Penulis : Ayomi Amindoni
Jumat, 14 Desember 2012 02:38 WIB
MI/Angga Yuniar/rj
JAKARTA--MICOM: Pembubaran Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (BP Migas) oleh Mahkamah konstitusi dinilai oleh beberapa kalangan merupakan momentum yang tepat untuk merustrukturisasi Pertamina.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan keberadaan Satuan Kerja Sementara Pelaksana (SKSP) Migas yang sementera dibentuk oleh pemerintah belum menjamin kepastian dalam usaha migas.
Hal ini dibuktikan banyak Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S) yang masih merasa belum aman. Solusinya, segera merevisi UU Migas yang menjadi landasan hukum badan tersebut dan membentuk BUMN khusus yang mengelola sektor migas. Salah satu opsi yang paling memungkinkan adalah merustrukturisasi Pertamina.
"Itu mestinya direstrukturisasi menjadi perusahaan negara khusus, juga untuk memisahkan mana yang profit center dan cost center. Yang urusan PSO, subsidi, BBM LPG itu jangan digabung dengan hulu. Itu bukan unbundling sebenarnya, karena masih dalam koordinasi kementerian. Regulatornya pemerintah, pemerintah yang mengatur mereka," jelas Pri Agung usai Diskusi Mekanisme Production Sharing Contract (PSC) Sektor Migas di Jakarta, Kamis (13/12).
Ia menambahkan, badan baru pengelola hulu migas kedepan masih berada di bawah Kementerian Energi dan Sumber Daya MIneral (ESDM) seperti SKSP Migas. Akan tetapi, bentuk badan tersebut bukan lagi unit usaha, melainkan badan usaha. Sehingga kontrak yang dijalankan dengan K3S adalah kontrak bussiness to bussiness (B to B). Pertamina, menurutnya, cukup qualified untuk menjalankan peran tersebut.
"Apapun bentuk kontraknya sepanjang dijalankan oleh bumn sebagai wakil negara itu terserah. kalau bicara ideal, sebetulnya dua anak perusahaan pertamina, Pertamina EP dan PHE (Pertamina Hulu Energi), orientasinya bukan hanya sekarang tapi untuk jangka panjang. Supaya kita punya dua pemain andal," ujarnya.
Adapun sebagai pengelola sektor hulu Migas, tugas BP Migas juga mengelola keuangan negara dari migas. Terkait hal tersebut, apabila badan usaha pengganti BP Migas sudah terbentuk, Kementerian ESDM dan Kementerian tinggal menentukan target penerimaan negara.
"Ditentukan saja negara akan memungut sekian persen dari penerimaannya, baik PEP atau PHE. Ini juga akan menjawab karena selama ini tidak kondusif karena Pertamina dengan kontraktor asing selalu dilawankan masalah blok baru. Padahal kalau konfigurasinya dua ini Perrtamina ini kalau tidak mampu pasti akan dikerjasamakan dengan pihak lain. PHE sudah punya lapangan sendiri dan melakukan kontrak bisnis sendiri," jelas Pri Agung.
Ditemui di tempat yang sama, Pakar Production Shares Contract (PSC/Kontrak Bagi Hasil) Sutadi Pudjo Utomo mengatakan mekanisme PSC fiscal regime yang diterapkan sekarang adalah untuk menjaga kepentingan pemerintah dan investor. Pemerintah ingin mendapat bagian optimum atas pemanfaatan kekayaan negara.
Sedangkan investor ingin mendapat bagian keekonomian pengembangan penemuan lapangan migas. Untuk menyatukan keduanya, untuk pengembangan lapangan migas menggunakan indikator keekonomian berdasar internal rate of return (IRR) yang diharuskan minimal 20%.
"Kondisi fiscal dan built in control pengembanga cadangan sudah dapat menjamin kepentingan bisnis investor, dengan IRR minimal 20% dan kepentingan negara, yang pendapatan negara minimal akan 50%.
Menurut Sutadi, pembubaran BP Migas belum cukup, dengan mengalihkan ke Kementerian ESDM membuat negara kehilangan kedaulatan terhadap pengadilan arbitrase apabila terjadi sengketa dengan K3S. (Aim/OL-3)
No comments:
Post a Comment