Rabu, 16 November 2011
Mamuju (ANTARA News) - Gubernur Sulawesi Barat, Anwar Adnan Saleh menyatakan, masyarakat di daerah itu tidak akan rela Pulau Lariang-Lariang yang telah ditetapkan secara hukum masuk wilayah Sulawesi Barat "direbut" Provinsi Kalimantan Selatan.
Anwar Adnan Sale
"Masyarakat Sulbar tidak akan rela jika wilayahnya, Pulau Lari-Lariang, yang telah dinyatakan secara hukum masuk ke wilayah Sulbar 'direbut' Provinsi Kalsel," katanya di Mamuju, Rabu.
Ia menilai Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan telah berusaha "mencaplok" Pulau Lari-Lariang yang masuk wilayah Sulbar dengan sikapnya tidak mau mengalah dan berusaha merebut pulau yang kaya minyak itu.
"Kalsel tampaknya terus berusaha 'mencaplok' wilayah Sulbar dengan mengklaim dan berupaya merebut Pulau Lari-Lariang yang masuk dalam wilayah Kabupaten Majene Provinsi Sulbar, tanpa mau mengerti bahwa pulau itu secara hukum adalah sah milik Sulbar," katanya.
Menurut dia, jika hal itu tetap dilakukan Pemerintah Provinsi Kalsel, maka masyarakat Sulbar tidak akan rela dan tetap berupaya mempertahankan Pulau Lari-Lariang sebagai wilayah Provinsi Sulbar.
Pulau Lari-Lariang merupakan salah satu pulau yang berada di perairan Sulawesi dan masuk dalam wilayah Kabupaten Majene, Provinsi Sulawesi Barat, sesuai pengakuan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi melalui peraturan pemerintah.
Karena iyu, katanya, klaim Pemprov Kalsel bahwa Pulau Lari-Lariang masuk dalam wilayah Pulau Sebuku di Kabupaten Kotabaru, Provinsi Kalsel, tidak beralasan karena tidak melalui legitimasi aturan yang jelas.
"Jadi pemerintah di Provinsi Kalsel sebaiknya menghentikan upaya untuk merebut Pulau Lari-Lariang yang sudah sangat jelas masuk dalam wilayah Sulbar sesuai aturan yang ada," katanya.
Ia juga meminta masyarakat Kota Baru berhenti berdemonstrasi untuk merebut Pulau Lari-Lariang karena masyarakat Sulbar juga bisa melakukan hal serupa untuk mempertahankan Pulau Lari-Lariang yang menjadi wilayahnya.
"Masyarakat Sulbar akan mempertahankan Pulau Lari-Lariang agar tidak direbut Kalsel karena Pulau Lari-Lariang adalah milik Sulbar," katanya.
Gubernur Sulbar Anwar Adnan menuding ada upaya Pemerintah Kalsel merebut Pulau Lari-Lariang karena daerah itu memiliki potensi gas alam yang besar. Tetapi pemerintah di Sulbar juga tidak akan rela dan akan mempertahankan karena itu wilayahnya.
Dia mengatakan, pemerintah di Sulbar akan segera menuntaskan masalah sengketa wilayah itu dengan melibatkan pemerintah tingkat pusat.
"Pemerintah di Sulbar siap membicarakan sengketa wilayah yang diperebutkan ini, dengan melibatkan Kemendagri agar jelas siapa yang berhak atas Pulau Lari-Lariang ini," ujarnya. (T.KR-MFH/S023)
COPYRIGHT © 2011
http://www.antara-sulawesiselatan.com/berita/33907/masyarakat-sulbar-tak-rela-lari-lariang-direbut-kalsel
Friday, November 25, 2011
Friday, November 18, 2011
Kerja Keras Merebut Pulau "Migas"
(Berita Daerah - Kalimantan) - Sejak terdengar isu pulau Lerek-Lerekan diklaim masuk wilayah Sulawesi Barat, Pemerintah Kabupaten Kotabaru di Kalimantan Selatan mulai berusaha mempertahankan pulau itu sebagai bagian wilayah Kotabaru.
Pulau Larek-larekan, yang oleh Pemerintah Kabupaten Kota Baru disebut pulau Lari-Larian, terletak di koordinat LS 03 drajat 32`53" dan BT 117 drajat 27`14" dengan panjang sekitar 340 meter dengan lebar sekitar 146 meter total luas sekitar 3,5 hektare.
Pulau Larek-larekan menjadi sengketa, karena diperkirakan di pulau tersebut menyimpan cadangan gas sekitar 370 miliar kaki kubik (BCF).
Pemerintah Kabupaten Kotabaru merasa terusik karena mereka menganggap Lari-Larian telah memiliki legalitas jelas menjadi bagian wilayah Kotabaru. Dalam catatan administrasi Kabupaten Kotabaru, pulau itu merupakan bagian dari Desa Sekapung, Kecamatan Pulau Sebuku,
Bukan hanya bukti administrasi dalam negeri, bahkan negara-negara tetangga juga memiliki bukti administrasi bahwa Lari-Larian adalah bagian dari wilayah Kotabaru.
Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kotabaru, Akhmad Rivai memastikan bahwa pulau Lari-larian sudah jelas bagian dari wilayah Kotabaru.
"Jika ada daerah lain yang mengklaim Lari-larian itu masuk wilayah Sulawesi Barat itu tidak benar, karena berdasarkan bukti-bukti yang sah seperti Bakosurtanal bahwa pulau tersebut berada di wilayah Kotabaru," katanya.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kotabaru, H Muhammad Ansyar Nur, sependapat dengan Kadistamben bahwa Lari-larian termasuk bagian dari wilayah Kotabaru.
"Berdasarkan publikasi Adimiralty Notices to Mariners edisi mingguan ke 53 tanggal 31 Agustuss 2006 (diterbitkan UK-Hydrographic Office, Inggris) lari-larian termasuk dalam kelompok Pulau Laut Kalimantan," ujarnya.
Selain itu, Lari-larian juga merupakan daerah navigasi Administrasi Pelabuhan Kalimantan Selatan termasuk dalam peta Neraca Sumber Daya Alam Kabupaten Kotabaru terbitan Bakosurtanal.
Oleh karena itu pada 2006, bupati Kotabaru juga mengeluarkan SK Bupati no.471/2006 tentang penegasan pulau Lari-larian sebagai wilayah Kotabaru.
Menurut Ansyar, kronologis munculnya isu Lari-larian masuk wilayah Sulawesi Barat awalnya ketika tim pusat melakukan inventarisasi pulau-pulau kecil di Indonesia sekitar tahun 2008.
"Kebetulan tim melakukan inventerisasi pulau-pulau kecil di wilayah Sulawesi Barat lebih dahulu sebelum melakukan inventarisasi di wilayah Kalimantan, sehingga pulau tersebut diklaim masuk wilayah Sulbar," katanya.
Menurut dia, jika tim tersebut melakukan inventarisasi pulau-pulau kecil di Kotabaru terlebih dahulu, mungkin tim tetap akan memasukkan pulau Lari-larian bagian dari wilayah Kotabaru.
Namun demikian, lanjut Ansyar, lebih dahulu atau belakangan diinventarisasi, Pulau Lari-larian tetap menjadi bagian dari wilayah Kotabaru.
Terlebih kondisi di lapangan, Pulau Lari-Larian berjarak dengan Pulau Sebuku Kabupaten Kotabaru hanya sekitar 60 mil laut dengan Pulau Sambergelap Kotabaru sekitar 40 mil laut.
Sedangkan jarak Pulau Lari-Larian dengan wilayah daratan Sulawesi Barat sekitar 80 mil laut.
Ketua DPRD Kotabaru Alpidri Supian Noor, mengemukakan, berdasarkan hasil rapat antara Dirjen Perbatasan dan Pulau-Pulau Kecil dengan Bappeda dan Kabag Hukum Kabupaten Kotabaru serta Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, memutuskan pulau Lari-larian bagian dari wilayah Kotabaru.
"Seperti yang disampaikan oleh Dirjen Perbatasan dan Pulau-pulau kecil Astuti, bahwa Lari-larian merupakan bagian dari wilayah Kotabaru, kita tinggal menunggu peraturan pemerintah (PP)-nya saja," kata Alpidri.
Menurut kader Golkar tersebut, Kotabaru telah lega bahwa pekerjaan berat dan panjang kini tidak sia-sia, karena Pulau Lari-larian yang kini sedang dieksplorasi oleh PT Pearl Oil LTD perusahaan tambang migas bagian dari wilayah Kotabaru.
"Jika masalah ini telah selesai maka Pemkab Kotabaru tinggal koordinasi saja dengan pihak perusahaan bagaimana langkah selanjutnya," ujarnya.
Kabag Hukum Setda Kotabaru Taufik Rifani, mengatakan, semula Kotabaru hanya berharap keputusan pemerintah tentang status Pulau Lari-Larian ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri, namun ternyata pemerintah akan membuat peraturan pemerintah (PP).
"Peraturan pemerintah tentang Pulau Lari-Larian yang merupakan bagian dari wilayah Desa Sekapung Kecamatan Pulau Sebuku Kabupaten Kotabaru tersebut kedudukannya lebih tinggi dari SK Mendagri," ujarnya.
Ia mengatakan, berdasarkan daftar lampiran nama-nama pulau di Provinsi Kalimantan Selatan hasil dari verifikasi dan pemberian nama-nama pulau di Indonesia, bahwa pulau Lari-Larian berada pada urutan kedua dari 134 pulau di Kalsel yang akan diterbitkan PP-nya.
Dengan demikian, lanjut dia, sengketa antara pemerintah Provinsi Sulawesi barat dengan Kabupaten Kotabaru tentang pulau Lari-Larian harus segera diakhiri.
"Karena berdasarkan bukti administrasi yang dibuat oleh pemerintah Indonesia dan pengakuan dari Pemerintah Inggris dan Australia bahwa pulau Lari-Larian jelas masuk wilayah "Borneo" Kalimantan, yakni, Kalimantan Selatan, Kabupaten Kotabaru," katanya.
Membangun pos.
Pemerintah Kabupaten Kotabaru segera membangun pos/kantor pelayanan publik di Pulau Lari-Larian, sekitar 60 mil sebelah timur Desa Sekapung, Kecamatan Pulau Sebuku, Kabupaten Kotabaru.
"Selain pos pelayanan yang dibangun pemerintah daerah, Kantor Administrasi Pelabuhan Kalimantan Selatan juga berencana membangun mercusuar di Pulau Lari-Larian," kata Taufik.
Menurut dia, pembangunan infrastruktur di pulau tersebut bertujuan untuk mendukung aktivitas perusahaan tambang minyak dan gas (migas) PT Pearl Oil di Pulau Lari-Larian, karena tidak lama lagi perusahaan tersebut segera melakukan eksplotasi gas di sana.
Selain itu, pembangunan prasarana dan sarana itu juga dimaksudkan untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, khususnya para nelayan atau masyarakat yang kebetulan singgah di pulau yang luasnya sekitar 3,5 hektare tersebut.
"Siapa tahu ada nelayan yang terdampar atau masyarakat yang ingin menyelam di pulau tersebut, karena karang di sekitar Pulau Lari-Larian lebih indah dibandingkan dengan karang di Bunaken, Sulut," ujarnya.
Pemerintah Kabupaten Kotabaru beberapa tahun terakhir telah memasang alat navigasi di Pulau Lari-Larian.
Langkah tersebut merupakan bagian dari pembinaan pemerintah Kabupaten Kotabaru terhadap wilayahnya yang terdiri dari 110 pulau.
Memperoleh saham
Eksploitasi gas lepas pantai di Pulau Lari-Larian di Selat Sebuku Kabupaten Kotabaru sebanyak 5 ribu barel per hari (bph) akan dimulai pada awal 2010.
Gubernur Kalimantan Selatan (Kalsel) Rudy Ariffin, mengatakan rencana eksploitasi gas di wilayah Kalsel tersebut merupakan berkah yang sangat tidak terduga.
"Dulu saya merasa iri dengan Kalimantan Timur yang kaya akan sumber daya alam bukan hanya batu bara tetapi juga gas, ternyata kini Kalsel juga punya," kata dia.
Menurut dia, segera dieksploitasinya gas lepas pantai tersebut merupakan bukti bahwa Kalsel sangat kaya sumber daya alam.
Agar warga Kalsel bisa ikut menikmati kekayaan alam tersebut, gubernur akan menawarkan keikutsertaaan daerah dalam kepemilikan saham eksploitasi gas tersebut.
"Saya berharap dengan adanya saham minimal 10 persen, masyarakat bisa ikut menikmati hasilnya terutama untuk mendorong pembangunan," katanya.
Guna penyertaan saham itu, Pemprov Kalsel diperkirakan harus mengalokasikan dana sebesar Rp300 miliar lebih.
Dengan demikian, kata dia, akan dilakukan pembahasan serius dengan DPRD dan dinas instansi terkait untuk mendapatkan jalan terbaik.
Saat ini, Pearl Oil Ltd perusahaan pemenang tender pengeboran gas tersebut, sudah melakukan ekspos analis Dampak Lingkungan (Amdal) yakni penilaian kelayakan lingkungan dari kegiatan yang akan mereka lakukan.
Sebelumnya, Kepala Dinas Pertambangan Kalsel, Ali Mazanie mengatakan, minyak yang dibor itu akan disalurkan ke Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) untuk diproses lebih lanjut.
Kenapa di Kaltim, kata dia, karena lama eksploitasi terlalu pendek hanya sekitar 9 tahun sehingga tidak efisien bila harus membangun pabrik pengolahan.
Sementara itu, Ketua DPRD Kotabaru menambahkan, kepemilikan saham itu memang benar-benar harus diperjuangkan dengan sekuat tenaga, tidak hanya sekedar keinginan saja namun berusaha semaksimal mungkin agar mendapatkan sebagian saham melalui berbagai cara.
Umpamanya, lanjut dia, pemerintah bisa mengalokasikan dana cukup untuk membeli 10 persen saham dan lima persen bisa diperoleh dengan konpensasi memberikan kemudahan perijinan dan kebijakan masuknya perusahaan tersebut di Kotabaru.
"Untuk memiliki saham bukan murni harus dibeli, namun sebagian bisa diperoleh dari imbalan setelah memberikan kemudahan perijinan itu bisa dinilai dengan beberapa persen saham," katanya.
Sangat wajar jika Kotabaru menginginkan sebagian saham tersebut, mengingat selama ini daerah hanya mendapatkan akibat dari kerusakan alam yang isinya telah dieksploitasi.
"Oleh sebab itu, jangan hanya provinsi saja yang ingin memiliki saham PT Pearl Oil, tetapi Kotabaru juga harus mendapatkan 15 persen saham dari perusahaan tersebut," kata dia.
Untuk memperoleh saham partisipating interest (saham) Pemerintah Kabupaten Kotabaru dengan pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan harus membentuk badan usaha milik daerah (BUMD) syarat memperoleh `participation interst` (PI) saham dari perusahaan minyak dan gas PT Pearl Oil sebesar 10 persen.
Kabag Hukum Setda Kotabaru Taufik Rifani, mengatakan, PI 10 persen tersebut merupakan hak istimewa yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah melalui BUMD di wilayah kerja pertambangan (WKP)kontraktor kerja sama (KKS).
"Pemberian hak istimewa ini tertuang dalam peratuan pemerintah (PP) no.35 tahun 2004 tentang kegiatan usaha hulu migas pasal 34," katanya.
Dalam PP tersebut ditegaskan bahwa penawaran 10 persen `participation interest` harus dilakukan sejak disetujuinya `plant of development` (POD) rencana pengembangan lapangan pertama kali yang akan diproduksi dari suatu wilayah kerja pertambangan.
Ia menambahkan, terdapat tiga indikator pengelolaan minyak dan gas keterkaitan dengan kewenangan dan hak Kabupaten Kotabaru pada Blok Sebuku.
Pertama dana bagi hasil, kedua PI dan ketiga peluang pendukung bidang migas (Bidang logistik dan penyedia kegiatan teknis seluruh aktivitas pertambangan migas).
"Untuk dana bagi hasil telah dijelaskan dalam Undang-Undang no.33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah," katanya.
Taufik mengatakan, pemberian hak istimewa tersebut juga ditegaskan dalam Undang-Undang no.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah pasal 18 ayat 1, 2 dan 3.
Pasal 18 ayat 1 menyebutkan, bahwa daerah yang memiliki wilayah laut diberikan haknya untuk mengelola sumber daya di wilayah laut. Sedangkan ayat 2 menyebutkan, daerah yang mendapat bagi hasil atas sumber daya alam di bawah dasar dan atau di dasar laut sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya pada ayat 3 menyebutkan kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut sebagaimana dimaskudkan ayat 1 meliputi ekplorasi, eskploitasi, konversi dan pengolahan kekayaan laut, pengaturan administrasi dan pengaturan tata ruang.
Untuk mendapatkan PI 10 persen tersebut lanjut Taufik, harus dilakukan usaha pencarian investor atau pendana yang sanggup untuk membiayai pembelian saham 10 persen di Blok Sebuku.
Menurut dia, pemerintah daerah dalam hal ini Kabupaten Kotabaru dan Provinsi Kalimantan Selatan segera melaksanakan re-organisasi dan revitalisasi BMUD untuk mengakomodasi hak pengelolaan PI 10 persen.
(mn/MN/ant)
http://new.beritadaerah.com/artikel/kalimantan/13955
Pulau Larek-larekan, yang oleh Pemerintah Kabupaten Kota Baru disebut pulau Lari-Larian, terletak di koordinat LS 03 drajat 32`53" dan BT 117 drajat 27`14" dengan panjang sekitar 340 meter dengan lebar sekitar 146 meter total luas sekitar 3,5 hektare.
Pulau Larek-larekan menjadi sengketa, karena diperkirakan di pulau tersebut menyimpan cadangan gas sekitar 370 miliar kaki kubik (BCF).
Pemerintah Kabupaten Kotabaru merasa terusik karena mereka menganggap Lari-Larian telah memiliki legalitas jelas menjadi bagian wilayah Kotabaru. Dalam catatan administrasi Kabupaten Kotabaru, pulau itu merupakan bagian dari Desa Sekapung, Kecamatan Pulau Sebuku,
Bukan hanya bukti administrasi dalam negeri, bahkan negara-negara tetangga juga memiliki bukti administrasi bahwa Lari-Larian adalah bagian dari wilayah Kotabaru.
Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kotabaru, Akhmad Rivai memastikan bahwa pulau Lari-larian sudah jelas bagian dari wilayah Kotabaru.
"Jika ada daerah lain yang mengklaim Lari-larian itu masuk wilayah Sulawesi Barat itu tidak benar, karena berdasarkan bukti-bukti yang sah seperti Bakosurtanal bahwa pulau tersebut berada di wilayah Kotabaru," katanya.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kotabaru, H Muhammad Ansyar Nur, sependapat dengan Kadistamben bahwa Lari-larian termasuk bagian dari wilayah Kotabaru.
"Berdasarkan publikasi Adimiralty Notices to Mariners edisi mingguan ke 53 tanggal 31 Agustuss 2006 (diterbitkan UK-Hydrographic Office, Inggris) lari-larian termasuk dalam kelompok Pulau Laut Kalimantan," ujarnya.
Selain itu, Lari-larian juga merupakan daerah navigasi Administrasi Pelabuhan Kalimantan Selatan termasuk dalam peta Neraca Sumber Daya Alam Kabupaten Kotabaru terbitan Bakosurtanal.
Oleh karena itu pada 2006, bupati Kotabaru juga mengeluarkan SK Bupati no.471/2006 tentang penegasan pulau Lari-larian sebagai wilayah Kotabaru.
Menurut Ansyar, kronologis munculnya isu Lari-larian masuk wilayah Sulawesi Barat awalnya ketika tim pusat melakukan inventarisasi pulau-pulau kecil di Indonesia sekitar tahun 2008.
