Tuesday, November 8, 2011

Kotabaru Merasa Dizalimi


Minggu, 23 Oktober 2011

Oleh: Imam Hanafi
Bagaikan disambar petir di siang hari, itulah yang dirasakan perwakilan dari Pemkab Kotabaru dan Pemprov Kalimantan Selatan yang menghadiri undangan di Kementerian Dalam Negeri soal Pulau Lari-larian di Jakarta, Senin (17/10).


"Kami mulai merasakan ada keanehan di saat Dirjen BP Migas yang lama tidak segera keluar dari ruangan untuk menemui kami yang diundang," kata salah satu perwakilan sekaligus anggota tim koordinasi soal Pulau Lari-larian dari Kotabaru, Taufik Rifani, MHum.

Ternyata benar adanya, petir yang dimaksud adalah bahwa, Pulau Lari-larian yang selama ini berada di wilayah Kotabaru, ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor.43 Tahun 2011 masuk wilayah Majene, Sulawesi Barat.

"Kami merasa undangan itu untuk membahas, bukan untuk mendengarkan keputusan tersebut," katanya.

Kenapa demikian, "karena kami merasa Kotabaru dan Pemprov Kalsel tidak pernah diundang Kementerian Dalam Negeri duduk satu meja bersama Pemerintah Majene dan Permprov Sulawesi Barat untuk membahas atau mencari solusi masalah Pulau Lari-larian".

"Keputusan tersebut kami anggap sebagai keputusan sepihak, dan Kotabaru sangat dizalimi oleh pihak-pihak yang terlibat dalam keputusan yang prematur tersebut," ujarnya.

Rifani menegaskan, apabila Kementerian Dalam Negeri merujuk pada Undang-undang Nomor 26 tahun 2004 tentang Pembentukan Sulawesi Barat, sebagai landasan terbitnya Permendagri No.43/2011, sesuai yang dijelaskan bagian Humas Kementrian Dalam Negeri yang akrap disapa Donni, maka itu sangat prematur. Karena, ternyata setelah ditelaah UU No.26/2004 tidak menyebutkan batas-batas wilayah yang jelas.

UU 26/2004 tersebut hanya menyebutkan batas wilayah Sulawesi Barat agak ke utara sedikit yang berbatasan dengan Kabupaten Paser Utara. Sedangkan ke arah Kotabaru disebutkan berbatasan dengan Selat Makassar, begitu saja, dan tidak ada batas secara spesifik, lantas mana yang dijadikan rujukan.

Selain itu, peta yang dijadikan dasar juga hanya berupa peta sketsa (peta buta), bahkan tidak ada titik kordinat.

Kalau itu dijadikan dasar maka Kemenetrian Dalam Negeri sangat aneh.

Seharusnya Kementerian Dalam Negeri, menurut Rifani, menggunanakan dasar Undang-undang Nomer 1 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengesahan Batas Daerah.

Pasal 10 Undang-Undang No.1 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengesahan Batas Daerah, untuk menentukan batas wilayah suatu daerah harus melalui sedikitnya enam tahapan.

Tahapan pertama, pemerintah dalam hal ini Dirjen bersama pihak terkait harus melakukan penelitian dokumen.

Tahap selanjutnya adalah melakukan pelacakan batas, pemasangan patok di titik acuan, penentuan titik awal dan garis dasar di laut, melakukan pengukuran, penetapan batas, dan pembuatan peta batas.

Selanjutnya, pada ayat tiga dijelaskan, setiap tahapan yang dilakukan, harus dituangkan dalam berita acara kesepakatan.

Kalau tidak ada berita acara kesepakatan, berarti mekanismenya seperti yang dituangkan pada pasal 10 di atas tidak dijalankan oleh Kementerian Dalam Negeri.

"Jadi yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri hanya tahap penelitian dokumen atau tahap pertama," kata Rifani.
Itu pun berdasarkan pasal 11, yang dimaksud penelitian dokumen adalah penelitian peraturan perundang-undangan tentang pembentukan daerah dan dokumen lain yang disepakati oleh daerah yang bersangkutan.

Pada tahapan pertama itu pun, Kementerian Dalam Negeri baru melakukan tahapan setengah jalan saja, belum sepenuhnya.

