Thursday, February 23, 2012
Berlayar ke Pulau Lerelerekang (02): Pistol Disiapkan
KM Irama Indah kapal transportasi yang berasal dari Soreang, Majene. Biasanya kapal ini menempuh rute Majene ke pulau-pulau kecil di Kalimantan Selatan. Yang mana di pulau-pulau tersebut banyak tinggal orang Mandar.
Ukuran kapal hampir 50 meter. Didesain sebagai kapal penumpang yang bisa memuat barang banyak. Ada beberapa ruang atau bagian di kapal ini. Pertama adalah haluan. Haluan berbentuk segitiga. Lebih enak duduk di haluan bila tak hujan. Setelah itu ruang kemudi. Ukurannya kecil, ndak bisa muat orang banyak. Hanya bisa sekitar lima orang. Di dalam ruang kemudi ada poster Salim S. Mengga, K. H. Syahabuddin, dan ulama dari Kalimantan Selatan. Apakah kebetulan ada dua figur ulama dari Sulawesi Barat dan Kalimantan Selatan?
Juga ada lafas doa-doa bertuliskan arab di dinding. Di balik kemudi ada kompas atau pedoman. Tak ada peta laut, juga tak ada alat komunikasi radio. Dari aspek keselamatan berlayar, KM Irama Indah tak layak. Saat ditanya mengapa tak ada radio komunikasi, jawab H. Bachtiar, “Yang ada rusak. Dan sekarang sudah ada hp yang bisa membantu komunikasi”. Ya, memang ada hp, tapi jangkauan hp tidak sampai setelah 10 mil meninggalkan daratan.
Di sisi kiri-kanan ruang kemudi ada lorong kecil untuk menuju ruang utama. Ruang utama untuk penumpang. Ada dua tingkat. Hanya bisa duduk di dalam. Tak bisa berdiri sebab tingginya, khususnya yang bagian atas, hanya semeter. Jadi bila bergerak ke arah lain harus jalan jongkok atau tiarap. Kepala sering terantuk sebab tak biasa.
Di bagian bawah juga begitu, tapi di sisi kiri-kanan ada lorong menuju ruang belakang. Ruang belakang adalah dapur. Juga da toilet di situ. Adapun buritan ada teras. Bisa untuk mancing.
Bagian paling bawah adalah ruang untuk barang. Sedangkan bagian atas atau atap ruang ada tempat lapang. Biasanya juga sebagai tempat barang.
***
Sekitar jam 7 pagi, 30 November 2011, anggota tim yang diutus Pemkab Majene, bersiap-siap untuk mendarat di P. Lerelerekang. Ternyata KM Irama Indah bergeser sekitar 3 km dari posisi awalnya, tempat berlabuh semalam. Itu informasi di GPS.
Sebab pulau telah terlihat jelas, untuk menuju ke sana dan menentukan tempat berlabuhnya jauh lebih aman dibanding semalam. Perahu mendekat ke pulau, atau berpindah sekitar 3 km dari posisi.
Itulah canggihnya GPS. Ukuran sebesar hp lawas tersebut bisa memberi informasi amat akurat. Memang kelihatannya kecil, tapi di baliknya ada 24 satelit super canggih yang memasok informasi ‘real time’ dalam kecepatan tinggi, sepersekian detik. Satelit terletak puluhan kilometer di luar angkasa. Milik Amerika Serikat.
Saat mendekat, ada rasa tegang di atas kapal. Samar-samar di pulau ada benda yang nampak seperti perahu. Saya yang duduk di atas dek (atap) sempat melihat polisi yang mengkode temannya untuk menyiapkan pistol. Temannya yang duduk di buritan segera menuju haluan, memberi atasannya pistol.
Bukan hanya pistol yang siap sedia dari kemarin. Juga senapan serbu khas polisi. Setidaknya ada dua unit yang saya lihat. Juga ada pistol colt di samping anggota TNI yang ikut.
