Tuesday, November 8, 2011

Langkah Pertahankan Pulau Larilarian


Oleh: Syaipul Adhar ME, Pemerhati kebijakan ekonomi dan public

Banjarmasinpost.co.id - Sabtu, 29 Oktober 2011
Sejak Era Otda digulirkan, salah satu potensi konflik yang sering kali muncul adalah persoalan tapal batas antar-kabupaten/ kota dan provinsi di Indonesia. Dengan perspektif dan kepentingan berbeda pula.

Begitu pula di Kalimantan Selatan, pascakeluarnya Permendagri No 43 Tahun 2011 tentang Wilayah Administrasi pulau Lerek-lerekan menjadi bagian wilayah Kab Majene Sulawesi Barat. Bagi Kalsel Pulau Lerek-lerekan diyakini sebagai bagian administrasi Kab Pulau Laut (Kotabaru) yang bernama Pulau Larilarian.

Selain implikasi hukum, Permendagri no 43/2011 dikhawatirkan menjadi trigger (pemicu) konflik kedaerahan yang lebih besar ketika isu tata ruang kewilayahan dibelokkan menjadi ego sektoral dan harga diri sempit. Sah-sah saja jika dalam tingkatan elit, Kemendagri dianggap arogan dan berpihak dalam memutuskan. Tetapi bagi akar rumput permasalahan ini biasa saja.

Sebagai bagian NKRI, penggunaan soft diplomacy tentu lebih diutamakan dibandingkan hard diplomacy. Dalam kasus yang sama, produk hukum Permendagri bukan tanpa noda dan sering blunder. Permendagri No 44 Tahun 2011 yang menetapkan Pulau Berhala masuk wilayah Provinsi Jambi, juga digugat kepengadilan oleh Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Inilah yang bisa kita jadikan jurisprudensi.

Terhadap polemik Pulau Lari-larian, bisa dilakukan rekonstruksi dan verifikasi permasalahan secara garis besar kedalam dua perspektif. Perspektif ekonomi dan perspektif administratif produk hukum, tata ruang dan kewilayahan.

Secara ekonomi, kepentingan Pulau Larilarian adalah potensi SDA yang melimpah. Dalam website resmi BP MIGAS dan Bappeda kotabaru, disebutkan Pulau Larilarian adalah bagian Blok Sebuku yang mengandung gas kering (dry gas) dengan komposisi 97-98 persen metana, 0,5-0,75 mol persen CO2, dan 0,2-0,32 mol persen nitrogen dan 0 persen H2S. PT.

Pearl Oil Ltd (PMA) yang bermarkas di Australia disebutkan akan beroperasi di Blok Sebuku dengan kapasitas 5000 barel perhari. Dan, kita berharap dapat keuntungan dari penyertaan participating interest (PI) 10 persen saham.

Dalam perspektif produk hukum, tata ruang dan kewilayahan keputusan Kemendagri melalui Permendagri sudah berkekuatan hukum tetap. Jelas segala upaya penekanan melalui demo, protes dan musyawarah akan sia- sia. Poinnya jelas, segala produk hukum harus dilawan dengan saluran hukum pula.

Minimal ada tiga langkah yang bisa dilakukan terhadap perspektif di atas:

Pertama, menyiapkan dokumen pembanding yang kuat, semua produk dan ketetapan hukum yang berkaitan dengan Pulau Larilarian. Dokumen RTRW Provinsi- Kotabaru, RPJPD/RPJMD, Perda/ Perbup/ SK, UU Pembentukan Kab. Pulau Laut, Rencana tata ruang wilayah pesisir dan pulau terluar dll yang menguatkan keberadaan lari-larian. Mari perang data, bukan perang kata- kata.

Kedua, Melakukan judicial review (uji materi) atas produk hukum Permendagri dan mendaftarkan gugatan melalui Mahkamah Agung RI. Jika dasar keputusan Kemendagri adalah UU No 26 tahun 2004 tentang Pembentukan Prov Sulawesi Barat (Sulbar) dan Peta Lingkungan Laut Nasional No 20, maka secara logika UU Pembentukan Prov Kalsel/ Kab Kotabaru lebih kuat dan terdahulu.

Ketiga, Mengumpulkan seluruh dokumentasi tentang Pulau Larilarian termasuk kontrak kerja sama (KKS/KPS) Hulu Migas dengan BP MIGAS, pemda dan operator. Jikalau ada, tentu akan menjadi rujukan yang kuat bagi Kalsel. Investor akan menggugat pemerintah Indonesia melalui Kemendagri kepada badan Arbitrase Internasional menyangkut Permendagri yang berpotensi menggagalkan kerjasama Migas tersebut.

Setelah upaya hukum dilaksanakan, strategi kepentingan ekonomi juga disiapkan. Dengan asumsi Kalsel kalah sekalipun dalam gugatan Permendagri di atas, keuntungan ekonomi tidak akan ikut lari seperti namanya.

Strategi kebijakan ekonomi yang bisa dilakukan: Pertama, mengatur kontrak kerjasama di Blok Sebuku bersama Sulbar dengan prinsip win win solution. Penekanan kewajiban operator asing pemilik IUP/IUPK atas PI 10 persen saham kepada pemda, BUMD, bisa ditingkatkan hingga 20 persen berdasarkan mekanisme divestasi yang diatur dalam Permen ESDM No 12 tahun 2009 dan UU Minerba No 4 Tahun 2009 Pasal 112 Ayat 1.

Kedua, membentuk dan melibatkan partisipasi BUMD dalam pengelolaan kontrak production sharing atau DMO seperti pada pengelolaan Blok Madura, Blok Mahakam dan Gas Alam Wajo, berdasarkan UU No 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas).

Ketiga, membangun infrastruktur dan iklim yang mendukung kemudahan berinvestasi di Kab Kotabaru. Keuntungan secara ekonomi bukanlah berpatokan pada hilangnya 10 persen saham PI, tetapi pada multiplayer effect yang tercipta akibat beroperasinya Blok Sebuku. Dengan jarak yang lebih dekat dan banyaknya kemudahan dalam berinvestasi, operator pasti akan memilih berkegiatan serta membuka kantor perwakilan di sini.

Setelah melakukan verifikasi langkah-langkah di atas, kata kunci yang wajib kita jalankan adalah rencana aksi dan pelaksanaan. Konflik Pulau Larilarian setidaknya mengingatkan kita betapa pentingnya dokumentasi produk hukum dan perencanaan tata ruang wilayah terluar pulau serta pesisir. Seringkali perencanaan maritim kita terlupakan, terutama Kab Kotabaru yang terdiri dari banyak pulau.

Harus diakui, kelemahan dalam diplomasi dan lobi kita tidak didukung dengan sistem dokumentasi produk kebijakan daerah dan hukum yang seadanya. Penggunaan digital library, data digital dan pemanfaatan e-government belum menjadi prioritas perhatian pemda.

Rencana memakai Wikipedia sebagai dokumen Pulau Larilarian oleh tim Pemprov Kalsel, sejatinya adalah komitmen kepada diri sendiri akan pentingnya teknologi informasi bagi birokrasi. Pesan presiden atas kedaulatan SDA sudah sangat jelas, Blok Sebuku adalah bagian itu.

http://banjarmasin.tribunnews.com/read/artikel/1970/1/1/151601/Langkah-Pertahankan-Pulau-Larilarian

No comments:

Post a Comment