"Kebetulan tim melakukan inventerisasi pulau-pulau kecil di wilayah Sulawesi Barat lebih dahulu sebelum melakukan inventarisasi di wilayah Kalimantan, sehingga pulau tersebut diklaim masuk wilayah Sulbar," katanya.
Menurut dia, jika tim tersebut melakukan inventarisasi pulau-pulau kecil di Kotabaru terlebih dahulu, mungkin tim tetap akan memasukkan pulau Lari-larian bagian dari wilayah Kotabaru.
Namun demikian, lanjut Ansyar, lebih dahulu atau belakangan diinventarisasi, Pulau Lari-larian tetap menjadi bagian dari wilayah Kotabaru.
Terlebih kondisi di lapangan, Pulau Lari-Larian berjarak dengan Pulau Sebuku Kabupaten Kotabaru hanya sekitar 60 mil laut dengan Pulau Sambergelap Kotabaru sekitar 40 mil laut.
Sedangkan jarak Pulau Lari-Larian dengan wilayah daratan Sulawesi Barat sekitar 80 mil laut.
Ketua DPRD Kotabaru Alpidri Supian Noor, mengemukakan, berdasarkan hasil rapat antara Dirjen Perbatasan dan Pulau-Pulau Kecil dengan Bappeda dan Kabag Hukum Kabupaten Kotabaru serta Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, memutuskan pulau Lari-larian bagian dari wilayah Kotabaru.
"Seperti yang disampaikan oleh Dirjen Perbatasan dan Pulau-pulau kecil Astuti, bahwa Lari-larian merupakan bagian dari wilayah Kotabaru, kita tinggal menunggu peraturan pemerintah (PP)-nya saja," kata Alpidri.
Menurut kader Golkar tersebut, Kotabaru telah lega bahwa pekerjaan berat dan panjang kini tidak sia-sia, karena Pulau Lari-larian yang kini sedang dieksplorasi oleh PT Pearl Oil LTD perusahaan tambang migas bagian dari wilayah Kotabaru.
"Jika masalah ini telah selesai maka Pemkab Kotabaru tinggal koordinasi saja dengan pihak perusahaan bagaimana langkah selanjutnya," ujarnya.
Kabag Hukum Setda Kotabaru Taufik Rifani, mengatakan, semula Kotabaru hanya berharap keputusan pemerintah tentang status Pulau Lari-Larian ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri, namun ternyata pemerintah akan membuat peraturan pemerintah (PP).
"Peraturan pemerintah tentang Pulau Lari-Larian yang merupakan bagian dari wilayah Desa Sekapung Kecamatan Pulau Sebuku Kabupaten Kotabaru tersebut kedudukannya lebih tinggi dari SK Mendagri," ujarnya.
Ia mengatakan, berdasarkan daftar lampiran nama-nama pulau di Provinsi Kalimantan Selatan hasil dari verifikasi dan pemberian nama-nama pulau di Indonesia, bahwa pulau Lari-Larian berada pada urutan kedua dari 134 pulau di Kalsel yang akan diterbitkan PP-nya.
Dengan demikian, lanjut dia, sengketa antara pemerintah Provinsi Sulawesi barat dengan Kabupaten Kotabaru tentang pulau Lari-Larian harus segera diakhiri.
"Karena berdasarkan bukti administrasi yang dibuat oleh pemerintah Indonesia dan pengakuan dari Pemerintah Inggris dan Australia bahwa pulau Lari-Larian jelas masuk wilayah "Borneo" Kalimantan, yakni, Kalimantan Selatan, Kabupaten Kotabaru," katanya.
Membangun pos.
Pemerintah Kabupaten Kotabaru segera membangun pos/kantor pelayanan publik di Pulau Lari-Larian, sekitar 60 mil sebelah timur Desa Sekapung, Kecamatan Pulau Sebuku, Kabupaten Kotabaru.
"Selain pos pelayanan yang dibangun pemerintah daerah, Kantor Administrasi Pelabuhan Kalimantan Selatan juga berencana membangun mercusuar di Pulau Lari-Larian," kata Taufik.
Menurut dia, pembangunan infrastruktur di pulau tersebut bertujuan untuk mendukung aktivitas perusahaan tambang minyak dan gas (migas) PT Pearl Oil di Pulau Lari-Larian, karena tidak lama lagi perusahaan tersebut segera melakukan eksplotasi gas di sana.
Selain itu, pembangunan prasarana dan sarana itu juga dimaksudkan untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, khususnya para nelayan atau masyarakat yang kebetulan singgah di pulau yang luasnya sekitar 3,5 hektare tersebut.
"Siapa tahu ada nelayan yang terdampar atau masyarakat yang ingin menyelam di pulau tersebut, karena karang di sekitar Pulau Lari-Larian lebih indah dibandingkan dengan karang di Bunaken, Sulut," ujarnya.
Pemerintah Kabupaten Kotabaru beberapa tahun terakhir telah memasang alat navigasi di Pulau Lari-Larian.
Langkah tersebut merupakan bagian dari pembinaan pemerintah Kabupaten Kotabaru terhadap wilayahnya yang terdiri dari 110 pulau.
Memperoleh saham
Eksploitasi gas lepas pantai di Pulau Lari-Larian di Selat Sebuku Kabupaten Kotabaru sebanyak 5 ribu barel per hari (bph) akan dimulai pada awal 2010.
Gubernur Kalimantan Selatan (Kalsel) Rudy Ariffin, mengatakan rencana eksploitasi gas di wilayah Kalsel tersebut merupakan berkah yang sangat tidak terduga.
"Dulu saya merasa iri dengan Kalimantan Timur yang kaya akan sumber daya alam bukan hanya batu bara tetapi juga gas, ternyata kini Kalsel juga punya," kata dia.
Menurut dia, segera dieksploitasinya gas lepas pantai tersebut merupakan bukti bahwa Kalsel sangat kaya sumber daya alam.
Agar warga Kalsel bisa ikut menikmati kekayaan alam tersebut, gubernur akan menawarkan keikutsertaaan daerah dalam kepemilikan saham eksploitasi gas tersebut.
"Saya berharap dengan adanya saham minimal 10 persen, masyarakat bisa ikut menikmati hasilnya terutama untuk mendorong pembangunan," katanya.
Guna penyertaan saham itu, Pemprov Kalsel diperkirakan harus mengalokasikan dana sebesar Rp300 miliar lebih.
Dengan demikian, kata dia, akan dilakukan pembahasan serius dengan DPRD dan dinas instansi terkait untuk mendapatkan jalan terbaik.
Saat ini, Pearl Oil Ltd perusahaan pemenang tender pengeboran gas tersebut, sudah melakukan ekspos analis Dampak Lingkungan (Amdal) yakni penilaian kelayakan lingkungan dari kegiatan yang akan mereka lakukan.
Sebelumnya, Kepala Dinas Pertambangan Kalsel, Ali Mazanie mengatakan, minyak yang dibor itu akan disalurkan ke Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) untuk diproses lebih lanjut.
Kenapa di Kaltim, kata dia, karena lama eksploitasi terlalu pendek hanya sekitar 9 tahun sehingga tidak efisien bila harus membangun pabrik pengolahan.
Sementara itu, Ketua DPRD Kotabaru menambahkan, kepemilikan saham itu memang benar-benar harus diperjuangkan dengan sekuat tenaga, tidak hanya sekedar keinginan saja namun berusaha semaksimal mungkin agar mendapatkan sebagian saham melalui berbagai cara.
Umpamanya, lanjut dia, pemerintah bisa mengalokasikan dana cukup untuk membeli 10 persen saham dan lima persen bisa diperoleh dengan konpensasi memberikan kemudahan perijinan dan kebijakan masuknya perusahaan tersebut di Kotabaru.
"Untuk memiliki saham bukan murni harus dibeli, namun sebagian bisa diperoleh dari imbalan setelah memberikan kemudahan perijinan itu bisa dinilai dengan beberapa persen saham," katanya.
Sangat wajar jika Kotabaru menginginkan sebagian saham tersebut, mengingat selama ini daerah hanya mendapatkan akibat dari kerusakan alam yang isinya telah dieksploitasi.
"Oleh sebab itu, jangan hanya provinsi saja yang ingin memiliki saham PT Pearl Oil, tetapi Kotabaru juga harus mendapatkan 15 persen saham dari perusahaan tersebut," kata dia.
Untuk memperoleh saham partisipating interest (saham) Pemerintah Kabupaten Kotabaru dengan pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan harus membentuk badan usaha milik daerah (BUMD) syarat memperoleh `participation interst` (PI) saham dari perusahaan minyak dan gas PT Pearl Oil sebesar 10 persen.
Kabag Hukum Setda Kotabaru Taufik Rifani, mengatakan, PI 10 persen tersebut merupakan hak istimewa yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah melalui BUMD di wilayah kerja pertambangan (WKP)kontraktor kerja sama (KKS).
"Pemberian hak istimewa ini tertuang dalam peratuan pemerintah (PP) no.35 tahun 2004 tentang kegiatan usaha hulu migas pasal 34," katanya.
Dalam PP tersebut ditegaskan bahwa penawaran 10 persen `participation interest` harus dilakukan sejak disetujuinya `plant of development` (POD) rencana pengembangan lapangan pertama kali yang akan diproduksi dari suatu wilayah kerja pertambangan.
Ia menambahkan, terdapat tiga indikator pengelolaan minyak dan gas keterkaitan dengan kewenangan dan hak Kabupaten Kotabaru pada Blok Sebuku.
Pertama dana bagi hasil, kedua PI dan ketiga peluang pendukung bidang migas (Bidang logistik dan penyedia kegiatan teknis seluruh aktivitas pertambangan migas).
"Untuk dana bagi hasil telah dijelaskan dalam Undang-Undang no.33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah," katanya.
Taufik mengatakan, pemberian hak istimewa tersebut juga ditegaskan dalam Undang-Undang no.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah pasal 18 ayat 1, 2 dan 3.
Pasal 18 ayat 1 menyebutkan, bahwa daerah yang memiliki wilayah laut diberikan haknya untuk mengelola sumber daya di wilayah laut. Sedangkan ayat 2 menyebutkan, daerah yang mendapat bagi hasil atas sumber daya alam di bawah dasar dan atau di dasar laut sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya pada ayat 3 menyebutkan kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut sebagaimana dimaskudkan ayat 1 meliputi ekplorasi, eskploitasi, konversi dan pengolahan kekayaan laut, pengaturan administrasi dan pengaturan tata ruang.
Untuk mendapatkan PI 10 persen tersebut lanjut Taufik, harus dilakukan usaha pencarian investor atau pendana yang sanggup untuk membiayai pembelian saham 10 persen di Blok Sebuku.
Menurut dia, pemerintah daerah dalam hal ini Kabupaten Kotabaru dan Provinsi Kalimantan Selatan segera melaksanakan re-organisasi dan revitalisasi BMUD untuk mengakomodasi hak pengelolaan PI 10 persen.
(mn/MN/ant)
http://new.beritadaerah.com/artikel/kalimantan/13955
Dewan Desak Gugat Mendagri
Banjarmasin, KP – DPRD Kalsel mendesak agar eksekutif, khususnya Gubernur Kalsel, H Rudy Ariffin bisa melakukan gugatan terhadap Mendagri, terkait terbitnya Permendagri Nomor 43 tahun 2011.
Permendagri yang ditandatangani pada 29 September 2011 lalu, memuat kepastian status Pulau Lari-larian atau Larek-larekan menjadi bagian administrasi wilayah Kabupaten Majene, Sulawesi Barat, padahal sejak awal, pulau tersebut merupakan bagian Kabupaten Kotabaru, Kalsel.
Bahkan menyikapi hal ini, Komisi I DPRD Kalsel telah memanggil Biro Pemerintahan, agar bisa memberikan penjelasan, terkait lepasnya pulau seluas empat hektare dari wilayah Kalsel.
Namun, sayangnya rapat tersebut batal digelar, karena Biro Pemerintahan masih berada di Jakarta, untuk mempertanyakan hal tersebut di Kementerian Dalam Negeri, padahal anggota Komisi I sudah menunggu sejak pagi hari.
Sementara itu, anggota DPRD Kalsel, Nasrullah juga mendesak gubernur akan melakukan gugatan terhadap Permendagri, yang disinyalir penuh konspirasi dan kepentingan politik.
“Karena Mendagri menetapkan status pulau tersebut secara sepihak, tanpa mempertemukan kedua belah pihak yang bersengketa, baik Kalsel maupun Sulbar,’’ ungkap anggota dewan dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Keputusan tersebut jelas menciderai rakyat, sehingga eksekutif dan legislatif harus menyusun langkah strategis agar dapat memenangkan kembali kepemilikan pulau tersebut, termasuk melibatkan Kabupaten Kotabaru.
“Jadi harus disusun langkah kongkrit untuk menggugat Permendagri tersebut, agar Pulau Lari-larian kembali menjadi milik Kalsel,’’ tambah Nasrullah.
Berdasarkan hasil penelitian, pulau Larilarian seluas empat hektare yang terletak di blok Sebuku Selat Makasar tersebut memiliki kandungan gas alam yang cukup besar. Diperkirakan bisa menghasilkan pendapatan sebesar Rp 1,2 triliun setiap tahun dari pemanfaatan kandungan sumber daya alam tersebut.
Hal senada diungkapkan Ketua Komisi I DPRD Kalsel, Safaruddin, yang geram dengan kekalahan Kalsel mempertahankan Pulau Lari-larian, mengingat sejak awal telah mengingatkan agar Pemprov Kalsel membentuk tim khusus, yang fokus menangani dan menyelesaikan masalah pulau tersebut.
Apalagi Gubernur Kalsel optimis bisa memenangkan kepemilikan pulau tersebut, dengan menyampaikan beberapa dokumen pendukung kepada Mendagri, seperti peta laut yang diakui secara nasional dan internasional.
“Namun kenyataannya, pulau tersebut justru diserahkan ke Sulbar, karena eksekutif terlalu percaya diri dan tidak mau meminta bantuan dari dewan,’’ ungkap anggota dewan dari Fraksi Partai Demokrat. (lyn)
https://sijaka.wordpress.com/2011/10/21/dewan-desak-gugat-mendagri/
Permendagri yang ditandatangani pada 29 September 2011 lalu, memuat kepastian status Pulau Lari-larian atau Larek-larekan menjadi bagian administrasi wilayah Kabupaten Majene, Sulawesi Barat, padahal sejak awal, pulau tersebut merupakan bagian Kabupaten Kotabaru, Kalsel.
Bahkan menyikapi hal ini, Komisi I DPRD Kalsel telah memanggil Biro Pemerintahan, agar bisa memberikan penjelasan, terkait lepasnya pulau seluas empat hektare dari wilayah Kalsel.
Namun, sayangnya rapat tersebut batal digelar, karena Biro Pemerintahan masih berada di Jakarta, untuk mempertanyakan hal tersebut di Kementerian Dalam Negeri, padahal anggota Komisi I sudah menunggu sejak pagi hari.
Sementara itu, anggota DPRD Kalsel, Nasrullah juga mendesak gubernur akan melakukan gugatan terhadap Permendagri, yang disinyalir penuh konspirasi dan kepentingan politik.
“Karena Mendagri menetapkan status pulau tersebut secara sepihak, tanpa mempertemukan kedua belah pihak yang bersengketa, baik Kalsel maupun Sulbar,’’ ungkap anggota dewan dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Keputusan tersebut jelas menciderai rakyat, sehingga eksekutif dan legislatif harus menyusun langkah strategis agar dapat memenangkan kembali kepemilikan pulau tersebut, termasuk melibatkan Kabupaten Kotabaru.
“Jadi harus disusun langkah kongkrit untuk menggugat Permendagri tersebut, agar Pulau Lari-larian kembali menjadi milik Kalsel,’’ tambah Nasrullah.
Berdasarkan hasil penelitian, pulau Larilarian seluas empat hektare yang terletak di blok Sebuku Selat Makasar tersebut memiliki kandungan gas alam yang cukup besar. Diperkirakan bisa menghasilkan pendapatan sebesar Rp 1,2 triliun setiap tahun dari pemanfaatan kandungan sumber daya alam tersebut.
Hal senada diungkapkan Ketua Komisi I DPRD Kalsel, Safaruddin, yang geram dengan kekalahan Kalsel mempertahankan Pulau Lari-larian, mengingat sejak awal telah mengingatkan agar Pemprov Kalsel membentuk tim khusus, yang fokus menangani dan menyelesaikan masalah pulau tersebut.
Apalagi Gubernur Kalsel optimis bisa memenangkan kepemilikan pulau tersebut, dengan menyampaikan beberapa dokumen pendukung kepada Mendagri, seperti peta laut yang diakui secara nasional dan internasional.
“Namun kenyataannya, pulau tersebut justru diserahkan ke Sulbar, karena eksekutif terlalu percaya diri dan tidak mau meminta bantuan dari dewan,’’ ungkap anggota dewan dari Fraksi Partai Demokrat. (lyn)
https://sijaka.wordpress.com/2011/10/21/dewan-desak-gugat-mendagri/
Gubernur Pertahankan Larilarian Masuk Kalsel
BANJARMASIN - Gubernur Kalimantan Selatan Rudy Ariffin mengatakan akan tetap akan mempertahankan Pulau Larilarian yang kaya potensi gas bumi, agar tetap masuk wilayah Kalimantan Selatan.
"Surat beserta bukti-bukti bahwa Pilau Larilarian termasuk wikayah Kalsel telah kita kirim ke Menteri Dalam Negeri. Kita akan pertahankan pulau tersebut kerena memang pulau tersebut milik kita," tegas Rudy di Banjarmasin Rabu.
Pernyataan Guberbur tersebut menanggapi adanya pemberitaan bahwa untuk menghindari konflik antara dua daerah, yaitu Sulawesi Barat dan Kalsel, akhirnya Pulau Larilarian diambil alih oleh Pemerintah Pusat. Terhadap memberitaan tersebut, Rudy kembali menegaskan, hingga saat ini belum ada keputusan siapa yang berhak terhadap pulau yang terletak di Kecamatan Pulau Sebuku, Kabupaten Kotabaru itu.
"Larilarian kan hanya sebuah pulau, bukan suaka margasatwa maupun cagar alam yang bisa diklaim maupun dikelola oleh pemerintah pusat. Kalau pulau pasti sudah milik daerah, tidak bisa dimiliki pusat," katanya.
Pada kesempatan tersebut, Rudy juga memastikan bahwa Larilarian masuk wilayah Kalsel, karena sejarah dan geografis wilayah terluar Kalimantan tersebut masuk Kalsel, "Kalau perlu akan kita tunjukan bukti peta dan lainnya," katanya.
Larilarian adalah pulau kecil dengan panjang sekitar 340 meter dan luas sekitar 146 meter total. Namun, diisukan pulau tersebut masuk Sulawesi Barat.
Pulau Larilarian menjadi sengketa karena diperkirakan di perairan pulau tersebut menyimpan cadangan gas sekitar 370 miliar kaki kubik (BCF).
Pemerintah Kabupaten Kotabaru pun merasa terusik karena mereka menganggap Larilarian memiliki legalitas jelas menjadi bagian wilayah Kotabaru. Dalam catatan administrasi Kabupaten Kotabaru, pulau itu merupakan bagian dari Desa Sekapung, Kecamatan Pulau Sebuku.
Sebelumnya, Bupati Kotabaru Irhami Ridjani menjamin Pulau Larilarian tak mungkin menjadi milik daerah lain, mengingat berdasarkan historis dan fakta hukum pulau itu milik Kotabaru.
"Seusai Rencana Tata Ruang Wilayah, pulai ini sudah kita masukan sebagai milik Kotabaru," ujar Irhami menanggapi kekhawatiran sejumlah pihak pulau itu bakal lepas dari Kalsel dan menjadi milik Sulawesi Barat.
Sementara itu, Sekda Kalsel Mukhlis Gafuri mendesak agar Kementrian Dalam Negeri segera menetapkan agar pulau yang kaya suber daya alam itu masuk wilayah Kotabaru.
Menurut dia, pengajuan persyaratan administrasi penetapan Pulau Larilarian masuk wilayah Kalsel telah disampaikan pihaknya sejak beberapa tahun lalu, namun hingga kini belum ada tanggapan. Padahal tambah dia, dengan adanya penetapan tersebut Kalsek bakal mendapatkan dana bagi hasil dari kontraktor pengeboran gas dengan nilai cukup besar.
Bahkan, kata dia, bagi hasil tersebut nilainya dipastikan jauh lebih besar dari bagi hasil pertambangan yang selama ini banyak mengakibatkan kerusakan sumber daya alam.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kotabaru, Muhammad Ansyar Nur, mengatakan, berdasarkan publikasi Admiralty Notices to Mariners edisi mingguan ke 53 tanggal 31 agustus 2006 (diterbitkan UK-Hydrographic Office, Inggris) Larilarian termasuk dalam kelompok Pulau Laut Kalimantan. Selain itu, Larilarian juga meruapakan daerah navigasi Administrasi Pelabuhan Kalimantan Selatan, termasuk dalam peta Neraca Sumber Daya Alam Kabupaten Kotabaru terbitan Bakosurtanal.
Oleh karena itu pada 2006, Bupati Kotabaru mengeluarkan SK Bupati no. 471/2006 tentang penegasan Pulau Larilarian sebagai wilayah Kotabaru.
Menurut Ansyar, Kronologis munculnya isu Larilarian masuk wilayah Sulawesi Barat awalnya ketika tim pusat melakukan inventerisasi pulau-pulau kecil di Indonesia sekitar tahun 2008.
"Kebetulan tim melakukan inventarisasi pulau-pulau kecil di Sulawesi Barat lebih dahulu sebelum melakukan inventarisasi di wilayah Kalimantan, sehingga pulau tersebut diklaim masuk wilayah Sulbar," katanya.
Menurut dia, jika tim tersebut melakukan inventarisasi pulau-pulau kecil di Kotabaru terlebih dahulu, mungkin tim tetap akan memasukan pulau Larilarian bagian dari wilayah Kotabaru.
Terlebih kondisi di lapangan, pulau Larilarian berjarak dengan pulau Sebuku, Kabupaten Kotabaru, hanya sekitar 60 mil laut dan dengan Pulau Sambergelap Kotabaru sekitar 40 mil laut. Sedangkan jarak Pulau Larilarian dengan wilayah daratan Sulawesi Barat sekitar 80 mil laut. Saat ini, di kawasan Pulau Larilarian atau Blok Sebuku sedang digarap eksplorasi gas oleh Pearl Oil Ltd.
(Sumber : Barito Post edisi Kamis, 11 Nopember 2010)
http://www.kalselprov.go.id/berita/gubernur-pertahankan-larilarian-masuk-kalsel
"Surat beserta bukti-bukti bahwa Pilau Larilarian termasuk wikayah Kalsel telah kita kirim ke Menteri Dalam Negeri. Kita akan pertahankan pulau tersebut kerena memang pulau tersebut milik kita," tegas Rudy di Banjarmasin Rabu.
Pernyataan Guberbur tersebut menanggapi adanya pemberitaan bahwa untuk menghindari konflik antara dua daerah, yaitu Sulawesi Barat dan Kalsel, akhirnya Pulau Larilarian diambil alih oleh Pemerintah Pusat. Terhadap memberitaan tersebut, Rudy kembali menegaskan, hingga saat ini belum ada keputusan siapa yang berhak terhadap pulau yang terletak di Kecamatan Pulau Sebuku, Kabupaten Kotabaru itu.
"Larilarian kan hanya sebuah pulau, bukan suaka margasatwa maupun cagar alam yang bisa diklaim maupun dikelola oleh pemerintah pusat. Kalau pulau pasti sudah milik daerah, tidak bisa dimiliki pusat," katanya.
Pada kesempatan tersebut, Rudy juga memastikan bahwa Larilarian masuk wilayah Kalsel, karena sejarah dan geografis wilayah terluar Kalimantan tersebut masuk Kalsel, "Kalau perlu akan kita tunjukan bukti peta dan lainnya," katanya.
Larilarian adalah pulau kecil dengan panjang sekitar 340 meter dan luas sekitar 146 meter total. Namun, diisukan pulau tersebut masuk Sulawesi Barat.
Pulau Larilarian menjadi sengketa karena diperkirakan di perairan pulau tersebut menyimpan cadangan gas sekitar 370 miliar kaki kubik (BCF).
Pemerintah Kabupaten Kotabaru pun merasa terusik karena mereka menganggap Larilarian memiliki legalitas jelas menjadi bagian wilayah Kotabaru. Dalam catatan administrasi Kabupaten Kotabaru, pulau itu merupakan bagian dari Desa Sekapung, Kecamatan Pulau Sebuku.
Sebelumnya, Bupati Kotabaru Irhami Ridjani menjamin Pulau Larilarian tak mungkin menjadi milik daerah lain, mengingat berdasarkan historis dan fakta hukum pulau itu milik Kotabaru.
"Seusai Rencana Tata Ruang Wilayah, pulai ini sudah kita masukan sebagai milik Kotabaru," ujar Irhami menanggapi kekhawatiran sejumlah pihak pulau itu bakal lepas dari Kalsel dan menjadi milik Sulawesi Barat.
Sementara itu, Sekda Kalsel Mukhlis Gafuri mendesak agar Kementrian Dalam Negeri segera menetapkan agar pulau yang kaya suber daya alam itu masuk wilayah Kotabaru.
Menurut dia, pengajuan persyaratan administrasi penetapan Pulau Larilarian masuk wilayah Kalsel telah disampaikan pihaknya sejak beberapa tahun lalu, namun hingga kini belum ada tanggapan. Padahal tambah dia, dengan adanya penetapan tersebut Kalsek bakal mendapatkan dana bagi hasil dari kontraktor pengeboran gas dengan nilai cukup besar.
Bahkan, kata dia, bagi hasil tersebut nilainya dipastikan jauh lebih besar dari bagi hasil pertambangan yang selama ini banyak mengakibatkan kerusakan sumber daya alam.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kotabaru, Muhammad Ansyar Nur, mengatakan, berdasarkan publikasi Admiralty Notices to Mariners edisi mingguan ke 53 tanggal 31 agustus 2006 (diterbitkan UK-Hydrographic Office, Inggris) Larilarian termasuk dalam kelompok Pulau Laut Kalimantan. Selain itu, Larilarian juga meruapakan daerah navigasi Administrasi Pelabuhan Kalimantan Selatan, termasuk dalam peta Neraca Sumber Daya Alam Kabupaten Kotabaru terbitan Bakosurtanal.
Oleh karena itu pada 2006, Bupati Kotabaru mengeluarkan SK Bupati no. 471/2006 tentang penegasan Pulau Larilarian sebagai wilayah Kotabaru.
Menurut Ansyar, Kronologis munculnya isu Larilarian masuk wilayah Sulawesi Barat awalnya ketika tim pusat melakukan inventerisasi pulau-pulau kecil di Indonesia sekitar tahun 2008.
"Kebetulan tim melakukan inventarisasi pulau-pulau kecil di Sulawesi Barat lebih dahulu sebelum melakukan inventarisasi di wilayah Kalimantan, sehingga pulau tersebut diklaim masuk wilayah Sulbar," katanya.
Menurut dia, jika tim tersebut melakukan inventarisasi pulau-pulau kecil di Kotabaru terlebih dahulu, mungkin tim tetap akan memasukan pulau Larilarian bagian dari wilayah Kotabaru.
Terlebih kondisi di lapangan, pulau Larilarian berjarak dengan pulau Sebuku, Kabupaten Kotabaru, hanya sekitar 60 mil laut dan dengan Pulau Sambergelap Kotabaru sekitar 40 mil laut. Sedangkan jarak Pulau Larilarian dengan wilayah daratan Sulawesi Barat sekitar 80 mil laut. Saat ini, di kawasan Pulau Larilarian atau Blok Sebuku sedang digarap eksplorasi gas oleh Pearl Oil Ltd.
(Sumber : Barito Post edisi Kamis, 11 Nopember 2010)
http://www.kalselprov.go.id/berita/gubernur-pertahankan-larilarian-masuk-kalsel
Kalsel Pertahankan Pulau Lari-larian
Jumat, 22 April 2011
Pemerintah Provinsi tidak hanya tinggal diam, tapi akan berupaya dan berjuang, untuk mempertahankan pulau tersebut masuk dalam wilayah Kalimantan Selatan.
BANJARMASIN, KP - Meski Provinsi Sulawesi Barat telah 'mencaplok' dan mendaftarkan Pulau Lari-larian ke Departemen Dalam Negeri sebagai wilayahnya, namun Pemerintah Provinsi Kalsel tidak akan tinggal diam untuk mempertahankan pulau yang mengandung potensi sumber daya alam, diantaranya minyak.
"Bahkan kita sudah rapat dengan Dirjen Hukum dan Perudang-undangan Kementerian Dalam Negeri dan menyerahkan bukti-bukti bahwa Lari-larian adalah milik kita," ujar Gubernur Kalsel menjawab pertanyaan KP di sela peletakan batu pertama pembangunan pabrik kelapa sawit PT. Hasnur Group di Sungai Puting, Kabupaten Tapin.
"Jadi kita tidak hanya tinggal diam tetapi akan berupaya dan berjuang untuk mempertahankan pulau tersebut masuk dalam wilayah Kalimantan Selatan," ujarnya.
Secara terpisah, Pemkab Kotabaru, Kalimantan Selatan, mengajak Pemerintah Provinsi dan legislatif untuk bekerja keras mempertahankan Pulau Lari-larian yang berada di wilayah Kecamatan Pulau Sembilan yang kini diklaim Pemerintah Sulawesi Barat.
Ajakan tersebut disampaikan Wakil Bupati Kotabaru Rudy Suryana, Rabu, di Kotabaru, menyikapi Sulawesi Selatan yang tiba-tiba mengklaim bahwa Lari-larian masuk wilayahnya.
"Kami percaya saat ini semua pihak telah berjuang mempertahankan Pulau Lari-larian, tetapi tidak salahnya jika Pemkab dan Pemprov serta legislatif sama-sama bersatu mempertahankan, karena kekuatan akan semakin kuat," tutur Wakil Bupati.
Terlepas dari apa yang ada diperut bumi Pulau Lari-larian, bagian Pemkab Kotabaru akan berjuang keras untuk mempertahankan wilayahnya, apapun yang akan terjadi.
"Hal itu harus menjadi dasar Dirjen Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri untuk menetapkan bahwa, Pulau Lari-larian bagian dari wilayah Kotabaru," tegasnya.
Terlebih Pemkab Kotabaru telah beberapa tahun anggaran mengalokasikan dana untuk pembinaan dan pembangunan infrastruktur di pulau tersebut.
Berdasarkan bukti-bukti administrasi dan bukti fisik, Pulau Lari-larian yang memiliki panjang sekitar 340 meter, lebar sekitar 146 meter dengan total luas sekitar 3,5 hektare, merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Pulau Sebuku.
Dikatakan, Pulau Lari-larian selama ini masuk dalam wilayah hukum pelayanan Kantor Administrasi Pelabuhan Kotabaru.
Bukan hanya itu, Pulau Lari-larian yang merupakan bagian dari wilayah Kotabaru juga didukung beberapa dokumen administrasi dari negara tetangga.
H.Akhmad Rivai,M.Si, saat masih menjabat Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kotabaru, menegaskan bahwa Pulau Lari-larian sudah jelas bagian dari wilayah Kotabaru.
"Jika ada daerah lain yang mengklaim pulau itu masuk wilayahnya tidak benar, karena berdasarkan bukti yang sah seperti Bakosurtanal bahwa pulau tersebut berada di Kotabaru," katanya.
Sedangkan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kotabaru, H.Muhammad Ansyar Nur sependapat dengan Kadistamben bahwa Pulau Lari-larian termasuk bagian dari wilayah ini.
"Berdasarkan publikasi Adimiralty Notices to Mariners edisi mingguan ke-53 pada 31 Agustus 2006 (diterbitkan UK-Hydrographic Office, Inggris) Lari-larian termasuk dalam kelompok Pulau Laut Kalimantan," ujarnya.
Selain itu, Pulau Lari-larian juga merupakan daerah navigasi Administrasi Pelabuhan Kalimantan Selatan termasuk dalam peta Neraca Sumber Daya Alam Kabupaten Kotabaru terbitan Bakosurtanal.
Oleh karena itu pada 2006, Bupati Kotabaru mengeluarkan SK No.471/2006 tentang Penegasan Pulau Lari-larian sebagai Bagian Wilayah Kotabaru.
Sementara itu, kenyataannya di lapangan, Pulau Lari-larian berjarak dengan Pulau Sebuku yang merupakan ibukota kecamatan hanya sekitar 60 mil laut, adapun dengan Pulau Sambergelap yang masih dalam satu wilayah kecamatan sekitar 40 mil laut.
Sedangkan jarak Pulau Lari-larian dengan wilayah daratan Sulawesi Barat sekitar 80 mil laut.
(Sumber : Kalimantan Post edisi Sabtu, 23 April 2011)
Pemerintah Provinsi tidak hanya tinggal diam, tapi akan berupaya dan berjuang, untuk mempertahankan pulau tersebut masuk dalam wilayah Kalimantan Selatan.
BANJARMASIN, KP - Meski Provinsi Sulawesi Barat telah 'mencaplok' dan mendaftarkan Pulau Lari-larian ke Departemen Dalam Negeri sebagai wilayahnya, namun Pemerintah Provinsi Kalsel tidak akan tinggal diam untuk mempertahankan pulau yang mengandung potensi sumber daya alam, diantaranya minyak.
"Bahkan kita sudah rapat dengan Dirjen Hukum dan Perudang-undangan Kementerian Dalam Negeri dan menyerahkan bukti-bukti bahwa Lari-larian adalah milik kita," ujar Gubernur Kalsel menjawab pertanyaan KP di sela peletakan batu pertama pembangunan pabrik kelapa sawit PT. Hasnur Group di Sungai Puting, Kabupaten Tapin.
"Jadi kita tidak hanya tinggal diam tetapi akan berupaya dan berjuang untuk mempertahankan pulau tersebut masuk dalam wilayah Kalimantan Selatan," ujarnya.
Secara terpisah, Pemkab Kotabaru, Kalimantan Selatan, mengajak Pemerintah Provinsi dan legislatif untuk bekerja keras mempertahankan Pulau Lari-larian yang berada di wilayah Kecamatan Pulau Sembilan yang kini diklaim Pemerintah Sulawesi Barat.
Ajakan tersebut disampaikan Wakil Bupati Kotabaru Rudy Suryana, Rabu, di Kotabaru, menyikapi Sulawesi Selatan yang tiba-tiba mengklaim bahwa Lari-larian masuk wilayahnya.
"Kami percaya saat ini semua pihak telah berjuang mempertahankan Pulau Lari-larian, tetapi tidak salahnya jika Pemkab dan Pemprov serta legislatif sama-sama bersatu mempertahankan, karena kekuatan akan semakin kuat," tutur Wakil Bupati.
Terlepas dari apa yang ada diperut bumi Pulau Lari-larian, bagian Pemkab Kotabaru akan berjuang keras untuk mempertahankan wilayahnya, apapun yang akan terjadi.
"Hal itu harus menjadi dasar Dirjen Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri untuk menetapkan bahwa, Pulau Lari-larian bagian dari wilayah Kotabaru," tegasnya.
Terlebih Pemkab Kotabaru telah beberapa tahun anggaran mengalokasikan dana untuk pembinaan dan pembangunan infrastruktur di pulau tersebut.
Berdasarkan bukti-bukti administrasi dan bukti fisik, Pulau Lari-larian yang memiliki panjang sekitar 340 meter, lebar sekitar 146 meter dengan total luas sekitar 3,5 hektare, merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Pulau Sebuku.
Dikatakan, Pulau Lari-larian selama ini masuk dalam wilayah hukum pelayanan Kantor Administrasi Pelabuhan Kotabaru.
Bukan hanya itu, Pulau Lari-larian yang merupakan bagian dari wilayah Kotabaru juga didukung beberapa dokumen administrasi dari negara tetangga.
H.Akhmad Rivai,M.Si, saat masih menjabat Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kotabaru, menegaskan bahwa Pulau Lari-larian sudah jelas bagian dari wilayah Kotabaru.
"Jika ada daerah lain yang mengklaim pulau itu masuk wilayahnya tidak benar, karena berdasarkan bukti yang sah seperti Bakosurtanal bahwa pulau tersebut berada di Kotabaru," katanya.
Sedangkan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kotabaru, H.Muhammad Ansyar Nur sependapat dengan Kadistamben bahwa Pulau Lari-larian termasuk bagian dari wilayah ini.
"Berdasarkan publikasi Adimiralty Notices to Mariners edisi mingguan ke-53 pada 31 Agustus 2006 (diterbitkan UK-Hydrographic Office, Inggris) Lari-larian termasuk dalam kelompok Pulau Laut Kalimantan," ujarnya.
Selain itu, Pulau Lari-larian juga merupakan daerah navigasi Administrasi Pelabuhan Kalimantan Selatan termasuk dalam peta Neraca Sumber Daya Alam Kabupaten Kotabaru terbitan Bakosurtanal.
Oleh karena itu pada 2006, Bupati Kotabaru mengeluarkan SK No.471/2006 tentang Penegasan Pulau Lari-larian sebagai Bagian Wilayah Kotabaru.
Sementara itu, kenyataannya di lapangan, Pulau Lari-larian berjarak dengan Pulau Sebuku yang merupakan ibukota kecamatan hanya sekitar 60 mil laut, adapun dengan Pulau Sambergelap yang masih dalam satu wilayah kecamatan sekitar 40 mil laut.
Sedangkan jarak Pulau Lari-larian dengan wilayah daratan Sulawesi Barat sekitar 80 mil laut.
(Sumber : Kalimantan Post edisi Sabtu, 23 April 2011)
Monday, November 14, 2011
Pulau Lerelerekang Memang Wilayah Sulbar!
Sengketa perbatasan atau “kepemilikan” atas suatu wilayah banyak muncul di era otonomi daerah. Sebelumnya, semenjak Indonesia merdeka hingga berakhirnya rezim Orde Baru, perebutan wilayah antar ‘saudara’ jarang terdengar. Berbeda di masa reformasi ini, sering terjadi sengketa, baik antar desa, antar kecamatan, antar kabupaten, dan antar provinsi.
Saya beri tanda kutip (“…”) di kata kepemilikan sebab ada kesalahpahaman di banyak pihak. Mereka menganggap wilayah mereka adalah milik, akan tetapi dalam undang-undang sebatas hak administratif, untuk mengelola saja.
Yang agak rumit pengukurannya adalah batas di laut. Secara teori, wilayah administratif atau hak untuk mengelola kabupaten berjarak 4 mil laut (sekitar 7,4 km) dari surut terendah ke arah laut dan provinsi 12 mil laut (22,4 km). Di luar itu pengelolaannya di tangan pemerintah pusat.
Bila dua atau lebih provinsi yang ‘berhadapan’ di laut, jika jarak antar keduanya sekitar 50 km atau lebih tidak ada masalah. Atau kalau kurang, misalnya 30 km saja, jarak itu tinggal dibagi dua (masing-masing 15 km).
Yang agak rumit bila dua daerah di perbatasannya ada banyak pulau, misalnya Sulawesi Barat (Kep. Balabalakang) dengan Kalimantan Timur. Di daerah perbatasan harus ditentukan terlebih dahulu “titik dasar” (TD) pengukuran. Untuk Indonesia, ada 92 pulau terluar yang menjadi TD.