Dari beberapa kali saya mendatangi pulau-pulau kecil di perbatasan, baru kali ini saya bersama serta dengan aparat keamanan lengkap dengan senjatanya. Uniknya lagi, ini pulau yang berbatasan antar provinsi saja. Bukan negara dengan negara. Jadi, senjata untuk apa? Siapa juga mau ditembak. Bila pun ada pihak yang menjaga P. Lerelerekang tidak mungkin juga baku tembak.
Tapi saya juga memberi dalih atas pertanyaan saya sendiri tersebut. Senjata itu alat diplomasi. Setidaknya untuk membuat keder jika berhadapan lawan. Tidak selalu harus ditembakkan. Dan, membuat awak atau anggota tim observasi lebih pede dan merasa aman.
Tapi kami kecele, ternyata bukan perahu, tapi kayu dan pondasi suar.
Setelah berlabuh, kami pun sarapan. Hanya mie siram. Perahu karet telah diturunkan. Tim pertama turun, sekitar 8 orang. Ada pak Asisten II, pak Harun, dan teman jurnalis. Semuanya mengenakan pelampung. Saya dan teman-teman jurnalis serta awak kapal yang lain duduk-duduk di haluan, memperhatikan perahu karet yang menuju pulau. Menunggu giliran diangkut.
Tampaknya ada banyak karang di sekeliling pulau. Perahu karet kesulitan untuk langsung mendekat ke pulau. Mereke menuju arah lain dulu agar bisa sampai ke garis pantai berpasir putih. Kami yang berada di kapal merasa sok pintar, “Koq perahu ke sana, ndak langsung ke situ.” Ada yang menimpal, “Kayaknya mereka mau keliling-keliling dulu.” Yang lain menanggapi, “Seharusnya jangan dulu, baiknya semen, pasir, kerikil dan plank diturunkan dulu agar pekerjaan utama ke pulau bisa segera selesai.”
Selain menggunakan perahu karet, ada juga yang pake sampan (lepa-lepa) ke sana. Ukuran sampannya besar, khas kapal. Tidak seperti sampan nelayan yang kecil, mungil, rampin, ringan. Ada tiga orang yang memilih pakai sampan. Salah satunya sepertinya jarang naik sampan. Susah menyeimbangkan diri. Bila pakai sampan nelayan, sudah pasti jatuh kalau begitu gayanya. Untung pakai sampan bongsor dan besar, jadi tak terbalik.
Ada juga yang memilih berenang. Namanya Wiwin, keturunan Mandar – Bajau Filipina. Menurut percakapan yang saya dengar di atas kapal, Wiwin itu jago menyelam dan menembak ikan. Tak ada takutnya, walau malam. Dan dia pintar bahasa Tagalog, sebab ada banyak kerabatnya di sana, termasuk di Filipina Selatan.
Saya juga mau berenang ke pulau, tak terlalu jauh. Tapi karena harus membawa serta alat-alat observasi (kamera bawah air, GPS, kompas, buku catatan, alat snorkling, dll) harus pakai sekoci. Dan saya telah siap dari tadi. Tampaknya saya yang paling banyak bawaannya. Agar duluan berangkat, dari haluan saya pindah ke samping kapal, yang ada pintu untuk naik turun sekoci.
Tidak lama kemudian, perahu karet datang, merapat ke sisi KM Irama Indah. Sebelum kami turun, terlebih dulu diturunkan dua zak semen, dua karung kerikil, dua jerigen air tawar, dan sekop. Saat sekoci telah sarat, sekoci putar haluan, kedua kalinya menuju P. Lerelerekang.
“Bismillah”, ucap dalam hati saat pertama kali menginjak P. Lerelerekang. Walau secara fisik P. Lerelerekang tak amat spesial, tak ada yang indah kecuali pasir putihnya, bagi saya yang telah menginjak puluhan pulau-pulau kecil, pulau kecil yang ini terasa spesial. (Bersambung)
http://ridwanmandar.com/2011/12/12/berlayar-ke-pulau-lerelerekang-02-pistol-disiapkan/
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment