RADAR SULBAR
Laporan: Sudirman Samual
POTENSI minyak dan gas (migas) di wilayah Sulbar yang selama ini didengung-dengungkan belum juga menampakkan hasil menggembirakan. Satu persatu investor yang memenangkan tender pengelolaan wilayah dalam sembilan blok migas Sulbar pun angkat kaki dari provinsi ini.
Bendera investor dari berbagai negara di dunia mulai diturunkan dari tiang yang tertancap di Bumi Malaqbi ini. Sebagian besar investor pergi tanpa meninggalkan jejak apapun, kecuali sekedar hikayat bahwa mereka pernah menginjakkan kaki di wilayah ini.
Tapi tidak begitu dengan perusahaan asal Norwegia, Statoil, yang bekerja bersama Pertamina Hulu Energi (PHE) yang merupakan anak usaha PT Pertamina. Saat memutuskan mengembalikan seluruh wilayah kerja di Blok Karama Selat Makassar akibat tak menemukan cadangan migas usai melakukan pengeboran di tiga sumur masing-masing Gatotkaca, Anoman, dan Antasena tersebut, perusahaan itu telah memberi manfaat bagi sejumlah masyarakat khususnya di Kabupaten Mamuju.
Diantaranya adalah melakukan renovasi sekolah dan pembangunan gedung Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di beberapa desa serta memberikan pelatihan terhadap sejumlah guru untuk pengembangan diri dalam meningkatkan mutu pembelajaran.
Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) itu juga telah mengobati lebih dari 5.000 pasien di sejumlah desa selama tiga tahun dalam program pengobatan gratis, serta program pengembangan ekonomi mikra pada puluhan kelompok usaha baik dalam bidang pertanian, perikanan, maupun perkebunan. Karya lainnya yang ditinggalkan, adalah penanaman sekira 20.000 pohon mangrove di pesisir Sulbar untuk melindungi pantai dari abrasi.
“Kami menyebut ini sebagai investasi sosial,” ujar Corporate Social Responsibility (CSR) Advisor Statoil Indonesia, Wawan Koswara, saat menjadi narasumber dalam acara Pemaparan Program Kegiatan CSR Statoil Indonesia yang dihadiri sejumlah wartawan media cetak dan elektronik Sulbar maupun Makassar di Hotel Aryaduta Makassar, Kamis 14 Maret.
Wawan menyebutkan, Statoil mulai menjejakkan kaki di Sulbar sejak tahun 2008 lalu namun baru mulai menjalankan CSR pada tahun 2009. Alasannya, tahun pertama perusahaan tersebut baru mensurvei apa kebutuhan masyarakat. Dalam tiga tahun berjalannya CSR, Statoil telah menggelontorkan anggaran pada masyarakat sekira Rp 1,5 miliar hingga Rp 1,7 miliar per tahun.
“Kami juga telah membangun sarana air bersih untuk masyarakat di beberapa tempat agar menjawab persoalan mereka,” imbuhnya saat menjelaskan tayangan mengenai kegiatan CSR yang dilakukan itu.
Dalam upaya eksplorasi dengan kontrak enam tahun yang baru berjalan sekira lima tahun ini, Statoil telah menghabiskan dana mencapai Rp 2,5 triliun. Diakui bahwa kegiatan eksplorasi beresiko karena menggunakan teknologi tinggi yang berakibat ada mahalnya biaya operasional. Namun tidak adanya kandungan migas yang ditemui tak membuat Statoil merasa rugi karena bisnis eksplorasi minyak adalah gambling (judi). “Semoga apa yang kami berikan kepada masyarakat bisa dirasakan manfaatnya secara berkelanjutan,” pungkasnya. (**)
No comments:
Post a Comment