersamaan. Meskipun hanya tanah yang disebut secara eksplisit, tetapi hal itu tidak berarti perairan bukan bagian dari konsepsi hukum adat sebab pada kenyataannya di berbagai masyarakat hukum adat, perairan juga merupakan bagian dari sistem hak ulayat. Hak ulayat laut merupakan terjemahan dari kata dalam bahasa Inggris, “sea tenure”, Sudo (1983) mengatakan bahwa istilah “sea tenure” mengacu kepada seperangkat hak dan kewajiban timbal balik yang muncul dalam hubungannya dengan kepemilikan wilayah laut. Akamichi (1991) mengatakan bahwa hak-hak kepemilikan (property rights) mempunyai konotasi sebagai memiliki (to own), memasuki (to access), dan memanfaatkan (to use). Baik konotasi memiliki, memasuki maupun memanfaatkan tidak hanya mengacu pada wilayah penangkapan (fishing ground), tetapi juga berdasar pada teknik-teknik penangkapan, peralatan yang digunakan (teknologi) atau bahkan sumberdaya yang ditangkap dan dikumpulkan. Jadi yang dimaksud dengan hak ulayat laut adalah seperangkat aturan atau praktik pengelolaan atau manajemen wilayah laut dan sumberdaya yang terkandung di dalamnya Perangkat aturan atau hak ulayat laut tersebut menyangkut siapa yang memiliki hak atas suatu wilayah, jenis sumberdaya yang boleh ditangkap dan teknik mengeksploitasi sumberdaya yang diperbolehkan yang ada di suatu wilayah laut. Apakah pengelolaan perairan sekitar P. Lerelerekang adalah salah satu bentuk hak ulayat laut? Untuk menjawab itu harus ada penelitian. Yang jelas ada kemungkinan untuk itu sebab memang ada pemanfaatan dalam waktu lama lingkungan perairan di tempat tersebut oleh nelayan Suku Mandar Bersambung

No comments:

Post a Comment