JAKARTA, FAJAR -- Cadangan minyak dan gas (migas) Indonesia masih terbuka. Soalnya, dari 60 cekungan di Indonesia yang mengandung gas, baru sekitar 22 cekungan yang digarap. Sebagian besar cekungan yang belum digarap tersebut, berada di Kawasan Timur Indonesia.
Demikian disampaikan Praktisi Migas, Abdul Mu'in. "Kebanyakan cekungan yang belum disentuh berada di KTI, yang selama ini terbukti memiliki cadangan gas yang cukup besar. Jadi tetap era minyak sudah habis, berganti dengan gas. Perilaku konsumsi minyak sudah semestinya diganti dengan gas, bahkan jika memungkinkan energi terbarukan," tutur Mu'in di Jakarta, Jumat, 18 Mei.
Mu'in menambahkan, publik harus mulai sadar, Indonesia memasuki masa krisis energi fosil, khususnya minyak. Menurutnya, sejak puncak kedua 1996 sebesar 1,6 juta barel minyak per hari, produksi minyak akan terus menurun. Pasalnya, 90 lapangan yang berproduksi masuk kategori tua. "Ditambah tidak ada lagi temuan yang tergolong lapangan besar, kecuali blok Cepu," katanya.
Cadangan blok Cepu yang diperkirakan sebesar 450 juta barel pun, lanjut Mu'in, jauh lebih kecil dibanding lapangan Minas dan Duri di Riau yang cadangannya mencapai 4 miliar barel.
Ketua Pelaksana Gerakan Ekayastra Unmada (gerakan cinta bangsa dan tanah air), Putut Prabantoro mengatakan, dana bagi hasil migas yang diperoleh daerah, belum mensejahterahkan rakyat. Dia juga menyebutkan adanya konflik perbatasan di daerah yang sering terjadi karena perebutan wilayah yang mengandung migas.
"Contohnya, Pulau Lerek-lerekan yang diperebutkan oleh Sulawesi Barat dan Kalimantan Selatan. Di pulau tersebut terdapat cadangan gas yang dikelola Pearl Oil (Sebuku). Migas seharusnya menjadi pemersatu, bukan pemecah belah," katanya.
BP Migas ditunjuk pemerintah untuk meningkatkan harga jual gas bumi. Tahun ini dari perbaikan beberapa harga gas domestik dan ekspor penerimaan akan naik setidaknya Rp6 triliun. Demikian disampaikan epala Divisi Humas, Sekuriti dan Formalitas Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), Gede Pradnyana.
Data BP Migas, 2011 lalu sumbangan industri migas mencapai USD35,233 miliar atau sekitar Rp317,1 triliun. Jumlah ini meningkat dibanding 2010 yang pendapatannya sebesar 26,497 miliar atau sekitar Rp238,5 triliun. Peningkatan pendapatan migas menjadi tidak optimal karena mayoritas digunakan untuk subsidi atau sekitar 80 persen.
Berdasarkan laporan keuangan pemerintah pusat, Wakil Direktur Reforminer Institut, Komaidi, 2009 subsidi energi dan dana bagi hasil untuk daerah sebanyak Rp120,68 triliun. Tahun berikutnya, porsinya naik menjadi Rp175,31 triliun. Tahun ini diperkirakan untuk subsidi energi saja mencapai Rp170 triliun.
Berdasarkan simulasi yang dilakukan Reforminer, kuota premium dan solar tahun 2012 sekitar 38,3 juta kilo liter. Tahun 2025, diperkirakan kuotanya mencapai 69,2 juta kilo liter. Artinya, pada 2025, subsidi bahan bakar minyak menyentuh angka Rp308 triliun. Padahal, penerimaan dari minyak diperkirakan akan berkurang sebanyak Rp144 triliun karena produksinya yang terus menurun. (asw/upi)
No comments:
Post a Comment