"Artinya Kementerian Dalam Negeri sangat tidak prosedural atau tergesa-gesa dalam menetapkan Kepmendagri 43/2011," ujarnya.

Rifani menambahkan, secara geografi, di Selat Sulawesi yang memisahkan dataran Kalimantan dengan Sulawesi terdapat palong laut yang seharusnya dijadikan bukti rujukan, bahwa kedua pulau tersebut dipisahkan oleh batas alam. Di mana Pulau Kalimantan dan Pulau Lari-Larian berada pada paparan Sunda sebelah barat. Sedangkan Pulau Sulawesi berada di paparan Sahui, sebelah timur palung.


Rebut kembali
Adapun untuk merebut kembali Lari-Larian ke wilayah Kotabaru, langkah yang sangat tepat dilakukan Pemkab Kotabaru bersama Pemprov Kalimantan Selatan adalah menggalang kekuatan untuk melakukan Yudicial Review ke Mahkamah Agung.

Perintah Provinsi bersama Pemkab Kotabaru akan melakukan nanti malam mengajukan "yudicial review" ke MA untuk uji materil Permendagri No.43 Tahun 2011.

Uji materil terhadap beberapa undang-undang terkait, termasuk komparasi dengan Permendagri No.1 Tahun 2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah dan administrasi lainnya.

Karena ini Permendagri bersifat peraturan bukan Kepmendagri bersifat keputusan, jadi pengujianya melalui uji materil atau yudicial review.

"Sesegera mungkin, setelah melengkapi fakta yuridis, kami melakukan Yudicial Review ke MA," katanya.

Sebelumnya, H Akhmad Rivai MSi, saat menjabat Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kotabaru, memastikan bahwa, Pulau Lari-larian, yang memiliki deposit minyak dan gas bumi, berada di wilayah Kotabaru.

"Jika ada daerah lain yang mengklaim Lari-larian itu masuk wilayah Sulawesi Barat itu tidak benar, karena berdasarkan bukti-bukti pulau tersebut berada di wilayah Kotabaru," katanya.

Rivai menolak tegas bahwa, Lari-larian masuk ke wilayah Sulawesi Barat karena berdasarkan Bakosurtanal pulau tersebut telah jelas menjadi bagian wilayah Kotabaru.

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kotabaru, H Muhammad Ansyar Nur, sependapat dengan Kadistamben bahwa Lari-larian termasuk bagian wilayah Kotabaru.

"Berdasarkan publikasi Adimiralty Notices to Mariners edisi mingguan ke 53 tanggal 31 Agustuss 2006 (diterbitkan UK-Hydrographic Office, Inggris) Lari-larian termasuk dalam kelompok Pulau Laut dan Pulau Kalimantan," ujarnya.

Selain itu, Lari-Larian juga merupakan daerah navigasi Administrasi Pelabuhan Kalimantan Selatan termasuk peta Neraca Sumber Daya Alam Kabupaten Kotabaru terbitan Bakosurtanal, seperti yang tertuang dalam SK Bupati no.471/2006 tentang penegasan Pulau Lari-larian sebagai wilayah Kotabaru.

Sementara itu, Pulau Lari-Larian yang memiliki panjang sekitar 340 meter dengan lebar sekitar 146 meter atau total luas 3,5 hektare tersebut terletak di koordinat LS 03 drajat 32'53" dan BT 117 drajat 27'14".

Pulau tersebut berjarak dengan Pulau Sebuku Kabupaten Kotabaru sekitar 60 mil laut dengan Pulau Sambergelap Kotabaru sekitar 40 mil laut dan dengan wilayah Sulawesi Barat sekitar 80 mil laut.

Pulau Lari-larian di Kecamatan Pulau Sebuku, Kotabaru, merupakan tempat pelarian masyarakat Kotabaru pada zaman gerombolan.

Bupati Kotabaru H Irhami Ridjani, menegaskan bahwa Pulau Lari-larian itu merupakan bagian dari wilayah Kotabaru.

"Oleh sebab itu, pulau ini disebut 'Pulau lari-larian' yang berarti pulau tempat pelarian masyarakat Kotabaru karena takut dikejar-kejar gerombolan akan dibunuh," kata Bupati.