Sebab berkaitan dengan kedaulatan negara, peran TD amat penting, walau itu hanya seonggok batu karang di atas permukaan laut. Beda kasus dengan provinsi. TD tidak serta merta meluaskan wilayah geografis. Ada hitung-hitungannya tersendiri.
Sebagai contoh Sulawesi Barat. Sebab Kep. Balabalakang masuk wilayah administratif, karena jaraknya dengan pulau utama (P. Sulawesi) cukup jauh (sekitar 90 km atau 48 mil laut), maka ada “wilayah kosong” sebab kurang dari 24 mil. Bagiang “kosong” tersebut mungkin adalah kewenangan pusat, apalagi di bagian tersebut ada Alur Laut Kepulauan Indonesia (kapal perang asing hanya bisa lewat di situ).
Dalam konfigurasi gugusan Kep. Balabalakang yang menjadi kewenangan Provinsi Sulawesi Barat, ada dua pulau letaknya relatif jauh, P. Lumulumu dan P. Lerelerekang. Yang jaraknya melewati batas kewenangan provinsi (12 mil laut).
Bila Sulawesi Barat adalah sebuah negara, pulau-pulau terluarnya bisa menjadi TD. Satu TD dihubungkan dengan TD yang lain. Untuk menentukannya ada aturan khusus, diantaranya garis lurus yang menghubungkan tidak boleh melebihi 100 mil laut kecuali bila tiga persen dari jumlah seluruh garis pangkal yang mengelilingi setiap kepulauan dapat melebihi kepanjangan tersebut maka dapat digunakan batas maksimum 125 mil laut; tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari konfigurasi umum kepulauan tersebut; rasio antar luas wilayah perairan dengan daratan minimal harus memiliki luas perairan yang sama besar atau maksimal hanya sembilan kali dari luas wilayah daratannya; dan lain-lain.
Jadi perkiraan saya (sebab yang berhak menentukan adalah pemerintah lewat Dinas Hidro-Oseanografi Angkatan Laut dan Badan Koordinasi Survei Nasional) garis imajiner batas laut Sulawesi Barat di Kep. Balabalakang berbentuk mata panah yang mengarah ke bawah (selatan).
Yang menjadi sengketa adalah P. Lerelerekang. Diperebutkan sebab ada kemungkinan ada deposit minyak dan gas di bawahnya. Pertanyaannya, apakah deposit tersebut persis di bawah pulau? Kemungkinan itu bisa ya bisa tidak.
Jika tidak, mengapa pulau tersebut diperebutkan? Alasannya adalah sebab P. Lerelerekang bisa menjadi TD bagi Kalimantan Selatan untuk memperluas wilayah perairannya. Sebab nantinya akan ada garis lurus yang ditarik dari salah satu titik di pesisir Kalimantan Selatan, misalnya Karang Grogol (pulau terluar yang masuk wilayah Kalimantan Selatan, terletak di utara dekat P. Balabalakang), menuju P. Lerelerekang, lalu ditarik lagi ke pulau paling selatan Kep. Laurot. Garis tersebut akan menjadi wilayah administratif Kalimantan Selatan di laut.
Nah di perairan tersebut besar kemungkinan ada titik yang akan dijadikan tempat pemboran minyak. Jadi bukan pulaunya yang langsung dibor. Hal yang sama juga berlaku bagi Sulawesi Barat. Tinggal ditentukan TD-nya, setelah berkoordinasi dengan Dihidros, Bakosurtanal, dan Depdagri.
Apa yang Harus Dilakukan?
Sebab pemerintah, lewat Kementerian Dalam Negeri, telah menetapkan P. Lerelerekang atau P. Larilariang sebagai wilayah administratif Provinsi Sulawesi Barat (dalam hal ini Kabupaten Majene), maka Pemprov Sulawesi Barat bersama Pemkab Majene harus menindaklanjuti bahwa mereka serius mengurus pulau kecil tersebut.
Untuk jangka pendek, yang bisa dilakukan Pemprov Sulawesi Barat bersama Pemkab Majene adalah melakukan riset lapangan atas pulau tersebut. Riset yang mencakup letak koordinat pulau (membawa serta GPS ke sana), mengukur luasnya, sumberdaya apa saja yang ada di sana baik di atas pulau maupun sekitarnya, dan memasang patok permanen bahwa wilayah tersebut adalah wilayah wilayah Provinsi Sulawesi Barat.
Aksi simbolis juga bisa dilakukan, Pemprov Sulawesi Barat bersama Pemkab Majene melakukan pelayaran atau kunjungan ke P. Lerelerekang. Bisa oleh gubernur atau bupati langsung, bisa juga bawahannya yang ditunjuk. Sebab lokasinya jauh, harus ada persiapan matang untuk perencanaannya.
Setelah ada riset dan kunjungan di sana, Pemprov Sulawesi Barat bersama Pemkab Majene melakukan sosialisasi kepada masyarakat umum, baik kepada rakyat Sulawesi Barat maupun kepada masyarakat Indonesia. Sosialisasi bisa dilakukan dalam bentuk seminar yang menghadirkan pembicara yang berkaitan dengan pengelolaan P. Lerelerekang.
Seminar juga bisa bertujuan meminta masukan dari masyarakat atau pihak lain terhadap Pemkab Majene akan bentuk ideal pengelolaan P. Lerelerekang dan sekitarnya. Apakah sebagai daerah tambang lepas pantai atau dalam bentuk lain, misalnya situs budaya kemaritiman Mandar. Bahwa dulunya nenek moyang orang Mandar sering menangkap ikan di kawasan tersebut.
Exxon Masih Yakin Ada Minyak di Sulbar
Selasa, 08 Nov 2011
Oleh : Syakib
Satunegeri.com - Meski telah menghabiskan biaya 280 juta dolar AS Exxon Mobile belum kapok melakukan pengeboran minyak di Sulawesi Barat walau pengeboran tersebut belum berhasil menemukan minyak yang dicari.
"Exxon mobile masih akan melakukan pengeboran di perairan Sulbar" ungkap Gubernur sulbar, Anwar Adnan.
Anwar sendiri berharap Exxon dapat segera menemukan minyak yang dicari,sebab dengan begitu akan berpengaruh kepada peningkatan serta pertumbuhan ekonomi di Sulbar.
Exxon Mobile sebelumnya telah melakukan survei seismik dan pemboran tiga sumur mencari minyak diperairan di Sulbar, namun belum menemukan kandungan hidrokarbon di perairan Sulbar.
Larilarian Tetap Milik Kotabaru
BANJARMASINPOST.CO.ID, KOTABARU - Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kotabaru segera berkoordinasi dengan pemerintah pusat terkait keinginan pemerintah mengambil Pulau Larilarian, dengan alasan pulau itu masih sengketa antara Kotabaru dengan Provinsi Sulawesi Barat.
Ketua DPRD Kotabaru Alpidri Supian Noor menegaskan, tidak ada alasan pemerintah pusat mengambil Larilarian. Karena jelas berdasarkan peta Hindia-Belanda kalau pulau tersebut masuk wilayah Kotabaru.
Menurut Alpidri, pihaknya mendesak pemerintah daerah dan Pemrov Kalsel untuk meminta kepada pemerintah pusat, menerbitkan peraturan pemerintah (PP) tentang pulau itu.
"Tidak ada sengketa antara Sulawesi Barat dengan Kotabaru soal Larilarian. Dalam peta Hindia-Belanda sangat jelas, Larilarian masuk Kotabaru," katanya, Minggu (31/10/2010).
Sebelum mengambil Larilarian, kata Alpidri, pemerintah pusat seharusnya melihat ke otonomi daerah.
"Kapan lagi pusat memperhatikan daerah, kalau Larilarian diambil. Dulu benar saling klaim. Sekarang masuk Kotabaru. Salah alamat Dirjen Kelautan ingin mengambil. Kalau pulau itu masuk perairan Indonesia memang iya, tapi kalau dalam pemetaan Hindiabelanda pulau itu masuk Kotabaru," ujar Alpidri.
Sebelumnya Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kotabaru Talib mengatakan, pulau yang kaya sumber daya alam terutama migas itu akan diambil pemerintah pusat.
Alasan pemerintah pusat karena pulau tersebut masih menjadi sengketa dua provinsi yaitu Kalsel dengan Sulawesi Barat (Sulbar). Padahal, kata dia, seluas 2,8 hektare itu milik Kotabaru.
Tak ingin Pemkab Kotabaru kehilangan pulau itu, Bupati Kotabaru Irhami Ridjani bersama Gubernur Kalsel Rudy Ariffin, dalam waktu dekat bertolak ke Jakarta.
(sah)
Sumber: http://www.banjarmasinpost.co.id
Ketua DPRD Kotabaru Alpidri Supian Noor menegaskan, tidak ada alasan pemerintah pusat mengambil Larilarian. Karena jelas berdasarkan peta Hindia-Belanda kalau pulau tersebut masuk wilayah Kotabaru.
Menurut Alpidri, pihaknya mendesak pemerintah daerah dan Pemrov Kalsel untuk meminta kepada pemerintah pusat, menerbitkan peraturan pemerintah (PP) tentang pulau itu.
"Tidak ada sengketa antara Sulawesi Barat dengan Kotabaru soal Larilarian. Dalam peta Hindia-Belanda sangat jelas, Larilarian masuk Kotabaru," katanya, Minggu (31/10/2010).
Sebelum mengambil Larilarian, kata Alpidri, pemerintah pusat seharusnya melihat ke otonomi daerah.
"Kapan lagi pusat memperhatikan daerah, kalau Larilarian diambil. Dulu benar saling klaim. Sekarang masuk Kotabaru. Salah alamat Dirjen Kelautan ingin mengambil. Kalau pulau itu masuk perairan Indonesia memang iya, tapi kalau dalam pemetaan Hindiabelanda pulau itu masuk Kotabaru," ujar Alpidri.
Sebelumnya Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kotabaru Talib mengatakan, pulau yang kaya sumber daya alam terutama migas itu akan diambil pemerintah pusat.
Alasan pemerintah pusat karena pulau tersebut masih menjadi sengketa dua provinsi yaitu Kalsel dengan Sulawesi Barat (Sulbar). Padahal, kata dia, seluas 2,8 hektare itu milik Kotabaru.
Tak ingin Pemkab Kotabaru kehilangan pulau itu, Bupati Kotabaru Irhami Ridjani bersama Gubernur Kalsel Rudy Ariffin, dalam waktu dekat bertolak ke Jakarta.
(sah)
Sumber: http://www.banjarmasinpost.co.id
Kerja Keras Merebut Pulau Lari-Larian
(Berita Daerah - Kalimantan) Sabtu, 14 November 2009 - Sejak terdengar isu pulau Lerek-Lerekan diklaim masuk wilayah Sulawesi Barat, Pemerintah Kabupaten Kotabaru di Kalimantan Selatan mulai berusaha mempertahankan pulau itu sebagai bagian wilayah Kotabaru.
Pulau Larek-larekan, yang oleh Pemerintah Kabupaten Kota Baru disebut pulau Lari-Larian, terletak di koordinat LS 03 drajat 32`53" dan BT 117 drajat 27`14" dengan panjang sekitar 340 meter dengan lebar sekitar 146 meter total luas sekitar 3,5 hektare.
Pulau Larek-larekan menjadi sengketa, karena diperkirakan di pulau tersebut menyimpan cadangan gas sekitar 370 miliar kaki kubik (BCF).
Pemerintah Kabupaten Kotabaru merasa terusik karena mereka menganggap Lari-Larian telah memiliki legalitas jelas menjadi bagian wilayah Kotabaru. Dalam catatan administrasi Kabupaten Kotabaru, pulau itu merupakan bagian dari Desa Sekapung, Kecamatan Pulau Sebuku,
Bukan hanya bukti administrasi dalam negeri, bahkan negara-negara tetangga juga memiliki bukti administrasi bahwa Lari-Larian adalah bagian dari wilayah Kotabaru.
Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kotabaru, Akhmad Rivai memastikan bahwa pulau Lari-larian sudah jelas bagian dari wilayah Kotabaru.
"Jika ada daerah lain yang mengklaim Lari-larian itu masuk wilayah Sulawesi Barat itu tidak benar, karena berdasarkan bukti-bukti yang sah seperti Bakosurtanal bahwa pulau tersebut berada di wilayah Kotabaru," katanya.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kotabaru, H Muhammad Ansyar Nur, sependapat dengan Kadistamben bahwa Lari-larian termasuk bagian dari wilayah Kotabaru.
"Berdasarkan publikasi Adimiralty Notices to Mariners edisi mingguan ke 53 tanggal 31 Agustuss 2006 (diterbitkan UK-Hydrographic Office, Inggris) lari-larian termasuk dalam kelompok Pulau Laut Kalimantan," ujarnya.
Selain itu, Lari-larian juga merupakan daerah navigasi Administrasi Pelabuhan Kalimantan Selatan termasuk dalam peta Neraca Sumber Daya Alam Kabupaten Kotabaru terbitan Bakosurtanal.
Oleh karena itu pada 2006, bupati Kotabaru juga mengeluarkan SK Bupati no.471/2006 tentang penegasan pulau Lari-larian sebagai wilayah Kotabaru.
Menurut Ansyar, kronologis munculnya isu Lari-larian masuk wilayah Sulawesi Barat awalnya ketika tim pusat melakukan inventarisasi pulau-pulau kecil di Indonesia sekitar tahun 2008.
"Kebetulan tim melakukan inventerisasi pulau-pulau kecil di wilayah Sulawesi Barat lebih dahulu sebelum melakukan inventarisasi di wilayah Kalimantan, sehingga pulau tersebut diklaim masuk wilayah Sulbar," katanya.
Menurut dia, jika tim tersebut melakukan inventarisasi pulau-pulau kecil di Kotabaru terlebih dahulu, mungkin tim tetap akan memasukkan pulau Lari-larian bagian dari wilayah Kotabaru.
Namun demikian, lanjut Ansyar, lebih dahulu atau belakangan diinventarisasi, Pulau Lari-larian tetap menjadi bagian dari wilayah Kotabaru.
Terlebih kondisi di lapangan, Pulau Lari-Larian berjarak dengan Pulau Sebuku Kabupaten Kotabaru hanya sekitar 60 mil laut dengan Pulau Sambergelap Kotabaru sekitar 40 mil laut.
Sedangkan jarak Pulau Lari-Larian dengan wilayah daratan Sulawesi Barat sekitar 80 mil laut.
Ketua DPRD Kotabaru Alpidri Supian Noor, mengemukakan, berdasarkan hasil rapat antara Dirjen Perbatasan dan Pulau-Pulau Kecil dengan Bappeda dan Kabag Hukum Kabupaten Kotabaru serta Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, memutuskan pulau Lari-larian bagian dari wilayah Kotabaru.
"Seperti yang disampaikan oleh Dirjen Perbatasan dan Pulau-pulau kecil Astuti, bahwa Lari-larian merupakan bagian dari wilayah Kotabaru, kita tinggal menunggu peraturan pemerintah (PP)-nya saja," kata Alpidri.
Menurut kader Golkar tersebut, Kotabaru telah lega bahwa pekerjaan berat dan panjang kini tidak sia-sia, karena Pulau Lari-larian yang kini sedang dieksplorasi oleh PT Pearl Oil LTD perusahaan tambang migas bagian dari wilayah Kotabaru.
"Jika masalah ini telah selesai maka Pemkab Kotabaru tinggal koordinasi saja dengan pihak perusahaan bagaimana langkah selanjutnya," ujarnya.
Kabag Hukum Setda Kotabaru Taufik Rifani, mengatakan, semula Kotabaru hanya berharap keputusan pemerintah tentang status Pulau Lari-Larian ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri, namun ternyata pemerintah akan membuat peraturan pemerintah (PP).
"Peraturan pemerintah tentang Pulau Lari-Larian yang merupakan bagian dari wilayah Desa Sekapung Kecamatan Pulau Sebuku Kabupaten Kotabaru tersebut kedudukannya lebih tinggi dari SK Mendagri," ujarnya.
Ia mengatakan, berdasarkan daftar lampiran nama-nama pulau di Provinsi Kalimantan Selatan hasil dari verifikasi dan pemberian nama-nama pulau di Indonesia, bahwa pulau Lari-Larian berada pada urutan kedua dari 134 pulau di Kalsel yang akan diterbitkan PP-nya.
Dengan demikian, lanjut dia, sengketa antara pemerintah Provinsi Sulawesi barat dengan Kabupaten Kotabaru tentang pulau Lari-Larian harus segera diakhiri.
"Karena berdasarkan bukti administrasi yang dibuat oleh pemerintah Indonesia dan pengakuan dari Pemerintah Inggris dan Australia bahwa pulau Lari-Larian jelas masuk wilayah "Borneo" Kalimantan, yakni, Kalimantan Selatan, Kabupaten Kotabaru," katanya.
Membangun pos.
Pemerintah Kabupaten Kotabaru segera membangun pos/kantor pelayanan publik di Pulau Lari-Larian, sekitar 60 mil sebelah timur Desa Sekapung, Kecamatan Pulau Sebuku, Kabupaten Kotabaru.
"Selain pos pelayanan yang dibangun pemerintah daerah, Kantor Administrasi Pelabuhan Kalimantan Selatan juga berencana membangun mercusuar di Pulau Lari-Larian," kata Taufik.
Menurut dia, pembangunan infrastruktur di pulau tersebut bertujuan untuk mendukung aktivitas perusahaan tambang minyak dan gas (migas) PT Pearl Oil di Pulau Lari-Larian, karena tidak lama lagi perusahaan tersebut segera melakukan eksplotasi gas di sana.
Selain itu, pembangunan prasarana dan sarana itu juga dimaksudkan untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, khususnya para nelayan atau masyarakat yang kebetulan singgah di pulau yang luasnya sekitar 3,5 hektare tersebut.
"Siapa tahu ada nelayan yang terdampar atau masyarakat yang ingin menyelam di pulau tersebut, karena karang di sekitar Pulau Lari-Larian lebih indah dibandingkan dengan karang di Bunaken, Sulut," ujarnya.
Pemerintah Kabupaten Kotabaru beberapa tahun terakhir telah memasang alat navigasi di Pulau Lari-Larian.
Langkah tersebut merupakan bagian dari pembinaan pemerintah Kabupaten Kotabaru terhadap wilayahnya yang terdiri dari 110 pulau.
Memperoleh saham
Eksploitasi gas lepas pantai di Pulau Lari-Larian di Selat Sebuku Kabupaten Kotabaru sebanyak 5 ribu barel per hari (bph) akan dimulai pada awal 2010.
Gubernur Kalimantan Selatan (Kalsel) Rudy Ariffin, mengatakan rencana eksploitasi gas di wilayah Kalsel tersebut merupakan berkah yang sangat tidak terduga.
"Dulu saya merasa iri dengan Kalimantan Timur yang kaya akan sumber daya alam bukan hanya batu bara tetapi juga gas, ternyata kini Kalsel juga punya," kata dia.
Menurut dia, segera dieksploitasinya gas lepas pantai tersebut merupakan bukti bahwa Kalsel sangat kaya sumber daya alam.
Agar warga Kalsel bisa ikut menikmati kekayaan alam tersebut, gubernur akan menawarkan keikutsertaaan daerah dalam kepemilikan saham eksploitasi gas tersebut.
"Saya berharap dengan adanya saham minimal 10 persen, masyarakat bisa ikut menikmati hasilnya terutama untuk mendorong pembangunan," katanya.
Guna penyertaan saham itu, Pemprov Kalsel diperkirakan harus mengalokasikan dana sebesar Rp300 miliar lebih.
Dengan demikian, kata dia, akan dilakukan pembahasan serius dengan DPRD dan dinas instansi terkait untuk mendapatkan jalan terbaik.
Saat ini, Pearl Oil Ltd perusahaan pemenang tender pengeboran gas tersebut, sudah melakukan ekspos analis Dampak Lingkungan (Amdal) yakni penilaian kelayakan lingkungan dari kegiatan yang akan mereka lakukan.
Sebelumnya, Kepala Dinas Pertambangan Kalsel, Ali Mazanie mengatakan, minyak yang dibor itu akan disalurkan ke Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) untuk diproses lebih lanjut.
Kenapa di Kaltim, kata dia, karena lama eksploitasi terlalu pendek hanya sekitar 9 tahun sehingga tidak efisien bila harus membangun pabrik pengolahan.
Sementara itu, Ketua DPRD Kotabaru menambahkan, kepemilikan saham itu memang benar-benar harus diperjuangkan dengan sekuat tenaga, tidak hanya sekedar keinginan saja namun berusaha semaksimal mungkin agar mendapatkan sebagian saham melalui berbagai cara.
Umpamanya, lanjut dia, pemerintah bisa mengalokasikan dana cukup untuk membeli 10 persen saham dan lima persen bisa diperoleh dengan konpensasi memberikan kemudahan perijinan dan kebijakan masuknya perusahaan tersebut di Kotabaru.
"Untuk memiliki saham bukan murni harus dibeli, namun sebagian bisa diperoleh dari imbalan setelah memberikan kemudahan perijinan itu bisa dinilai dengan beberapa persen saham," katanya.
Sangat wajar jika Kotabaru menginginkan sebagian saham tersebut, mengingat selama ini daerah hanya mendapatkan akibat dari kerusakan alam yang isinya telah dieksploitasi.
"Oleh sebab itu, jangan hanya provinsi saja yang ingin memiliki saham PT Pearl Oil, tetapi Kotabaru juga harus mendapatkan 15 persen saham dari perusahaan tersebut," kata dia.
Untuk memperoleh saham partisipating interest (saham) Pemerintah Kabupaten Kotabaru dengan pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan harus membentuk badan usaha milik daerah (BUMD) syarat memperoleh `participation interst` (PI) saham dari perusahaan minyak dan gas PT Pearl Oil sebesar 10 persen.
Kabag Hukum Setda Kotabaru Taufik Rifani, mengatakan, PI 10 persen tersebut merupakan hak istimewa yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah melalui BUMD di wilayah kerja pertambangan (WKP)kontraktor kerja sama (KKS).
"Pemberian hak istimewa ini tertuang dalam peratuan pemerintah (PP) no.35 tahun 2004 tentang kegiatan usaha hulu migas pasal 34," katanya.
Dalam PP tersebut ditegaskan bahwa penawaran 10 persen `participation interest` harus dilakukan sejak disetujuinya `plant of development` (POD) rencana pengembangan lapangan pertama kali yang akan diproduksi dari suatu wilayah kerja pertambangan.
Ia menambahkan, terdapat tiga indikator pengelolaan minyak dan gas keterkaitan dengan kewenangan dan hak Kabupaten Kotabaru pada Blok Sebuku.
Pertama dana bagi hasil, kedua PI dan ketiga peluang pendukung bidang migas (Bidang logistik dan penyedia kegiatan teknis seluruh aktivitas pertambangan migas).
"Untuk dana bagi hasil telah dijelaskan dalam Undang-Undang no.33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah," katanya.
Taufik mengatakan, pemberian hak istimewa tersebut juga ditegaskan dalam Undang-Undang no.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah pasal 18 ayat 1, 2 dan 3.
Pasal 18 ayat 1 menyebutkan, bahwa daerah yang memiliki wilayah laut diberikan haknya untuk mengelola sumber daya di wilayah laut. Sedangkan ayat 2 menyebutkan, daerah yang mendapat bagi hasil atas sumber daya alam di bawah dasar dan atau di dasar laut sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya pada ayat 3 menyebutkan kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut sebagaimana dimaskudkan ayat 1 meliputi ekplorasi, eskploitasi, konversi dan pengolahan kekayaan laut, pengaturan administrasi dan pengaturan tata ruang.
Untuk mendapatkan PI 10 persen tersebut lanjut Taufik, harus dilakukan usaha pencarian investor atau pendana yang sanggup untuk membiayai pembelian saham 10 persen di Blok Sebuku.
Menurut dia, pemerintah daerah dalam hal ini Kabupaten Kotabaru dan Provinsi Kalimantan Selatan segera melaksanakan re-organisasi dan revitalisasi BMUD untuk mengakomodasi hak pengelolaan PI 10 persen.
(mn/MN/ant)
Sumber : http://beritadaerah.com/artikel.
Pulau Larek-larekan, yang oleh Pemerintah Kabupaten Kota Baru disebut pulau Lari-Larian, terletak di koordinat LS 03 drajat 32`53" dan BT 117 drajat 27`14" dengan panjang sekitar 340 meter dengan lebar sekitar 146 meter total luas sekitar 3,5 hektare.
Pulau Larek-larekan menjadi sengketa, karena diperkirakan di pulau tersebut menyimpan cadangan gas sekitar 370 miliar kaki kubik (BCF).
Pemerintah Kabupaten Kotabaru merasa terusik karena mereka menganggap Lari-Larian telah memiliki legalitas jelas menjadi bagian wilayah Kotabaru. Dalam catatan administrasi Kabupaten Kotabaru, pulau itu merupakan bagian dari Desa Sekapung, Kecamatan Pulau Sebuku,
Bukan hanya bukti administrasi dalam negeri, bahkan negara-negara tetangga juga memiliki bukti administrasi bahwa Lari-Larian adalah bagian dari wilayah Kotabaru.
Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kotabaru, Akhmad Rivai memastikan bahwa pulau Lari-larian sudah jelas bagian dari wilayah Kotabaru.
"Jika ada daerah lain yang mengklaim Lari-larian itu masuk wilayah Sulawesi Barat itu tidak benar, karena berdasarkan bukti-bukti yang sah seperti Bakosurtanal bahwa pulau tersebut berada di wilayah Kotabaru," katanya.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kotabaru, H Muhammad Ansyar Nur, sependapat dengan Kadistamben bahwa Lari-larian termasuk bagian dari wilayah Kotabaru.
"Berdasarkan publikasi Adimiralty Notices to Mariners edisi mingguan ke 53 tanggal 31 Agustuss 2006 (diterbitkan UK-Hydrographic Office, Inggris) lari-larian termasuk dalam kelompok Pulau Laut Kalimantan," ujarnya.
Selain itu, Lari-larian juga merupakan daerah navigasi Administrasi Pelabuhan Kalimantan Selatan termasuk dalam peta Neraca Sumber Daya Alam Kabupaten Kotabaru terbitan Bakosurtanal.
Oleh karena itu pada 2006, bupati Kotabaru juga mengeluarkan SK Bupati no.471/2006 tentang penegasan pulau Lari-larian sebagai wilayah Kotabaru.
Menurut Ansyar, kronologis munculnya isu Lari-larian masuk wilayah Sulawesi Barat awalnya ketika tim pusat melakukan inventarisasi pulau-pulau kecil di Indonesia sekitar tahun 2008.
"Kebetulan tim melakukan inventerisasi pulau-pulau kecil di wilayah Sulawesi Barat lebih dahulu sebelum melakukan inventarisasi di wilayah Kalimantan, sehingga pulau tersebut diklaim masuk wilayah Sulbar," katanya.
Menurut dia, jika tim tersebut melakukan inventarisasi pulau-pulau kecil di Kotabaru terlebih dahulu, mungkin tim tetap akan memasukkan pulau Lari-larian bagian dari wilayah Kotabaru.
Namun demikian, lanjut Ansyar, lebih dahulu atau belakangan diinventarisasi, Pulau Lari-larian tetap menjadi bagian dari wilayah Kotabaru.
Terlebih kondisi di lapangan, Pulau Lari-Larian berjarak dengan Pulau Sebuku Kabupaten Kotabaru hanya sekitar 60 mil laut dengan Pulau Sambergelap Kotabaru sekitar 40 mil laut.
Sedangkan jarak Pulau Lari-Larian dengan wilayah daratan Sulawesi Barat sekitar 80 mil laut.
Ketua DPRD Kotabaru Alpidri Supian Noor, mengemukakan, berdasarkan hasil rapat antara Dirjen Perbatasan dan Pulau-Pulau Kecil dengan Bappeda dan Kabag Hukum Kabupaten Kotabaru serta Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, memutuskan pulau Lari-larian bagian dari wilayah Kotabaru.
"Seperti yang disampaikan oleh Dirjen Perbatasan dan Pulau-pulau kecil Astuti, bahwa Lari-larian merupakan bagian dari wilayah Kotabaru, kita tinggal menunggu peraturan pemerintah (PP)-nya saja," kata Alpidri.
Menurut kader Golkar tersebut, Kotabaru telah lega bahwa pekerjaan berat dan panjang kini tidak sia-sia, karena Pulau Lari-larian yang kini sedang dieksplorasi oleh PT Pearl Oil LTD perusahaan tambang migas bagian dari wilayah Kotabaru.
"Jika masalah ini telah selesai maka Pemkab Kotabaru tinggal koordinasi saja dengan pihak perusahaan bagaimana langkah selanjutnya," ujarnya.
Kabag Hukum Setda Kotabaru Taufik Rifani, mengatakan, semula Kotabaru hanya berharap keputusan pemerintah tentang status Pulau Lari-Larian ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri, namun ternyata pemerintah akan membuat peraturan pemerintah (PP).
"Peraturan pemerintah tentang Pulau Lari-Larian yang merupakan bagian dari wilayah Desa Sekapung Kecamatan Pulau Sebuku Kabupaten Kotabaru tersebut kedudukannya lebih tinggi dari SK Mendagri," ujarnya.
Ia mengatakan, berdasarkan daftar lampiran nama-nama pulau di Provinsi Kalimantan Selatan hasil dari verifikasi dan pemberian nama-nama pulau di Indonesia, bahwa pulau Lari-Larian berada pada urutan kedua dari 134 pulau di Kalsel yang akan diterbitkan PP-nya.
Dengan demikian, lanjut dia, sengketa antara pemerintah Provinsi Sulawesi barat dengan Kabupaten Kotabaru tentang pulau Lari-Larian harus segera diakhiri.
"Karena berdasarkan bukti administrasi yang dibuat oleh pemerintah Indonesia dan pengakuan dari Pemerintah Inggris dan Australia bahwa pulau Lari-Larian jelas masuk wilayah "Borneo" Kalimantan, yakni, Kalimantan Selatan, Kabupaten Kotabaru," katanya.
Membangun pos.
Pemerintah Kabupaten Kotabaru segera membangun pos/kantor pelayanan publik di Pulau Lari-Larian, sekitar 60 mil sebelah timur Desa Sekapung, Kecamatan Pulau Sebuku, Kabupaten Kotabaru.
"Selain pos pelayanan yang dibangun pemerintah daerah, Kantor Administrasi Pelabuhan Kalimantan Selatan juga berencana membangun mercusuar di Pulau Lari-Larian," kata Taufik.
Menurut dia, pembangunan infrastruktur di pulau tersebut bertujuan untuk mendukung aktivitas perusahaan tambang minyak dan gas (migas) PT Pearl Oil di Pulau Lari-Larian, karena tidak lama lagi perusahaan tersebut segera melakukan eksplotasi gas di sana.
Selain itu, pembangunan prasarana dan sarana itu juga dimaksudkan untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, khususnya para nelayan atau masyarakat yang kebetulan singgah di pulau yang luasnya sekitar 3,5 hektare tersebut.
"Siapa tahu ada nelayan yang terdampar atau masyarakat yang ingin menyelam di pulau tersebut, karena karang di sekitar Pulau Lari-Larian lebih indah dibandingkan dengan karang di Bunaken, Sulut," ujarnya.
Pemerintah Kabupaten Kotabaru beberapa tahun terakhir telah memasang alat navigasi di Pulau Lari-Larian.
Langkah tersebut merupakan bagian dari pembinaan pemerintah Kabupaten Kotabaru terhadap wilayahnya yang terdiri dari 110 pulau.
Memperoleh saham
Eksploitasi gas lepas pantai di Pulau Lari-Larian di Selat Sebuku Kabupaten Kotabaru sebanyak 5 ribu barel per hari (bph) akan dimulai pada awal 2010.
Gubernur Kalimantan Selatan (Kalsel) Rudy Ariffin, mengatakan rencana eksploitasi gas di wilayah Kalsel tersebut merupakan berkah yang sangat tidak terduga.
"Dulu saya merasa iri dengan Kalimantan Timur yang kaya akan sumber daya alam bukan hanya batu bara tetapi juga gas, ternyata kini Kalsel juga punya," kata dia.
Menurut dia, segera dieksploitasinya gas lepas pantai tersebut merupakan bukti bahwa Kalsel sangat kaya sumber daya alam.
Agar warga Kalsel bisa ikut menikmati kekayaan alam tersebut, gubernur akan menawarkan keikutsertaaan daerah dalam kepemilikan saham eksploitasi gas tersebut.
"Saya berharap dengan adanya saham minimal 10 persen, masyarakat bisa ikut menikmati hasilnya terutama untuk mendorong pembangunan," katanya.
Guna penyertaan saham itu, Pemprov Kalsel diperkirakan harus mengalokasikan dana sebesar Rp300 miliar lebih.
Dengan demikian, kata dia, akan dilakukan pembahasan serius dengan DPRD dan dinas instansi terkait untuk mendapatkan jalan terbaik.
Saat ini, Pearl Oil Ltd perusahaan pemenang tender pengeboran gas tersebut, sudah melakukan ekspos analis Dampak Lingkungan (Amdal) yakni penilaian kelayakan lingkungan dari kegiatan yang akan mereka lakukan.
Sebelumnya, Kepala Dinas Pertambangan Kalsel, Ali Mazanie mengatakan, minyak yang dibor itu akan disalurkan ke Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) untuk diproses lebih lanjut.
Kenapa di Kaltim, kata dia, karena lama eksploitasi terlalu pendek hanya sekitar 9 tahun sehingga tidak efisien bila harus membangun pabrik pengolahan.
Sementara itu, Ketua DPRD Kotabaru menambahkan, kepemilikan saham itu memang benar-benar harus diperjuangkan dengan sekuat tenaga, tidak hanya sekedar keinginan saja namun berusaha semaksimal mungkin agar mendapatkan sebagian saham melalui berbagai cara.
Umpamanya, lanjut dia, pemerintah bisa mengalokasikan dana cukup untuk membeli 10 persen saham dan lima persen bisa diperoleh dengan konpensasi memberikan kemudahan perijinan dan kebijakan masuknya perusahaan tersebut di Kotabaru.
"Untuk memiliki saham bukan murni harus dibeli, namun sebagian bisa diperoleh dari imbalan setelah memberikan kemudahan perijinan itu bisa dinilai dengan beberapa persen saham," katanya.
Sangat wajar jika Kotabaru menginginkan sebagian saham tersebut, mengingat selama ini daerah hanya mendapatkan akibat dari kerusakan alam yang isinya telah dieksploitasi.
"Oleh sebab itu, jangan hanya provinsi saja yang ingin memiliki saham PT Pearl Oil, tetapi Kotabaru juga harus mendapatkan 15 persen saham dari perusahaan tersebut," kata dia.
Untuk memperoleh saham partisipating interest (saham) Pemerintah Kabupaten Kotabaru dengan pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan harus membentuk badan usaha milik daerah (BUMD) syarat memperoleh `participation interst` (PI) saham dari perusahaan minyak dan gas PT Pearl Oil sebesar 10 persen.
Kabag Hukum Setda Kotabaru Taufik Rifani, mengatakan, PI 10 persen tersebut merupakan hak istimewa yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah melalui BUMD di wilayah kerja pertambangan (WKP)kontraktor kerja sama (KKS).
"Pemberian hak istimewa ini tertuang dalam peratuan pemerintah (PP) no.35 tahun 2004 tentang kegiatan usaha hulu migas pasal 34," katanya.
Dalam PP tersebut ditegaskan bahwa penawaran 10 persen `participation interest` harus dilakukan sejak disetujuinya `plant of development` (POD) rencana pengembangan lapangan pertama kali yang akan diproduksi dari suatu wilayah kerja pertambangan.
Ia menambahkan, terdapat tiga indikator pengelolaan minyak dan gas keterkaitan dengan kewenangan dan hak Kabupaten Kotabaru pada Blok Sebuku.
Pertama dana bagi hasil, kedua PI dan ketiga peluang pendukung bidang migas (Bidang logistik dan penyedia kegiatan teknis seluruh aktivitas pertambangan migas).
"Untuk dana bagi hasil telah dijelaskan dalam Undang-Undang no.33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah," katanya.
Taufik mengatakan, pemberian hak istimewa tersebut juga ditegaskan dalam Undang-Undang no.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah pasal 18 ayat 1, 2 dan 3.
Pasal 18 ayat 1 menyebutkan, bahwa daerah yang memiliki wilayah laut diberikan haknya untuk mengelola sumber daya di wilayah laut. Sedangkan ayat 2 menyebutkan, daerah yang mendapat bagi hasil atas sumber daya alam di bawah dasar dan atau di dasar laut sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya pada ayat 3 menyebutkan kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut sebagaimana dimaskudkan ayat 1 meliputi ekplorasi, eskploitasi, konversi dan pengolahan kekayaan laut, pengaturan administrasi dan pengaturan tata ruang.
Untuk mendapatkan PI 10 persen tersebut lanjut Taufik, harus dilakukan usaha pencarian investor atau pendana yang sanggup untuk membiayai pembelian saham 10 persen di Blok Sebuku.
Menurut dia, pemerintah daerah dalam hal ini Kabupaten Kotabaru dan Provinsi Kalimantan Selatan segera melaksanakan re-organisasi dan revitalisasi BMUD untuk mengakomodasi hak pengelolaan PI 10 persen.
(mn/MN/ant)
Sumber : http://beritadaerah.com/artikel.
Distamben Pastikan Pulau Lari-Larian Milik Kotabaru
(Berita Daerah - Kalimantan) - Kepala Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) Akhmad Rivai memastikan bahwa pulau Lari-larian, yang memiliki deposit minyak dan gas bumi, berada di wilayah Kotabaru.
"Jika ada daerah lain yang mengklaim Lari-larian itu masuk wilayah Sulawesi Barat itu tidak benar, karena berdasarkan bukti-bukti pulau tersebut berada di wilayah Kotabaru," kata Rivai di Kotabaru, Senin.
Rivai menolak tegas bahwa Lari-larian masuk ke wilayah Sulawesi Barat karena berdasarkan Bakosurtanal pulau tersebut telah jelas menjadi bagian wilayah Kotabaru.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kotabaru, H. Muhammad Anshar Nur, sependapat dengan Kadistamben bahwa Lari-larian termasuk bagian wilayah Kotabaru.
"Berdasarkan publikasi Adimiralty Notices to Mariners edisi mingguan ke 53 tanggal 31 Agustuss 2006 (diterbitkan UK-Hydrographic Office, Inggris) lari-larian termasuk dalam kelompok Pulau Laut dan Pulau kalimantan," ujarnya.
Selain itu, Lari-larian juga merupakan daerah navigasi Administrasi Pelabuhan Kalimantan Selatan termasuk peta Neraca Sumber Daya Alam Kabupaten Kotabaru terbitan Bakosurtanal.
Atas dasar tersebut, lanjut Ansyar, hingga saat ini Pemerintah Kabupaten Kotabaru selalu melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap wilayah tersebut.
Seperti yang tertuang dalam SK Bupati no.471/2006 tentang penegasan pulau Lari-larian sebagai wilayah Kotabaru.
Menurut Ansyar, kronologis munculnya isu Lari-larian masuk wilayah Sulawesi Barat awalnya ketika tim pusat melakukan inventarisasi pulau-pulau kecil sekitar tahun 2008.
