Tuesday, August 23, 2011

Revisi UU Migas; Untuk Kedaulatan


Jumat, 22 April 2011
Seputar Sulawesi. Com : Makassar ; Keputusan Mahkamah Konstitusi membatalkan Undang Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan gas Bumi direspon baik oleh Anggota Komisi VII DPR RI dari Partai Kebangkitan Bangsa, Agus Sulistyono.

Dalam rilisnya, yang diterima Redaksi Seputar Sulawesi, beliau mengungkapkan bahwa Undang Undang tersebut sama sekali tidak berpihak pada kepentingan nasional bahkan menimbulkan kerugian Negara yang cukup besar. Beberapa keputusan tak logis pemerintah yang menimbulkan kerugian Negara lain: menjual gas dari blok Donggi Senoro kepada Mitsubishi dan menjual gas Tangguh di Papua kepada Cina dengan harga yang tak masuk akal yakni $3.35/MMBTU ketika harga gas dunia memiliki rata-rata $13/MMBTU. Keputusan tersebut menyebabkan PLN (perusahaan listrik negara) mengalami kekurangan pasokan gas pada unit pembangkit-nya yang mengakibatkan pembangkitan listrik yang seharusnya berharga Rp 400 / Kwh menjadi Rp 1300 / Kwh karena menggunakan diesel dalam pembangkitannya. Tutur Politisi PKB ini.

Lebih jauh Agus sapaan beliau, menuturkan, bahwa peralihan regulasi dari UU No. 8 tahun 1971 ke UU No. 22 tahun 2001 tentang Migas berawal pada persengketaan kepemilikan blok tempat produksi migas dengan kata lain sektor usaha hulu menjadi persengketaan yang kemudian berimbas ke sektor usaha hilir yang secara tidak langsung mengakhiri hak istimewa Pertamina dalam penyediaan dan pendistribusian BBM dan menjadikan UU Migas No.22 tahun 2001 diwarnai dengan beberapa pasal yang mengedepankan pasar bebas.

Berubahnya landasan hukum tata kelola sumber energi primer sektor migas dari UU No.8 tahun 1971 menjadi UU migas No.22 tahun 2001, kata dia, merubah pula secara keseluruhan nilai dan proses ekonomi pada sektor migas di Indonesia yang berujung pada pengkerdilan peran Pertamina di sektor hulu seperti saat ini. Hal tersebut juga merupakan pengingkaran dari “azas manfaat” dalam pengelolaan migas negara. Fakta yang tidak bisa dipungkiri bahwa, latar belakang UU Migas No 22/2001 tidak berdasarkan UUD 1945 pasal 33, dan tidak disesuaikan dengan realita Indonesia.

Menurut dia, saat UU No. 8 tahun 1971 masih berlaku, Pertamina berperan sebagai satu-satunya perusahaan migas negara dan sebagai pemegang kuasa bisnis (economic/business rights). Sistem Production Sharing Contract (PSC) yang diimplemetasikan oleh Pertamina sejak tahun 1966 menjadi format kontrak yang paling cocok digunakan di Indonesia. Di bawah kendali Pertamina, pemenuhan kebutuhan energi Indonesia jauh lebih baik dibanding setelah UU Migas diberlakukan. Untuk itu, revisi UU Migas saat ini harus mengembalikan posisi perusahaan migas negara sebagai prioritas pertama dalam penawaran blok migas Indonesia baik yang baru atau yang sudah lama. Jika pandangan ini dapat diwujudkan, sudah tentu amanah UUD 1945 mengelola sebesar-besarnya kekayaan alam (dalam hal ini migas) untuk kemakmuran rakyat dapat tertunaikan. (MENK)
http://www.seputarsulawesi.com/news-3114-revisiuumigasuntukkedaulatan.html

No comments:

Post a Comment