Galang massa
Wakil Bupati Kotabaru Rudy Suryana, mengajak pemerintah provinsi dan legislatif untuk bekerja keras mempertahankan Pulau Lari-larian yang berada di wilayah Kecamatan Pulau Sebuku yang kini diklaim Pemerintah Sulawesi Barat.

"Kami percaya saat ini semua pihak telah berjuang mempertahankan Pulau Lari-larian, tetapi tidak salahnya jika pemkab dan pemprov serta legislatif sama-sama bersatu mempertahankan, karena kekuatan akan semakin kuat," tutur Wakil Bupati.

Terlepas dari apa yang ada diperut bumi Pulau Lari-larian, bagian Pemkab Kotabaru akan berjuang keras untuk mempertahankan wilayahnya, apa pun yang akan terjadi. Terlebih, Pemkab Kotabaru telah beberapa tahun anggaran mengalokasikan dana untuk pembinaan dan pembangunan infrastruktur di pulau tersebut.

Bukan hanya pemerintah, tokoh masyarakat dan kaum intelektual dan tokoh agama juga memberikan dukungan kepada Pemkab Kotabaru dan pemprov untuk berjuang keras mempertahankan Pulau Lari-larian untuk tidak dicaplok daerah lain.

"Kita harus bersatu agar mempunyai kekuatan untuk mempertahankan Pulau Lari-larian agar tidak jatuh ke tangan Sulawesi Barat," ujar seorang tokoh masyarakat H Nur Zazin MA.

Menurut dia, mempertahankan tidak hanya cukup melakukan sanggahan atau adu argumentasi semata, tetapi lebih dari itu harus memulai dengan mengumpulkan bukti administrasi terkait status Pulau Lari-larian bagian dari wilayah Kotabaru.

Perjuangan mempertahankan bagian dari wilayah Kotabaru yang diklaim daerah lain bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, tetapi juga menjadi tanggung jawab semua elemen masyarakat Kotabaru, kata Zazin yang kini mulai menyelesaikan S3-nya di Malang, Jatim.

Bahkan jika perlu masih ada saksi sejarah, itu juga bisa dilibatkan dalam memperjuangkan Pulau Lari-larian, kata Zazin yang juga Ketua Komisi Pemilihan Umum dan dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Darul Ulum Kotabaru.

Hal yang sama juga disampaikan tokoh yang lain, Akhmad Gapuri SH, yang kini tengah membentuk kelompok jejaring sosial melalui facebook.

Dalam satu hari ratusan masyarakat penggemar jejaring sosial mendukung upaya Pemkab Kotabaru dan pemprov Kalsel untuk mempertahankan Pulau lari-larian.

Ketua DPRD Kotabaru Alpidri Supian Noor, mengemukakan, Pemkab Kotabaru, Pemprov bersma-sama masyarakat Kalsel merasa kecewa apabila Pulau Lari-larian terlepas dari Kotabaru.

"Karena selama ini, Pemkab Kotabaru telah melakukan aktivitas bahkan mengalokasikan dana untuk pembangunan infrastruktur dan menjaga Pulau Lari-larian dari tangan-tangan jahil, yang berniat merusaknya," ujarnya.

Pemerintah Kabupaten Kotabaru juga membangun pos/kantor pelayanan publik di Pulau Lari-Larian, sekitar 60 mil sebelah timur Desa Sekapung, Kecamatan Pulau Sebuku, Kabupaten Kotabaru.

"Selain pos pelayanan yang dibangun pemerintah daerah, Kantor Administrasi Pelabuhan Kalimantan Selatan juga berencana membangun mercusuar di Pulau Lari-Larian," kata Taufik.

Menurut dia, pembangunan infrastruktur di pulau tersebut bertujuan untuk mendukung aktivitas perusahaan tambang minyak dan gas (migas) PT Pearl Oil di Pulau Lari-Larian, karena tidak lama lagi perusahaan tersebut segera melakukan eksplotasi gas di sana. C/B

COPYRIGHT © 2011

http://kalsel.antaranews.com/berita/4110/kotabaru-merasa-dizalimi

No comments:

Post a Comment