"Kebetulan saja tim melakukan inventerisasi pulau-pulau kecil di wilayah Sulawesi Barat lebih dahulu, sehingga pulau itu masuk wilayah Sulbar," katanya.
Akan tetapi jika tim tersebut melakukan inventarisasi pulau-pulau kecil di Kotabaru terlebih dahulu, mungkin tim tetap akan memasukkan pulau Lari-larian bagian dari wilayah Kotabaru.
"Lebih dahulu atau belakangan diinventarisasi, Pulau Lari-larian tetap menjadi bagian dari wilayah Kotabaru," tegasnya.
Sementara itu, Pulau Lari-larian yang memiliki panjang sekitar 340 meter dengan lebar sekitar 146 meter atau total luas 3,5 hektare tersebut terletak di koordinat LS 03 drajat 32`53" dan BT 117 drajat 27`14".
Pulau tersebut berjarak dengan Pulau Sebuku Kabupaten Kotabaru sekitar 60 mil laut dengan Pulau Sambergelap Kotabaru sekitar 40 mil laut dan dengan wilayah Sulawesi Barat sekitar 80 mil laut.
Sebelumnya, Gubernur Kalimantan Selatan H Rudy Arifin, mengatakan, eksploitasi gas lepas pantai di Pulau Lari-larian Selat Sebuku sebanyak 5 ribu barel per hari (bph) akan dimulai pada awal 2010.
Perusahaan PT Pearl Oil LTD memberikan informasi bahwa gas lepas pantai di Pulau Sebuku siap dieksploitasi.
"Dulu saya merasa iri dengan Kalimantan Timur yang kaya akan sumber daya alam bukan hanya batu bara tetapi juga gas, ternyata kini Kalsel juga punya," kata dia.
Agar warga Kalsel bisa ikut menikmati kekayaan alam tersebut, gubernur akan menawarkan keikutsertaaan daerah dalam kepemilikan saham eksploitasi gas minimal 10 persen.
Guna penyertaan saham itu, Pemprov Kalsel diperkirakan harus mengalokasikan dana sebesar Rp300 miliar lebih.
Dengan demikian, kata dia, akan dilakukan pembahasan serius dengan DPRD dan dinas instansi terkait untuk mendapatkan jalan terbaik.
Saat ini, Pearl Oil Ltd perusahaan pemenang tender pengeboran gas di blok Sebuku di wilayah Pulau Lari-larian, sudah melakukan ekspos analis Dampak Lingkungan (Amdal) yakni penilaian kelayakan lingkungan dari kegiatan yang akan mereka lakukan.
(mn/MN/ant)
Sumber: http://beritadaerah.com/news.php?pg=berita_kalimantan&id=12968&sub=column&page=3
Langkah Pertahankan Pulau Larilarian
Oleh: Syaipul Adhar ME, Pemerhati kebijakan ekonomi dan public
Banjarmasinpost.co.id - Sabtu, 29 Oktober 2011
Sejak Era Otda digulirkan, salah satu potensi konflik yang sering kali muncul adalah persoalan tapal batas antar-kabupaten/ kota dan provinsi di Indonesia. Dengan perspektif dan kepentingan berbeda pula.
Begitu pula di Kalimantan Selatan, pascakeluarnya Permendagri No 43 Tahun 2011 tentang Wilayah Administrasi pulau Lerek-lerekan menjadi bagian wilayah Kab Majene Sulawesi Barat. Bagi Kalsel Pulau Lerek-lerekan diyakini sebagai bagian administrasi Kab Pulau Laut (Kotabaru) yang bernama Pulau Larilarian.
Selain implikasi hukum, Permendagri no 43/2011 dikhawatirkan menjadi trigger (pemicu) konflik kedaerahan yang lebih besar ketika isu tata ruang kewilayahan dibelokkan menjadi ego sektoral dan harga diri sempit. Sah-sah saja jika dalam tingkatan elit, Kemendagri dianggap arogan dan berpihak dalam memutuskan. Tetapi bagi akar rumput permasalahan ini biasa saja.
Sebagai bagian NKRI, penggunaan soft diplomacy tentu lebih diutamakan dibandingkan hard diplomacy. Dalam kasus yang sama, produk hukum Permendagri bukan tanpa noda dan sering blunder. Permendagri No 44 Tahun 2011 yang menetapkan Pulau Berhala masuk wilayah Provinsi Jambi, juga digugat kepengadilan oleh Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Inilah yang bisa kita jadikan jurisprudensi.
Terhadap polemik Pulau Lari-larian, bisa dilakukan rekonstruksi dan verifikasi permasalahan secara garis besar kedalam dua perspektif. Perspektif ekonomi dan perspektif administratif produk hukum, tata ruang dan kewilayahan.
Secara ekonomi, kepentingan Pulau Larilarian adalah potensi SDA yang melimpah. Dalam website resmi BP MIGAS dan Bappeda kotabaru, disebutkan Pulau Larilarian adalah bagian Blok Sebuku yang mengandung gas kering (dry gas) dengan komposisi 97-98 persen metana, 0,5-0,75 mol persen CO2, dan 0,2-0,32 mol persen nitrogen dan 0 persen H2S. PT.
Pearl Oil Ltd (PMA) yang bermarkas di Australia disebutkan akan beroperasi di Blok Sebuku dengan kapasitas 5000 barel perhari. Dan, kita berharap dapat keuntungan dari penyertaan participating interest (PI) 10 persen saham.
Dalam perspektif produk hukum, tata ruang dan kewilayahan keputusan Kemendagri melalui Permendagri sudah berkekuatan hukum tetap. Jelas segala upaya penekanan melalui demo, protes dan musyawarah akan sia- sia. Poinnya jelas, segala produk hukum harus dilawan dengan saluran hukum pula.
Minimal ada tiga langkah yang bisa dilakukan terhadap perspektif di atas:
Pertama, menyiapkan dokumen pembanding yang kuat, semua produk dan ketetapan hukum yang berkaitan dengan Pulau Larilarian. Dokumen RTRW Provinsi- Kotabaru, RPJPD/RPJMD, Perda/ Perbup/ SK, UU Pembentukan Kab. Pulau Laut, Rencana tata ruang wilayah pesisir dan pulau terluar dll yang menguatkan keberadaan lari-larian. Mari perang data, bukan perang kata- kata.
Kedua, Melakukan judicial review (uji materi) atas produk hukum Permendagri dan mendaftarkan gugatan melalui Mahkamah Agung RI. Jika dasar keputusan Kemendagri adalah UU No 26 tahun 2004 tentang Pembentukan Prov Sulawesi Barat (Sulbar) dan Peta Lingkungan Laut Nasional No 20, maka secara logika UU Pembentukan Prov Kalsel/ Kab Kotabaru lebih kuat dan terdahulu.
Ketiga, Mengumpulkan seluruh dokumentasi tentang Pulau Larilarian termasuk kontrak kerja sama (KKS/KPS) Hulu Migas dengan BP MIGAS, pemda dan operator. Jikalau ada, tentu akan menjadi rujukan yang kuat bagi Kalsel. Investor akan menggugat pemerintah Indonesia melalui Kemendagri kepada badan Arbitrase Internasional menyangkut Permendagri yang berpotensi menggagalkan kerjasama Migas tersebut.
Setelah upaya hukum dilaksanakan, strategi kepentingan ekonomi juga disiapkan. Dengan asumsi Kalsel kalah sekalipun dalam gugatan Permendagri di atas, keuntungan ekonomi tidak akan ikut lari seperti namanya.
Strategi kebijakan ekonomi yang bisa dilakukan: Pertama, mengatur kontrak kerjasama di Blok Sebuku bersama Sulbar dengan prinsip win win solution. Penekanan kewajiban operator asing pemilik IUP/IUPK atas PI 10 persen saham kepada pemda, BUMD, bisa ditingkatkan hingga 20 persen berdasarkan mekanisme divestasi yang diatur dalam Permen ESDM No 12 tahun 2009 dan UU Minerba No 4 Tahun 2009 Pasal 112 Ayat 1.
Kedua, membentuk dan melibatkan partisipasi BUMD dalam pengelolaan kontrak production sharing atau DMO seperti pada pengelolaan Blok Madura, Blok Mahakam dan Gas Alam Wajo, berdasarkan UU No 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas).
Ketiga, membangun infrastruktur dan iklim yang mendukung kemudahan berinvestasi di Kab Kotabaru. Keuntungan secara ekonomi bukanlah berpatokan pada hilangnya 10 persen saham PI, tetapi pada multiplayer effect yang tercipta akibat beroperasinya Blok Sebuku. Dengan jarak yang lebih dekat dan banyaknya kemudahan dalam berinvestasi, operator pasti akan memilih berkegiatan serta membuka kantor perwakilan di sini.
Setelah melakukan verifikasi langkah-langkah di atas, kata kunci yang wajib kita jalankan adalah rencana aksi dan pelaksanaan. Konflik Pulau Larilarian setidaknya mengingatkan kita betapa pentingnya dokumentasi produk hukum dan perencanaan tata ruang wilayah terluar pulau serta pesisir. Seringkali perencanaan maritim kita terlupakan, terutama Kab Kotabaru yang terdiri dari banyak pulau.
Harus diakui, kelemahan dalam diplomasi dan lobi kita tidak didukung dengan sistem dokumentasi produk kebijakan daerah dan hukum yang seadanya. Penggunaan digital library, data digital dan pemanfaatan e-government belum menjadi prioritas perhatian pemda.
Rencana memakai Wikipedia sebagai dokumen Pulau Larilarian oleh tim Pemprov Kalsel, sejatinya adalah komitmen kepada diri sendiri akan pentingnya teknologi informasi bagi birokrasi. Pesan presiden atas kedaulatan SDA sudah sangat jelas, Blok Sebuku adalah bagian itu.
red: DhenySumber: Banjarmasin Post edisi cetak
http://banjarmasin.tribunnews.com/read/artikel/1970/1/1/151601/Langkah-Pertahankan-Pulau-Larilarian
Banjarmasinpost.co.id - Sabtu, 29 Oktober 2011
Sejak Era Otda digulirkan, salah satu potensi konflik yang sering kali muncul adalah persoalan tapal batas antar-kabupaten/ kota dan provinsi di Indonesia. Dengan perspektif dan kepentingan berbeda pula.
Begitu pula di Kalimantan Selatan, pascakeluarnya Permendagri No 43 Tahun 2011 tentang Wilayah Administrasi pulau Lerek-lerekan menjadi bagian wilayah Kab Majene Sulawesi Barat. Bagi Kalsel Pulau Lerek-lerekan diyakini sebagai bagian administrasi Kab Pulau Laut (Kotabaru) yang bernama Pulau Larilarian.
Selain implikasi hukum, Permendagri no 43/2011 dikhawatirkan menjadi trigger (pemicu) konflik kedaerahan yang lebih besar ketika isu tata ruang kewilayahan dibelokkan menjadi ego sektoral dan harga diri sempit. Sah-sah saja jika dalam tingkatan elit, Kemendagri dianggap arogan dan berpihak dalam memutuskan. Tetapi bagi akar rumput permasalahan ini biasa saja.
Sebagai bagian NKRI, penggunaan soft diplomacy tentu lebih diutamakan dibandingkan hard diplomacy. Dalam kasus yang sama, produk hukum Permendagri bukan tanpa noda dan sering blunder. Permendagri No 44 Tahun 2011 yang menetapkan Pulau Berhala masuk wilayah Provinsi Jambi, juga digugat kepengadilan oleh Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Inilah yang bisa kita jadikan jurisprudensi.
Terhadap polemik Pulau Lari-larian, bisa dilakukan rekonstruksi dan verifikasi permasalahan secara garis besar kedalam dua perspektif. Perspektif ekonomi dan perspektif administratif produk hukum, tata ruang dan kewilayahan.
Secara ekonomi, kepentingan Pulau Larilarian adalah potensi SDA yang melimpah. Dalam website resmi BP MIGAS dan Bappeda kotabaru, disebutkan Pulau Larilarian adalah bagian Blok Sebuku yang mengandung gas kering (dry gas) dengan komposisi 97-98 persen metana, 0,5-0,75 mol persen CO2, dan 0,2-0,32 mol persen nitrogen dan 0 persen H2S. PT.
Pearl Oil Ltd (PMA) yang bermarkas di Australia disebutkan akan beroperasi di Blok Sebuku dengan kapasitas 5000 barel perhari. Dan, kita berharap dapat keuntungan dari penyertaan participating interest (PI) 10 persen saham.
Dalam perspektif produk hukum, tata ruang dan kewilayahan keputusan Kemendagri melalui Permendagri sudah berkekuatan hukum tetap. Jelas segala upaya penekanan melalui demo, protes dan musyawarah akan sia- sia. Poinnya jelas, segala produk hukum harus dilawan dengan saluran hukum pula.
Minimal ada tiga langkah yang bisa dilakukan terhadap perspektif di atas:
Pertama, menyiapkan dokumen pembanding yang kuat, semua produk dan ketetapan hukum yang berkaitan dengan Pulau Larilarian. Dokumen RTRW Provinsi- Kotabaru, RPJPD/RPJMD, Perda/ Perbup/ SK, UU Pembentukan Kab. Pulau Laut, Rencana tata ruang wilayah pesisir dan pulau terluar dll yang menguatkan keberadaan lari-larian. Mari perang data, bukan perang kata- kata.
Kedua, Melakukan judicial review (uji materi) atas produk hukum Permendagri dan mendaftarkan gugatan melalui Mahkamah Agung RI. Jika dasar keputusan Kemendagri adalah UU No 26 tahun 2004 tentang Pembentukan Prov Sulawesi Barat (Sulbar) dan Peta Lingkungan Laut Nasional No 20, maka secara logika UU Pembentukan Prov Kalsel/ Kab Kotabaru lebih kuat dan terdahulu.
Ketiga, Mengumpulkan seluruh dokumentasi tentang Pulau Larilarian termasuk kontrak kerja sama (KKS/KPS) Hulu Migas dengan BP MIGAS, pemda dan operator. Jikalau ada, tentu akan menjadi rujukan yang kuat bagi Kalsel. Investor akan menggugat pemerintah Indonesia melalui Kemendagri kepada badan Arbitrase Internasional menyangkut Permendagri yang berpotensi menggagalkan kerjasama Migas tersebut.
Setelah upaya hukum dilaksanakan, strategi kepentingan ekonomi juga disiapkan. Dengan asumsi Kalsel kalah sekalipun dalam gugatan Permendagri di atas, keuntungan ekonomi tidak akan ikut lari seperti namanya.
Strategi kebijakan ekonomi yang bisa dilakukan: Pertama, mengatur kontrak kerjasama di Blok Sebuku bersama Sulbar dengan prinsip win win solution. Penekanan kewajiban operator asing pemilik IUP/IUPK atas PI 10 persen saham kepada pemda, BUMD, bisa ditingkatkan hingga 20 persen berdasarkan mekanisme divestasi yang diatur dalam Permen ESDM No 12 tahun 2009 dan UU Minerba No 4 Tahun 2009 Pasal 112 Ayat 1.
Kedua, membentuk dan melibatkan partisipasi BUMD dalam pengelolaan kontrak production sharing atau DMO seperti pada pengelolaan Blok Madura, Blok Mahakam dan Gas Alam Wajo, berdasarkan UU No 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas).
Ketiga, membangun infrastruktur dan iklim yang mendukung kemudahan berinvestasi di Kab Kotabaru. Keuntungan secara ekonomi bukanlah berpatokan pada hilangnya 10 persen saham PI, tetapi pada multiplayer effect yang tercipta akibat beroperasinya Blok Sebuku. Dengan jarak yang lebih dekat dan banyaknya kemudahan dalam berinvestasi, operator pasti akan memilih berkegiatan serta membuka kantor perwakilan di sini.
Setelah melakukan verifikasi langkah-langkah di atas, kata kunci yang wajib kita jalankan adalah rencana aksi dan pelaksanaan. Konflik Pulau Larilarian setidaknya mengingatkan kita betapa pentingnya dokumentasi produk hukum dan perencanaan tata ruang wilayah terluar pulau serta pesisir. Seringkali perencanaan maritim kita terlupakan, terutama Kab Kotabaru yang terdiri dari banyak pulau.
Harus diakui, kelemahan dalam diplomasi dan lobi kita tidak didukung dengan sistem dokumentasi produk kebijakan daerah dan hukum yang seadanya. Penggunaan digital library, data digital dan pemanfaatan e-government belum menjadi prioritas perhatian pemda.
Rencana memakai Wikipedia sebagai dokumen Pulau Larilarian oleh tim Pemprov Kalsel, sejatinya adalah komitmen kepada diri sendiri akan pentingnya teknologi informasi bagi birokrasi. Pesan presiden atas kedaulatan SDA sudah sangat jelas, Blok Sebuku adalah bagian itu.
red: DhenySumber: Banjarmasin Post edisi cetak
http://banjarmasin.tribunnews.com/read/artikel/1970/1/1/151601/Langkah-Pertahankan-Pulau-Larilarian
Wednesday, November 9, 2011
Gubernur : Pulau Lari-Lariang Milik Sulbar
Senin, 07 November 2011
Mamuju (ANTARA News) - Gubernur Sulawesi Barat Anwar Adnan Saleh menilai bahwa Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan dianggap berusaha mencaplok pulau Lari-Lariang di Kabupaten Majene yang jelas-jelas milik Sulbar.
"Kalsel tampaknya berusaha mencaplok wilayah Sulbar dengan mengklaim dan berupaya merebut pulau Lari-Lariang yang masuk dalam wilayah Provinsi Sulbar," kata Gubernur Sulbar Anwar Adnan Saleh di Mamuju, Senin.
Ia mengatakan, Pulau Lari-Lariang merupakan salah satu pulau yang berada di perairan Sulawesi dan masuk dalam wilayah Kabupaten Majene, Provinsi Sulawesi Barat.
Menurut dia, Pulau Lari-Lariang masuk dalam wilayah Kabupaten Majene sesuai pengakuan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi.
Oleh karena, katanya, klaim Pemprov Kalsel bahwa Pulau Lari-Lariang masuk dalam wilayah Pulau Sebuku di Kabupaten Kotabaru, Provinsi Kalsel tidak beralasan karena tidak melalui legitimasi aturan yang jelas.
"Jadi pemerintah di Provinsi Kalsel sebaiknya menghentikan upayanya untuk merebut pulau Lari-Lariang yang sudah sangat jelas masuk dalam wilayah Sulbar sesuai aturan yang ada," katanya.
Ia juga meminta masyarakat Kota Baru berhenti berdemonstrasi untuk merebut pulau Lari-Lariang karena masyarakat Sulbar juga bisa melakukan hal serupa untuk mempertahankan pulau Lari-Lariang yang menjadi wilayahnya.
"Masyarakat Sulbar akan mempertahankan Pulau Lari-Lariang agar tidak direbut Kalsel karena Pulau Lari-Lariang adalah milik Sulbar," katanya.
Gubernur Sulbar Anwar Adnan menuding ada upaya dari pemerintah di Kalsel merebut Pulau Lari-Lariang karena daerah itu memiliki potensi gas alam yang besar tetapi pemerintah di Sulbar juga tidak akan rela dan akan mempertahankannya karena itu wilayahnya.
"Masyarakat Sulbar tidak akan rela wilayahnya direbut daerah lain apalagi posisi wilayahnya itu sangat jelas berada di wilayah Sulbar," katanya. (T.KR-MFH/R007)
COPYRIGHT © 2011
http://www.antara-sulawesiselatan.com/berita/33626/gubernur--pulau-lari-lariang-milik-sulbar
Tuesday, November 8, 2011
DPD-RI Fasilitasi Kalsel-Sulbar Bahas Larilarian
18 Oktober 2011
Kalimantan Selatan-BANJARMASIN, (kalimantan-news) - Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) Komite II akan memfasilitasi pertemuan antara Kementerian Dalam Negeri, Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Barat terkait sengketa pulau Larilarian.
