Tuesday, November 13, 2012
Hikmahanto sayangkan keputusan MK bubarkan BP Migas
Jakarta (ANTARA News) - Guru Besar Ilmu Hukum UI Hikmahanto Juwana sangat menyayangkan Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membubarkan Badan Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas).
Karena keputusan itu tidak akan mengeluarkan Indonesia dalam pengelolaan sumber daya alam yang efisien dan untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, kata Hikmahanto di Jakarta, Selasa malam.
"MK telah memutuskan bahwa BP Migas tidak konstitusional. Putusan ini tentu harus dihormati namun patut disayangkan," katanya.
Menurut Hikmahanto, setidaknya ada tiga alasan mengapa keputusan itu patut disayangkan, yaitu pertama, MK diibaratkan telah membakar lumbung, dan bukan tikus, ketika menganggap BP Migas inefisien dan membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan.
"MK berpendapat keberadaan BP Migas sangat berpotensi untuk terjadinya inefisiensi dan diduga dalam praktiknya telah membuka peluang untuk terjadinya penyalahgunaan kekuasaan," ujarnya.
Atas dasar tersebut MK memutuskan BP Migas tidak konstitusional, bertentangan dengan tujuan negara tentang pengelolaan sumber daya alam dalam pengorganisasian pemerintah.
"Ini yang kemudian menjadi alasan kedua mengapa putusan tersebut disayangkan mengingat aneh bila ukuran inefisiensi dan potensi penyalahgunaan suatu lembaga dianggap sebagai tidak konstitusional," ujarnya.
Padahal ditambahkan Hikmahanto, saat ini di Indonesia banyak lembaga yang tidak efisien dan apakah berdasarkan inefisiensi dan potensi penyalahgunaan kekuasaan tersebut lembaga yang ada serta merta dianggap tidak konstitusional.
"Bukankah konstitusional tidaknya suatu lembaga harus dirujuk pada pasal dalam UUD?," ujarnya.
Selanjutnya, alasan ketiga keputusan MK patut disayangkan adalah karena MK menganggap BP Migas sebagai suatu lembaga yang benar-benar terpisah dari negara yang seolah-olah BP Migas mendapat `outsource` dari negara untuk menjalankan kewenangannya.
Dalam putusannya No 36/PUU-X/2012 yang dibacakan Ketua Majelis Hakim MK, Mahfud MD di Jakarta, Selasa, lembaga itu menyatakan pasal-pasal yang mengatur tugas dan fungsi BP Migas yang diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan UUD dan tidak memiliki hukum mengikat.
Selanjutnya, fungsi dan tugas BP Migas dilaksanakan pemerintah cq Kementerian terkait, sampai ada undang-undang baru yang mengatur hal tersebut.
MK berpendapat "untuk menghindari hubungan yang demikian (hubungan antara BP Migas dengan negara) negara dapat membentuk atau menunjuk BUMN yang diberikan konsesi untuk mengelola Migas di Wilayah hukum Pertambangan Indonesia atau di Wilayah Kerja.
BUMN tersebut yang melakukan KKS dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap sehingga hubungannya tidak lagi antara negara dengan Badan Usaha atau BUT tetapi antara Badan Usaha dengan BU atau BUT.
"Kalau memang demikian maka BUMN yang ditunjuk akan mempunyai fungsi yang sama dengan BP Migas. Kondisi ini yang hendak mengembalikan posisi masa lalu dimana Pertamina bertindak sebagai regulator," ujar Hikmahanto.
Padahal berdasarkan UU Migas saat ini fungsi regulasi dan kewenangan untuk memberi Wilayah Kerja berada di Direktorat Jenderal Migas.
Sementara BP Migas hanya berperan sebagai pihak yang mewakili negara ketika mengadakan Kontrak Kerja Sama (KKS) dengan Badan Usaha dan Badan Usaha Tetap. Penunjukan BUMN akan tetap `merendahkan` posisi negara karena konstelasinya tidak berbeda dengan BP Migas.
Ditambahkan Hikmahanto, kerepotan lain dengan penunjukan BUMN sebagai regulator adalah pada saat mereka berperan sebagai regulator maka mereka juga mencari keuntungan, bila dalam bentuk perseroan terbatas, atau berhak mendapatkan subsisdi bila dalam bentuk perusahaan umum (Perum).
Padahal Pertamina sebelum berlakukan UU Migas bukanlah BUMN yang diatur dalam UU BUMN melainkan sebuah lembaga yang berdiri berdasarkan UU yaitu UU No 8 Tahun 1971.
(R017/R010)
Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © 2012
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment