Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rudi Rubiandini menilai, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyebutkan bahwa BP Migas tidak memihak kepentingan nasional sebagai pandangan yang salah.
Terlebih, salah satu pertimbangan MK membubarkan BP Migas karena sumbangan terhadap APBN selalu turun.
"Mengambil angka 12 persen, itu yang salah. Negara mendapatkan hampir 80 persen dari pengelolaan migas," ujar Rudi dalam diskusi publik bertajuk 'Masa Depan Pengelolaan Migas Nasional Pasca Keputusan MK' di Kantor DPP Golkar, Jakarta, Selasa (4/12).
Rudi Rubiandini
Rudi menambahkan, BP Migas tidak menyerahkan kuasa perminyakan atas blok migas pada kontraktor, negara masih memiliki kekayaan alam 100 persen. Kontraktor hanya mendapatkan bagi hasil dari kegiatan pertambangan yang mereka lakukan.
"Posisi kontraktor hanya tukang cangkul yang mencangkulkan, baru negara yang men-share," tegasnya.
Selain itu, Rudi menambahkan, uang yang diberikan BP Migas kepada para kontraktor sebagai bagi hasil kegiatan pertambangan merupakan hal yang wajar. Sebab, Indonesia belum memiliki teknologi untuk mengeksplorasi sendiri kekayaan alamnya, sehingga masih membutuhkan bantuan dari kontraktor asing.
"Yang kita miliki adalah sumber daya alam, sedangkan kita tidak bisa mengolahnya, maka muncul kontrak kerjasama," katanya.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan ketentuan yang mengatur keberadaan Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), Pasal 41 ayat (2), Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48 ayat (1), Pasal 59 huruf a, Pasal 61, dan Pasal 63 Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas. Dengan putusan ini, MK menyatakan keberadaan BP Migas tidak memiliki kekuatan hukum sehingga harus dibubarkan.
MK segala hal yang berkaitan dengan BP Migas dinyatakan tidak lagi dapat dipertahankan. Ini karena dasar hukum BP Migas bertentangan dengan konstitusi negara Indonesia.
[noe]
No comments:
Post a Comment