Hal tersebut disampaikan anggota Komite II yang membidangi sumber daya alam DPD-RI Farid Hasan Aman via telepon dari Yogyakarta kepada ANTARA Kalsel, Selasa.
Pulau larilarian atau Pulau Lerek-Lerekan disengketakan karena berlokasi di perbatasan antara perairan Kalimantan Selatan dan Sulawesi Barat yang kini oleh Kementerian Dalam Negeri ditetapkan sebagai wilayah Sulawesi Barat.
Menurut Farid, penyelesaian masalah sengketa perbatasan tidak bisa dilakukan oleh satu pihak saja, tetapi masing-masing daerah yang bersengketa harus duduk bersama untuk membicarakan dan mencarikan jalan keluar.
"Dalam waktu dekat kita akan bahas masalah ini dan memfasilitasi masing-masing pihak untuk bertemu," katanya.
Selain itu, tambah dia, pihaknya juga akan mengumpulkan fakta-fakta dan bukti yang dimiliki oleh masing-masing daerah serta alasan ditetapkannya pulau Lari-Larian atau Lerek-Lerakan ke Sulawesi Barat.
Pernyataan Farid tersebut menanggapi tentang kekecewaan warga Kalsel terkait penetapan Kementerian Dalam Negeri yang menyerahkan pulau terluar Kalimantan yang kaya sumber daya alam berupa gas methana tersebut masuk wilayah Sulbar.
"DPD posisinya tidak membela siapa-siapa, kalau ternyata Pulau tersebut masuk Sulbar kita juga tidak mungkin memasukkannya ke Kalsel begitu juga sebaliknya, kalau ternyata milik Kalsel juga harus dikembalikan sesuai dengan porsinya," katanya.
Sejak terjadinya otonomi daerah, tambah dia, konflik perbatasan tidak hanya di Kalsel dan Sulbar tetapi hampir terjadi di seluruh wilayah Indonesia baik Sumatra, Sulawesi Kalimantan dan provinsi lainnya.
Menindaklanjuti agar hal tersebut tidak meluas, DPD akan segera membentuk pansus wilayah perbatasan dalam negeri, salah satunya akan membahas masalah Pulau Lari-Larian.
Bahkan kata dia, sengketa pulau Lari-Larian akan dijadikan pilot proyek penyelesaian sengketa perbatasan dalam negeri.
"Sebelumnya kita juga telah membentuk pansus penyelesaian sengketa perbatasan antar negara dan kini sedang berjalan," katanya.
Sebelumnya, Gubernur Kalsel Rudy Ariffin akan melakukan banding terhadap keputusan Menteri Dalam Negeri yang menetapkan pulau Lari-Larian versi Kalsel dan Lerek-Lerekan versi Sulbar masuk wilayah Sulbar.
Penetapan tersebut dinilai sepihak karena sebelumnya Kalsel juga telah memberikan bukti-bukti cukup kuat bahwa pulau yang akan segera digarap oleh investor itu masuk wilayah Kotabaru Kalsel.
Berdasar website Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kotabaru, potensi sumber energi di pulau tersebut merupakan gas kering (dry gas). Dengan kandungan terdiri atas 97- 98 metana, 0,5-0,75 mol persen CO2 dan 0,2-0,32 persen nitrogen. Sedangkan gas yang terkandung di pulau itu tidak mengandung logam berat.
Pulau Larilarian terletak di blok Sebuku, Selat Makassar, sekitar 139 km atau 75 mil dari Pulau Laut Kotabaru, Kalsel. Jarak dengan pulau terdekat yakni Pulau Larilarian, Kecamatan Pulau Sebuku, Kotabaru, sekitar 25 km atau 15,5 mil.
Pulau seluas lebih kurang 4 hektare itu hanya ditumbuhi tanaman perdu. Pasir putih mengelilingi pulau yang berada di tengah-tengah laut tersebut. (phs/Ant)
http://www.kalimantan-news.com/berita.php?idb=10352
Gubernur: "Jangan Saling Menyalahkan"
Gubernur Kalimantan Selatan, Rudy Ariffin meminta jangan saling menyalahkan menyikapi masalah Pulau Lari-larian Kotabaru yang dinyatakan Kemendagri masuk wilayah Provinsi Sulawesi Barat.
"Kami minta jangan saling menyalahkan dan menyerahkan permasalahan ini kepada Pemprov Kalsel bersama Pemkab Kotabaru yang akan menyelesaikannya," ujar gubernur usai penandatangan MoU di BPK RI Banjarbaru, Kamis.
Ia mengatakan, pihaknya terus mengupayakan agar pulau Lari-larian tetap menjadi milik Kalsel dan siap menempuh jalur hukum apabila langkah yang diambil tidak direspon Kementerian Dalam Negeri.
"Jika langkah yang ditempuh tidak direspon Kemendagri, kami siap mengambil jalur hukum dengan melayangkan gugatan demi mengembalikan Pulau Lari-larian ke Kalsel," ungkapnya.
Ia juga mengajak seluruh pihak bersama-sama berjuang merebut kembali pulau tersebut termasuk mendukung setiap langkah yang ditempuh Pemprov Kalsel untuk mengembalikan pulau itu.
Menurut dia, pihaknya sudah menyampaikan keberatan kepada Kemendagri terkait keputusan menetapkan pulau itu masuk wilayah Provinsi Sulawesi Barat.
Keberatan tersebut disertai alasan hukum dan dokumen pendukung lainnya berisi keterangan yang membuktikan bahwa sejak lama pulau kecil itu masuk wilayah Kabupaten Kotabaru Kalsel.
"Kami memiliki bukti jika pulau itu milik Kalsel dan segala keputusan yang menetapkan Pulau Lari-larian masuk wilayah Sulbar merupakan kesalahan dan tidak prosedural," ujarnya.
Orang nomor satu di jajaran Pemprov Kalsel itu membantah mengabaikan keberadaan pulau kecil itu dan baru memperjuangkannya setelah mengetahui ada potensi gas alam bernilai tinggi di pulau tersebut.
"Sejak 2002 lalu sudah ada keputusan dan penetapan Bupati Kotabaru untuk memberi pelayanan warga di Pulau Lari-larian dan Pulau Lumu jadi sudah sejak saat itu kita memperhatikan keberadaan pulau itu," ujarnya.
Perebutan pulau Lari-larian antara Pemprov Kalsel dengan Pemprov Sulbar cukup beralasan karena diperkirakan adanya kandungan potensi minyak dan gas bumi ada di pulau itu yang melimpah.
Website Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kotabaru menggambarkan, potensi sumber energi di pulau tersebut merupakan gas kering (dry gas).
Kandungannya terdiri atas 97- 98 metana, 0,5-0,75 mol persen CO2 dan 0,2-0,32 persen nitrogen. Sedangkan gas yang terkandung di pulau itu tidak mengandung logam berat.
Pulau Lari-larian terletak di blok Sebuku, Selat Makassar, sekitar 139 km atau 75 mil dari Pulau Laut Kotabaru, Kalsel dan jarak terdekat yakni Kecamatan Pulau Sebuku, Kotabaru, sekitar 25 km atau 15,5 mil.zal/B
COPYRIGHT © 2011
http://kalsel.antaranews.com/berita/4198/gubernur-jangan-saling-menyalahkan
Pemkab Majene Diminta Tindaklanjuti Ketetapan Lerek-Lerekang
JAKARTA -- Setelah menetapkan Pulau Lerek-lerekang ke dalam wilayah Kabupaten Majene Sulawesi Barat, Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri) meminta Pemerintah Kabupaten Majene Sulbar segera menindaklanjuti keputusan tersebut.
Menurut Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kemendagri, Reydonnyzar Moenek, Pulau Lerek-lerekang mesti segera mendapat perhatian."Kabupaten Majene harus segera memberikan perhatian apakah sifatnya fisik atau sarana dan prasarana yang menandakan daerah tersebut sebagai wilayah Majene," jelasnya, Senin 7 November 2011.
Di Kantor Kemendagri, ia kembali menegaskan bahwa Permendagri nomor 43 tahun 2011 tentang wilayah administrasi pulau Lerek-Lerekang telah final dan masuk dalam lembaran negara tahun 2011. Kebijakan ini, kata dia, telah melalui pertimbangan matang dengan mempersandingkan data dan fakta antara dua daerah yang sebelumnya bersengketa, yakni Provinsi Sulbar dan Provinsi Kalimantan Selatan.
"Kami tentu mendalami dari sisi pokok permasalahan yang terjadi. Pulau ini terletak di sebelah barat Majene, masuk dalam adminsitrasi Kabupaten Majene Provinsi Sulawesi Barat," sebut Reydonnyzar meyakinkan.
Olehnya itu, Pemkab Majene diimbau secepatnya mempertegas batas wilayah daerahnya."Itu bagian yang tidak terpisahkan, Disana mesti ada titik koordinat sebagai batas administratif, Itu harus dilakukan," lanjut pria yang akrab disapa Donny itu.
Donny juga sempat menyinggung sikap Provinsi Kalimantan Selatan yang tidak bisa menerima keputusan Mendagri. Mengenai hal itu, ia menyampaikan bahwa Kemendagri membuka kesempatan lebar-lebar kepada pihak-pihak yang ingin mengajukan gugatan.
"Mentri dalam negeri sudah mengambil keputusan, dan akan dilaksanakan dan siap dengan konsekuensinya. Pengalaman sudah empat kali kita di-yudisilreview, kita menang, diperkuat oleh peradilan," paparnya.
Hal tersebut dianggap wajar, apalagi disekitar pulau Lerek-lerekang terdapat potensi minyak dan gas, Pulau ini masuk dalam wilayah blok Sebuku. (rul/fmc)
http://www.fajar.co.id/read-20111108102626-pemkab-majene-diminta-tindaklanjuti-ketetapan-lereklerekang
Pantas Diperebutkan, Pulau Larilarian Bernilai Triliunan
TRIBUNnews.com – Sel, 18 Okt 2011
TRIBUNNEWS.COM, BANJARMASIN - WAJAR jika Pulau Larilarian menjadi rebutan provinsi Kalsel dan Sulawesi Barat. Soalnya, kandungan potensi minyak dan gas bumi ada di pulau itu, melimpah.
Berdasar website Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kotabaru, potensi sumber energi di pulau tersebut merupakan gas kering (dry gas). Dengan kandungan terdiri atas 97- 98 metana, 0,5-0,75 mol persen CO2 dan 0,2-0,32 persen nitrogen. Sedangkan gas yang terkandung di pulau itu tidak mengandung logam berat.
Pulau Larilarian terletak di blok Sebuku, Selat Makassar, sekitar 139 km atau 75 mil dari Pulau Laut Kotabaru, Kalsel. Jarak dengan pulau terdekat yakni Pulau Larilarian, Kecamatan Pulau Sebuku, Kotabaru, sekitar 25 km atau 15,5 mil.
Pulau seluas lebih kurang 4 hektare itu hanya ditumbuhi tanaman perdu. Pasir putih mengelilingi pulau yang berada di tengah-tengah laut tersebut.
"Pulau itu digunakan sebagai tempat peristirahatan nelayan Kotabaru," tutur Asdar, nelayan asal Kotabaru, Senin (17/10).
Penguasaan Pulau Larilarian oleh Prmprof Sulawesi Barat membuat geram Pemkab Kotabaru. Soalnya, pulau di tengah laut lepas itu memiliki potensi gas dan bumi bernilai triliunan rupiah.
"Apa dasar pemerintah pusat menetapkan Pulau Larilarian milik Provinsi Sulbar. Selama ini kita pernah bersama dengan membahas persoalan ini," tandas Ketua DPRD Kotabaru Alfidri Supian Noor
Ditegaskan dia, jelas Pulau Larilarian masuk wilayah perairan Kotabaru. Hal itu dikuatkan adanya buoy (lampu) masuk perairan Kotabaru. Tidak terkecuali jenis batu-batuan di pulau itu.
Selain itu, berdasar pemetaan yang dilakukan Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakorsurtanal), pulau itu juga masuk Kotabaru.
"Atas dasar-dasar data-data ini, kita akan pertanyakan ke pusat. Mengapa pemerintah pusat mengeluarkan penetapan pulau masuk provinsi Sulbar," tandas Alfidri. (banjarmasinpost.co.id / helriansyah)
http://id.berita.yahoo.com/pantas-diperebutkan-pulau-larilarian-bernilai-triliunan-183856506.html
TRIBUNNEWS.COM, BANJARMASIN - WAJAR jika Pulau Larilarian menjadi rebutan provinsi Kalsel dan Sulawesi Barat. Soalnya, kandungan potensi minyak dan gas bumi ada di pulau itu, melimpah.
Berdasar website Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kotabaru, potensi sumber energi di pulau tersebut merupakan gas kering (dry gas). Dengan kandungan terdiri atas 97- 98 metana, 0,5-0,75 mol persen CO2 dan 0,2-0,32 persen nitrogen. Sedangkan gas yang terkandung di pulau itu tidak mengandung logam berat.
Pulau Larilarian terletak di blok Sebuku, Selat Makassar, sekitar 139 km atau 75 mil dari Pulau Laut Kotabaru, Kalsel. Jarak dengan pulau terdekat yakni Pulau Larilarian, Kecamatan Pulau Sebuku, Kotabaru, sekitar 25 km atau 15,5 mil.
Pulau seluas lebih kurang 4 hektare itu hanya ditumbuhi tanaman perdu. Pasir putih mengelilingi pulau yang berada di tengah-tengah laut tersebut.
"Pulau itu digunakan sebagai tempat peristirahatan nelayan Kotabaru," tutur Asdar, nelayan asal Kotabaru, Senin (17/10).
Penguasaan Pulau Larilarian oleh Prmprof Sulawesi Barat membuat geram Pemkab Kotabaru. Soalnya, pulau di tengah laut lepas itu memiliki potensi gas dan bumi bernilai triliunan rupiah.
"Apa dasar pemerintah pusat menetapkan Pulau Larilarian milik Provinsi Sulbar. Selama ini kita pernah bersama dengan membahas persoalan ini," tandas Ketua DPRD Kotabaru Alfidri Supian Noor
Ditegaskan dia, jelas Pulau Larilarian masuk wilayah perairan Kotabaru. Hal itu dikuatkan adanya buoy (lampu) masuk perairan Kotabaru. Tidak terkecuali jenis batu-batuan di pulau itu.
Selain itu, berdasar pemetaan yang dilakukan Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakorsurtanal), pulau itu juga masuk Kotabaru.
"Atas dasar-dasar data-data ini, kita akan pertanyakan ke pusat. Mengapa pemerintah pusat mengeluarkan penetapan pulau masuk provinsi Sulbar," tandas Alfidri. (banjarmasinpost.co.id / helriansyah)
http://id.berita.yahoo.com/pantas-diperebutkan-pulau-larilarian-bernilai-triliunan-183856506.html
DPRD Kalsel Siap Berjuang Untuk Pulau Lari-Larian
27 Februari 2011
Kalimantan Selatan-KOTABARU, (kalimantan-news) - Komisi I DPRD Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel), siap mendukung Pemkab Kotabaru dan berjuang mempertahankan pulau Lari-larian yang berada di wilayah hukum Kotabaru untuk tidak jatuh ke wilayah provinsi lain.
Ketua Komisi I DPRD Provinsi Kalimantan Selatan Safaruddin kepada ANTARA di Kotabaru Sabtu (26/02/2011), mengatakan, Kotabaru merupakan bagian dari wilayah Kalsel, sudah sepatutnya jika DPRD harus memperjuangkan apa yang menjadi hajat daerah itu.
"Terkait usaha Kotabaru untuk mempertahankan Pulau Lari-larian agar tidak jatuh ke provinsi lain, kami akan berkoordinasi dengan DPR dan Kementrian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) di Jakarta," ujarnya menjelaskan.
Tidak hanya itu, kata Safaruddin, DPRd Kalsel juga telah berkunjung ke Palembang, Sumatera, di mana Palembang memiliki pulau yang memiliki potensi sama dengan Kotabaru.
Syukurlah, kami telah banyak mendapatkan informasi lebih lengkap dari kunjungan kerja ke Palembang, dan dapat diterapkan di Kotabaru.
Masalah Pulau Lari-larian, lanjut dia, juga pernah dibahas pada pertemuan empat Gubernur di Kalimantan beberapa waktu lalu.
Empat Gubernur tersebut, memberikan dukungan terhadap Kotabaru dalam mengelola Pulau Lari-larian yang memiliki potensi minyak dan gas.
Dalam pertemuan itu juga diminta agar masalah tata batas wilayah segera diselesaikan, agar tidak menimbulkan persoalan dikemudian hari.
Seperti halnya wilayah Kotabaru, Kalsel yang berbatasan dengan Sulawesi, terangnya.
Wakil Bupati Rudy Suryana sangat mengharapkan agar DPRD Provinsi Kalsel, khususnya Komisi I dapat membantu Kotabaru dalam menyelesaikan semua masalah yang ada saat ini.
"Kita berharap para wakil rakyat di Provinsi untuk memperhatikan Kotabaru, dan mau membantu menyelesaikan yang menjadi masalah daerah itu," pinta Wakil Bupati.
Sebelumnya, Gubernur Kalimantan Selatan Rudy Ariffin mengatakan akan tetap mempertahankan Pulau Lari-larian agar tetap masuk wilayah Kalimantan Selatan.
"Surat beserta bukti-bukti bahwa Pulau Lari-larian masuk wilayah Kalsel telah kita kirim ke Menteri Dalam Negeri, kita akan pertahankan pulau tersebut karena memang itu milik kita," kata Rudy di Banjarmasin Rabu (10/11).
Pernyataan Rudy Ariffin tersebut menanggapi adanya pemberitaan bahwa menghindari konflik antara dua daerah yaitu Sulawesi Barat dan Kalsel akhirnya Pulau Lari-larian kini diambil alih oleh Pemerintah Pusat.
Terhadap pemberitaan tersebut, Rudy kembali menegaskan, hingga saat ini belum ada keputusan siapa yang berhak terhadap pulau yang kaya sumber daya gas tersebut.
"Lari-larian kan hanya sebuah Pulau, bukan suaka margasatwa maupun cagar alam yang bisa diklaim maupun di kelola oleh pemerintah pusat. Kalau pulau sudah pasti milik daerah, tidak bisa dimiliki oleh pusat," katanya.
Pada kesempatan tersebut, Rudy juga memastikan bahwa Larilarian masuk wilayah Kalsel, karena sejarah dan geografis wilayah terluar Kalimantan tersebut masuk Kalsel.
"Kalau perlu akan kita tunjukkan bukti peta dan lainnya," katanya.
Lari-larian adalah pulau kecil dengan panjang sekitar 340 meter dan luas sekitar 146 meter total. Namun diisukan pulau tersebut masuk wilayah Sulawesi Barat.
Pulau yang juga disebut sebagai Pulau Lareklarekan menjadi sengketa karena diperkirakan di pulau tersebut menyimpan cadangan gas sekitar 370 miliar kaki kubik (BCF).
Pemerintah Kabupaten Kotabaru merasa terusik karena mereka menganggap Larilarian telah memiliki legalitas jelas menjadi bagian wilayah Kotabaru. Dalam catatan administrasi Kabupaten Kotabaru, pulau itu merupakan bagian dari Desa Sekapung, Kecamatan Pulau Sebuku.
Bupati Kotabaru Irhami Ridjani menjamin Pulau Larilarian tak mungkin menjadi milik daerah lain, mengingat berdasar historis dan fakta hukum pulau itu milik Kotabaru.
"Sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah, pulau ini sudah kita masukkan sebagai milik Kotabaru," ujar Irhami menanggapi kekhawatiran sejumlah pihak pulau itu bakal lepas dari Kalsel dan menjadi milik Sulawesi Barat.
Sementara itu, Sekda Kalsel Mukhlis Gafuri mendesak agar Kementerian Dalam Negeri segera menetapkan agar pulau yang kaya sumber daya alam berupa gas tersebut masuk wilayah Kotabaru.
Menurut dia, pengajuan persyaratan administrasi penetapan Pulau Larilarian masuk wilayah Kalsel telah disampaikan pihaknya sejak beberapa tahun lalu, namun hingga kini belum ada tanggapan.
Padahal tambah dia, dengan adanya penetapan tersebut Kalsel bakal mendapatkan dana bagi hasil dari kontraktor pengeboran gas dengan nilai cukup besar.
Bahkan, kata dia, bagi hasil tersebut nilainya dipastikan jauh lebih besar dari bagi hasil pertambangan yang selama ini banyak mengakibatkan kerusakan sumber daya alam. (phs/Ant)
Bersengketa, Pemerintah Pusat Ambil Larilarian
Banjarmasinpost.co.id - Sabtu, 30 Oktober 2010
BANJARMASINPOST.CO.ID, KOTABARU - Harapan Pemkab Kotabaru sebagai pemilik resmi Pulau Larilarian bakal menjadi angan-angan. Kabarnya pulau yang kaya sumber daya alam terutama migas itu akan diambil pemerintah pusat.
Alasan pemerintah pusat, karena pulau tersebut menjadi sengketa antara Provinsi Sulawesi Barat (Sumbar) dengan Pemkab Kotabaru.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kotabaru Talib membenarkan pulau itu akan diambil pemerintah pusat.
Namun seperti diketahui, sebelumnya pulau itu oleh pemerintah sudah dinyatakan menjadi milik Kabupaten Kotabaru.
Bahkan berkas kepemilikan Larianlarian yang luasnya hanya 2,8 hektare, kata Talib, sudah ditandatangani Menteri Dalam Negeri (Mendagri).
Penetapan Larilarian sebagai bagian wilayah Kotabaru itu melalui perbatan yang panjang. Empat kali rapat di Jakarta, hanya membahas pulau itu.
Tidak hanya itu, kata dia, berdasarkan peta Hindia-Belanda, Larilarian memang masuk wilayah Kabupaten Kotabaru. Namun, sayangnya berdasar peta Bakornas, pulau itu masuk Provinsi Sulawesi Barat.
Tak ingin kehilangan pulau itu, rencananya Bupati Kotabaru Irhami Ridjani bersama Gubernur Rudy Ariffin, dalam waktu dekat bertolak ke Jakarta.
Mereka akan menemui pemerintah pusat terkait rencana mengambil pulau Lari-larian dengan alasan pulau Larilarian.
(sah)
http://banjarmasin.tribunnews.com/index.php/read/artikel/1970/1/1/61346/hubungikami
Rp 1
Rabu, 19 Oktober 2011
Pulau Lari-larian (Lereklerekan) memiliki keterikatan yang kuat dengan Kabupaten Kotabaru. Bahkan, sebenarnya juga sudah diakui oleh Persatuan bangsa-bangsa (PBB), yaitu dalam peta masuk dalam jajaran kepulauan Borneo (Kalimantan). Di sekitar pulau ini ternyata juga mengandung cadangan deposit minyak dan gas bumi yang berlimpah. Kini dengan beralihnya kepemilikan pulau ke Sulawesi Barat, rencana pendapatan Rp 1 – 2 triliun per tahun ke Kotabaru bakal sirna.
Sejak dulu, Pulau Lari-Larian sudah ditetapkan sebagai bagian dari Kabupaten Kotabaru oleh Pemerintah Pusat melalui Menteri Dalam Negeri. Ditandai dengan adanya berkas kepemilikan Lari-Larian yang luasnya hanya sekitar 2,8 hektare.
Data dari Dinas Pertambangan Kotabaru, Pulau Lari-larian juga memiliki struktur batuan yang identik dengan batuan di Pulau Sebuku dan Kalimantan.
Begitu juga dengan kawasan navigasi, pulau ini masih dalam wilayah kerja Administrasi Pelabuhan (Adpel) Kotabaru serta masuk dalam wilayah patroli TNI Angkatan Laut Kabupaten Kotabaru. Jarak pulau Lari-larian dengan Kecamatan Pulau Sebuku sekitar 60 mil laut.
Bahkan dari aspek sejarah, Lari-larian masih memiliki keterikatan dengan Kotabaru. Diantaranya yang terbanyak adalah warga kecamatan Pulau Sebuku dan Pulau Laut Timur. Banyaknya warga yang pergi ke pulau tersebut pada saat terjadinya pemberontakan di Kalimantan Selatan.
Keterangan sejarah tersebut didapatkan langsung dari para pelaku sejarah yang masih hidup di Kotabaru. Warga pergi ke pulau tersebut untuk menghindari terjadinya masalah dengan para pemberontak, akhirnya warga dua kecamatan tersebut memilih pindah ke pulau Lari-Larian.
“Nama Pulau Lari-Larian tersebut diberikan warga Kotabaru karena pulau tersebut adalah menjadi tempat pelarian warga untuk menghindari masalah dengan para pemberontak waktu dulu," ungkap Bupati Kotabaru Irhami Ridjani saat bercerita tentang pulau ini.
Dari survei yang sudah dilakukan oleh PT Pearl Oil LTD, diketahui kalau Lari-larian memiliki kandungan sumber daya alam yang luar biasa.
Bahkan Pearl oil sempat menargetkan akan memproduksi minyak dan gas bumi dari blok Sebuku (pulau Lari-larian) pada 2011 ini. Hal itu terungkap saat ada pembahasan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL), Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL), dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL) rencana kegiatan pengembangan lapangan gas ruby di Blok Sebuku, beberapa waktu lalu di Kotabaru.
Pearl Oil berhasil melakukan pemboran enam sumur di Blok Sebuku itu mulai Februari 2010 dan sudah melaksanakan tahapan pra-konstruksi.
Selanjutnya, perusahaan tersebut mulai memasang pipa distribusi di dasar laut, memasang fasilitas produksi (WHP dan PQP), pembangunan ORF serta pemboran sumur untuk pengembangan.
Khusus untuk pipa distribusi, perusahaan memiliki dua alternatif dalam pemipaan tersebut. Alternatif pertama, pipa produksi dipasang mulai dari lapangan ruby (lokasi sumur) ke Senipah dengan jarak sekitar 312 km. Selanjutnya, alternatif kedua, mulai Lapangan ruby ke Peciko dengan jarak 305 km.
Lokasi rencana kegiatan ORF terletak di Desa Senipah, Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kertanegara, Kaltim.
Sedangkan pemipaan yang berada di daratan terletak di Kelurahan Senipah, dan untuk di lautnya, terletak di lepas pantai Kabupaten Kutai Kertanegara, Kota Balikpapan, Kabupaten Panajam Paser Utara, Kabupaten Paser dan Kabupaten Kotabaru.
Lapangan gas ruby terletak di Blok Sebuku, Selat Makassar, sekitar 139 km atau 75 mil dari Pulau Laut Kotabaru, Kalsel. Sedangkan jarak dengan pulau terdekat yakni, Pulau Lari-larian, Kecamatan Pulau Sebuku, Kotabaru, sekitar 25 km atau 15,5 mil.
Gas yang diproduksi merupakan gas kering (dry gas) dengan kandungan 97-98 persen metana 0,5-0,75 mol persen CO2 dan 0,2-0,32 mol persen nitrogen dan 0 persen H2S. Gas yang dihasilkan tidak mengandung logam berat.
Perusahaan mengharapkan delivery rate dari pengoperasian enam sumur adalah 100 Million Metric Standard Cubic Feet per Day (MMSCTD) atau Juta Standar Metrik Kaki Kubik per Hari.
Menurut perkiraan sementara, gas di Blok Sebuku itu akan dieksploitasi mulai 2011 hingga 2020 atau sekitar sembilan tahun.
Sementara itu, jika Minyak dan Gas (Migas) PT Pearl Oil sudah beroperasi, Kotabaru rencananya akan mendapatkan participation interest (PI) sekitar 10 persen. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 35 tahun 2004, tentang Kegiatan Usaha Hulu Migas, pemerintah daerah dapat memiliki saham perusahaan.
Dengan hitungan sementara, Pemkab Kotabaru akan mendapatkan reward dari PI sebesar Rp 1 – Rp 2 triliun per tahunnya. PI 10 persen tersebut merupakan hak istimewa yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah melalui BUMD di wilayah kerja pertambangan (WKP) kontraktor kerja sama (KKS).
Sedangkan untuk teknik pembagiannya berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 35/2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Migas Pasal 34, Kotabaru akan mendapatkan bagian saham sebesar 66,6 persen dari participation inters (PI) dari 10 persen saham.
Sesuai PP tersebut, pemerintah provinsi akan mendapatkan bagian 33,3 persen dari PI 10 persen tersebut. PI tersebut nantinya diberikan kepada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sebagai syarat untuk mendapatkan PI tersebut.
Berdasarkan data teknis lapangan, Blok Sebuku yang terletak di perairan Lari-larian, Kecamatan Pulau Sebuku memiliki cadangan gas sekitar 370 billion cubic feet (BCF). Hasil DST test di sumur Makassar Strait-4 menunjukkan adanya kandungan 40 Million Metric Standard Cubic Feet per Day (MMSCF/D) gas dan 50 BPD condensate. (ins)
http://www.radarbanjarmasin.co.id/index.php/berita/detail/50/18355
Gubernur: Jangan Saling Menyalahkan Soal Lari-Larian
27 Oktober 2011
Kalimantan Selatan-BANJARMASIN, (kalimantan-news) - Gubernur Kalimantan Selatan, Rudy Ariffin meminta jangan saling menyalahkan menyikapi masalah Pulau Lari-larian Kotabaru yang dinyatakan Kemendagri masuk wilayah Provinsi Sulawesi Barat.
"Kami minta jangan saling menyalahkan dan menyerahkan permasalahan ini kepada Pemprov Kalsel bersama Pemkab Kotabaru yang akan menyelesaikannya," ujar gubernur usai penandatangan MoU di BPK RI Banjarbaru, Kamis.
Ia mengatakan, pihaknya terus mengupayakan agar pulau Lari-larian tetap menjadi milik Kalsel dan siap menempuh jalur hukum apabila langkah yang diambil tidak direspon Kementerian Dalam Negeri.
"Jika langkah yang ditempuh tidak direspon Kemendagri, kami siap mengambil jalur hukum dengan melayangkan gugatan demi mengembalikan Pulau Lari-larian ke Kalsel," ungkapnya.
Ia juga mengajak seluruh pihak bersama-sama berjuang merebut kembali pulau tersebut termasuk mendukung setiap langkah yang ditempuh Pemprov Kalsel untuk mengembalikan pulau itu.
Menurut dia, pihaknya sudah menyampaikan keberatan kepada Kemendagri terkait keputusan menetapkan pulau itu masuk wilayah Provinsi Sulawesi Barat.
Keberatan tersebut disertai alasan hukum dan dokumen pendukung lainnya berisi keterangan yang membuktikan bahwa sejak lama pulau kecil itu masuk wilayah Kabupaten Kotabaru Kalsel.
"Kami memiliki bukti jika pulau itu milik Kalsel dan segala keputusan yang menetapkan Pulau Lari-larian masuk wilayah Sulbar merupakan kesalahan dan tidak prosedural," ujarnya.
Orang nomor satu di jajaran Pemprov Kalsel itu membantah mengabaikan keberadaan pulau kecil itu dan baru memperjuangkannya setelah mengetahui ada potensi gas alam bernilai tinggi di pulau tersebut.
"Sejak 2002 lalu sudah ada keputusan dan penetapan Bupati Kotabaru untuk memberi pelayanan warga di Pulau Lari-larian dan Pulau Lumu jadi sudah sejak saat itu kita memperhatikan keberadaan pulau itu," ujarnya.
Perebutan pulau Lari-larian antara Pemprov Kalsel dengan Pemprov Sulbar cukup beralasan karena diperkirakan adanya kandungan potensi minyak dan gas bumi ada di pulau itu yang melimpah.
Website Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kotabaru menggambarkan, potensi sumber energi di pulau tersebut merupakan gas kering (dry gas).
Kandungannya terdiri atas 97- 98 metana, 0,5-0,75 mol persen CO2 dan 0,2-0,32 persen nitrogen. Sedangkan gas yang terkandung di pulau itu tidak mengandung logam berat.
Pulau Lari-larian terletak di blok Sebuku, Selat Makassar, sekitar 139 km atau 75 mil dari Pulau Laut Kotabaru, Kalsel dan jarak terdekat yakni Kecamatan Pulau Sebuku, Kotabaru, sekitar 25 km atau 15,5 mil. (phs/Ant)
http://www.kalimantan-news.com/berita.php?idb=10582
Sengketa Pulau Lari-Larian, Bupati Kotabaru Siap Lawan Mendagri
Kamis, 03 November 2011
KOTABARU-KALSEL (bharatanews): Bupati Kotabaru, Kalimantan Selatan, H Irhami Ridjani, siap melawan Mendagri, terkait diterbitkannya Permendagri No.43/2011 tentang Wilayah Administrasi Pulau Lari-Larian yang masuk Sulawesi Barat. Terkait dengan Permendagri itu, Ridjani menuding Kantor Kementerian Dalam Negeri telah melakukan kebohongan publik.
"Pihak Kemendagri sudah jelas melakukan kebohongan publik, dimana menurut mereka Pemerintah Provinsi tidak memasukkan Pulau Lari-Larian dalam daftar pulau yang ada di Kalimantan Selatan," katanya di Kotabaru, kemarin.
Pernyataan keras Bupati Kotabaru ini dipicu dari munculnya Permendagri No.43/2011 tentang Wilayah Administrasi Pulau Lari-Larian yang masuk Sulawesi Barat. Sengketa Pulau Lari-Larian antara Pemprov Kalimantan Selatan dengan Pemprov Sulawesi Barat ini sudah berlangsung sejak beberapa tahun lalu. Karena tidak menemukan titik temu, Kemendagri lalu turun tangan untuk menengahi masalah tersebut. Alhasil, Kemendagri menerbitkan Permendagri No.43/2011 yang memasukan Pulau Lari-Larian ke wilayah Sulawesi Barat.
Munculnya Permendagri ini kontan saja memicu kemarahan Bupati Kota Baru, dimana Pulau Lari-Larian ini masuk dalam kawasan wilayah ini. "Hal ini tidak dapat dibiarkan," katanya.
Bupati menuturkan, pada pertemuan tim Pembinaan dan pembakuan Nama-nama Pulau di Kalsel pada 9-11 Juli 2008 di Banjarmasin, tim dari Pemprov Kalsel bersama Pemkab Kotabaru menyampaikan, bahwa Pulau Lari-Larian masuk dalam daftar 134 pulau yang ada di Kalsel. Namun kenyataannya, karena titik koordinatnya sama dengan nama salah satu pulau di Sulawesi Barat, yakni Pulau Lerek-lerekan, maka tim dari Kemendagri meminta masalah Pulau Lari-larian ditunda terlebih dahulu.
"Atas permintaan tim dari Jakarta itu, tim dari Pemprov Kalsel dimana di dalamnya terdapat sejumlah pejabat dari Kotabaru menerima permintaan tersebut dengan harapan, Sulawesi Barat juga tidak memasukkan Pulau Lerek-lerekan dari daftar pulau di Sulbar," katanya.
Karena ditunda tersebut, tim dari Kotabaru pada 21 Juli 2008 kembali menyerahkan berkas dan bukti-bukti kuat, bahwa Pulau Lari-larian bagian dari wilayah Kotabaru kepada Kemendagri di Jakarta.
Tunda Pembahasan
Beberapa bulan kemudian, pihak Kemendagri menerbitkan rancangan Peraturan Perundang-undangan Dirjen PUM, bahwa dalam lampirannya Pulau Lari-larian urutan ke dua setelah Pulau Laut dari 134 pulau-pulau di Kalsel.
"Anehnya, kenapa saat menerbitkan Permendagri No.43/2011 tentang Wilayah Administrasi Pulau Lari-Larian yang masuk Sulawesi Barat, dasarnya hanya berdasarkan rapat tim pembinaan Pembakuan nama-nama Pulau 11 Juli 2008," katanya setengah bertanya.
Padahal, pertemuan tersebut telah jelas disepakati bahwa nama Pulau Lari-larian ditunda pembahasannya. Selanjutnya, Kemendagri juga tidak seharusnya menerbitkan Permendagri 43/2011 hanya merujuk satu dasar yang masih dalam masalah, namun harus merujuk pada bukti-bukti lain yang lebih kuat, seperti yang diamanatkan Pasal 10 Undang-Undang No.1 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengesahan Batas Daerah.
Butir pertama pasal 10 UU 1/2006, pemerintah dalam hal ini Dirjen bersama pihak terkait harus melakukan penelitian dokumen. Kedua, melakukan pelacakan batas, ketiga, pemasangan patok di titik acuan, keempat, penentuan titik awal dan garis dasar di laut, kelima, melakukan pengukuran dan penetapan batas serta keenam, pembuatan peta batas. Selanjutnya, pada ayat tiga dijelaskan, setiap tahapan yang dilakukan, harus dituangkan dalam berita acara kesepakatan.
Kalau tidak ada berita acara kesepakatan, berarti mekanismenya seperti yang dituangkan pada pasal 10 di atas tidak dijalankan oleh Kementerian Dalam Negeri. "Jadi yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri hanya tahap penelitian dokumen atau tahap pertama," ujar Rifani.
Itupun berdasarkan pasal 11, yang dimaksud penelitian dokumen adalah penelitian peraturan perundang-undangan tenteng pembentukan daerah dan dokumen lain yang disepakati oleh daerah yang bersangkutan.
Tahapan pertama itupun baru setengah jalan yang dilakukan Kementerian Dalam Negeri. Sekali lagi, Kemendagri dinilai telah melakukan kebohongan publik, dan akan memicu konflik di daerah. "Hal ini tidak dapat dibiarkan," katanya.
Sampai kapanpun, ujar Bupati, Pemprov Kalsel dan Pemkab Kotabaru akan terus mempertahankan bahwa Pulau Lari-larian bagian dari wilayah Kotabaru. Sebelumnya, anggota tim koordinasi Pulau Lari-larian dari Pemkab Kotabaru Taufik Rifani mengatakan, secara geografi, Selat Makassar yang memisahkan dataran Kalimantan dengan Sulawesi terdapat palung laut yang seharusnya dijadikan bukti rujukan, bahwa kedua pulau tersebut dipisahkan oleh batas alam.
Dimana Pulau Kalimantan dan Pulau Lari-Larian berada pada paparan Sunda sebelah barat. Sedangkan Pulau Sulawesi berada di paparan Sahui, sebelah timur palung. Sementara itu, pernyataan yang disampaikan Bagian Humas Kementerian Dalam Negeri, Donni bahwa terbitnya Kepmendagri 43/201 di antaranya merujuk UU No.26/2004 tentang Pembentukan Sulawesi Barat, itu tidak sesuai. Karena, ternyata setelah ditelaah UU No.26/2004 tidak menyebutkan batas-batas wilayah yang jelas.
"Hanya menyebutkan batas wilayah agak ke utara sedikit yang berbatasan dengan Kabupaten Paser Utara, sedangkan ke arah Kotabaru, menyebutkan hanya berbatasan dengan Selat Makassar begitu saja, lantas mana yang dijadikan rujukan yang tepat," imbuhnya.
Selain itu, peta yang dijadikan dasar juga hanya peta sketsa (peta buta), tidak ada titik koordinat, kalau itu dijadikan dasar sangat aneh. Seharusnya Kementerian Dalam Negeri menggunakan dasar enam tahapan pada UU 1/2006.(Rho/Mrb)
http://www.bharatanews.com/index.php?option=com_content&view=article&id=377:kotabaru&catid=46:politik&Itemid=62
Subscribe to:
Posts (Atom)